Boog Kotta Leiding
Lokasi: https://tinyurl.com/y6fbkzqg
Sejak zaman pemerintahan Belanda, Kota Magelang telah diproyeksikan menjadi kawasan permukiman yang nyaman. Sebagai pendukung, dibangunlah sarana penunjang berupa saluran air kota (Boog Kotta Leiding). Saluran tersebut berhulu dari Kali Manggis, Kampung Pucangsari, Kelurahan Kedungsari, Kecamatan Magelang Utara, dan berhilir di Kampung Jagoan Kelurahan Jurangombo, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang.
Selain dibangun untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, saluran tersebut juga digunakan untuk membersihkan limbah rumah tangga yang diperoleh dari pemukiman warga. Saluran yang memanfaatkan energi gravitasi ini, oleh pemerintah kolonial dipasang pipa air dengan panjang sekitar 6,5 kilometer dari kali manggis dan berakhir di Kampung Jagoan.
Saluran itu memanjang dan membelah kota atau sering disebut dengan Fly River atau Aqua Duct. Untuk saluran yang memotong jalan raya, pemerintah Belanda membangun sebuah bangunan menyerupai benteng (dikenal masyarakat dengan sebutan Plengkung).
Sedikitnya, terdapat tiga plengkung antara lain Plengkung di Jalan Piere Tendean (tahun 1883), Jalan Daha/Tengkon (tahun 1893) dan di Jalan Ade Irma Suryani (tahun 1920). Masing-masing plengkung, rata-rata berukuran tingi dan lebar tujuh meter. Plengkung tersebut masuk sebagai benda cagar budaya yang keberadaannya perlu dilestarikan.
"Plengkung yang pertama di bangun adalah di Jalan Piere Tendean, dan terakhir di Jalan Ade Irma yang dikenal dengan sebutan plengkung baru. Berbeda dengan bangunan serupa seperti di Yogyakarta yang berfungsi sebagai benteng. Plengkung yang ada di Kota Magelang berguna untuk tempat saluran air dan membuka akses jalan," kata Ketua Komunitas Kota Toea Magelang, Bagus Priyana.
Untuk plengkung di Jalan Piere Tendean, katanya, dibangun dengan fungsi membuka akses jalan seiring dibangunnya komplek militer di Taman Badaan (Nievws Officer Kampement) dan tangsi militer (Militair Kompement) di Rindam IV Diponegoro.
Namun pada era perang kemerdekaan, Plengkung ini juga dimanfaatkan oleh para pejuang sebagai benteng perjuangan. Mereka kerap naik ke atas plengkung dan berkonfrontasi senjata dengan pemerintah kolonial Belanda.
“Jadi saat perang para pejuang naik ke plengkung, kemudian dari dalam air itu mereka bertahan dan melakukan perlawanan,” ungkap Bagus.
Sedang Plengkung yang berada di Jalan Daha, yang pada saat dibangun terdiri dari satu pintu utama dan dua pintu pendukung di samping kanan dan kirinya. Pada masa Jepang masuk ke Indonesia, dua pintu pendukung tersebut ditutup dengan tanah. Baru pada sekitar tahun 1999 penutup tersebut dihilangkan sehingga kembali seperti aslinya.
No comments:
Post a Comment