KIPRAH MASYARAKAT TIONGHOA DALAM MENDUKUNG PERJUANGAN REPUBLIKEN DI MAGELANG
Pengantar:
Kisah masa perjuangan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 sangat menarik
untuk dikupas. Salah satunya adalah kisah seorang Tionghoa pengusaha
cerutu yang membuat senjata api untuk menyokong perjuangan kaum Republik
di Magelang.
Bagaimana kisah selengkapnya?
Ikuti kisah berikut ini.
Album foto itu telah usang. Ada jamur tumbuh di beberapa bagian yang terkena lembab. Terlihat dalam salah satu halamannya, tersimpan dengan rapi seseorang dengan sorot mata tajam, berkulit putih, bermata sipit dan seorang Tionghoa. Terlihat, foto-foto itu menampilkan sosok tersebut dari masa kecil hingga berusia paruh baya.
Sosok pria berambut klimis dan parlente tersebut adalah Ko Khoen Gwan. Namanya mungkin terasa asing, tetapi beda dengan papahnya yang bernama Ko Kwat Ie. Iya betul, Ko Khoen Gwan adalah anak ke 4 dari pasangan Ko Kwat Ie si raja cerutu dari Magelang dan Theng Kiok Nio. Ko Khoen Gwan lahir pada 19 Mei 1906 dengan nama lain yakni Kusumo Gondhosubroto.
Ko Khoen Gwan memiliki keahlian di bidang permesinan. Karena itu oleh ayahnya, dia dipercaya untuk menangani permesinan di pabrik cerutu miliknya. Pabrik cerutu “Ko Kwat Ie & Zonen” berdiri sejak tahun 1900 di Batavia. Pada tahun 1908, pabrik itu dipindahkan ke Magelang untuk efisiensi produksi, memudahkan mencari bahan produksi dan tenaga kerja. Pabrik besar didirikan di Jl. Prawirokusuman, tak jauh dari rumah Ko Kwat Ie di Jl. Djuritan Kidul no. 16 (kini Jl. Sriwijaya no. 16) Kota Magelang.
Berkat tangan dingin Ko Kwat Ie yang dibantu oleh anak-anaknya, pabrik ini mengalami kejayaannya antara tahun 1920-1940-an. Bahkan produksinya telah menjelajah hingga Eropa. Tenaga kerjanyapun sekitar 2500 orang, jumlah yang teramat banyak untuk sebuah pabrik cerutu di kota kecil ini.
Pada 28 Februari 1938, Ko Kwat Ie meninggal dunia. Usaha operasional pabrik ini dilanjutkan oleh anak-anaknya, termasuk Ko Khoen Gwan. Pada tahun 1942 hingga 1945 saat Jepang masuk ke wilayah Hindia Belanda dan terjadi Perang Dunia 2 yang juga melanda Eropa, pabrik ini berhenti beroperasi. Tentu saja era ini merupakan masa-masa sulit, mengingat konsumen cerutu mayoritas adalah orang Belanda dan Eropa, baik yang tinggal di wilayah Hindia Belanda maupun yang ada di Belanda dan Eropa.
Masa pasca Jepang dan Perang Dunia 2 yakni antara tahun 1945-1949, kondisi pabrik juga masih sulit. Pabrik belum bisa beroperasi sebagaimana mestinya. Peperangan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 masih berlangsung di beberapa daerah termasuk di Magelang. Ko Khoen Gwan bersimpati dengan perjuangan para kaum Republiken di kota ini. Jiwa nasionalismenya tumbuh karena dia menyadari bahwa keluarganya lahir, tumbuh dan hidup di Indonesia.
Sebagai seorang pengusaha cerutu, bentuk simpati Ko Khoen Gwan dalam menyokong perjuangan bangsa ini bukan dengan mengangkat senjata. Tak main-main, Ko Khoen Gwan malah membuat senjata! Iya membuat senjata bung!
Bagaimana mungkin seorang Tionghoa yang pabrik cerutunya berhenti selama perang membuat senjata?
Ko Khoen Gwan adalah seorang ahli mesin. Salah satu keahliannya adalah membuat peralatan berbahan besi dari mesin bubut yang ada di pabrik cerutu miliknya. Saat perang pasca kemerdekaan itulah, keahliannya teramat penting untuk menyokong persenjataan kaum Republiken. Ko Khoen Gwan membuat senjata api jenis PM (Pistol Mitralijun) dari tahun 1947 hingga 1949. Pembuatan senjata jenis ini di bawah pengawasan Kepala Persenjataan STM-KEDU (Brig 9/II) Muh. Tojib. Sedangkan komandan dari STM-KEDU (Brig 9/II) ini di bawah komando Letkol Sarbini.
Produksi senjata jenis PM ini sangat membantu para pejuang dalam melawan Belanda. Rupanya produksi persenjataan ini telah diendus oleh intel Belanda pada awal Clash II. Akibatnya Ko Khoen Gwan terancam ditembak mati oleh gerombolan Anjing NICA. Beruntung, Tuhan Yang Maha Kuasa masih memberikan kesempatan pada Ko Khoen Gwan untuk berbakti pada negeri ini. Sebagaimana sejarah mencatat, di era tahun 1947-1949 merupakan masa pergolakkan terpenting di wilayah Magelang. Di berbagai pelosok, pertempuran demi pertempuran melawan Belanda begitu gencarnya.
Ko Khoen Gwan meninggal pada 21 September 1963 dalam usia 57 tahun dan meninggalkan 2 orang anak yakni Ko King Gie alias Rudiyanto, seorang dosen di Akademi militer dan Ko King Tjoen alias Robby Ko, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin yang tinggal di Cisarua Bogor.
Ko Khoen Gwan dimakamkan di TPU Soropadan Pringsurat Temanggung. Karena jasa baktinya, Panglima Kodam VII Mayor Jenderal Surono memberikan surat penghargaan tertanggal 5 Oktober 1969. Dan pada 2 Agustus 2004, sebuah surat resmi ditetapkan yakni sebuah keputusan dari DHD 45 Jawa Tengah untuk memancangkan sebuah bambu runcing dengan Merah Putih di atasnya. Proses pemancangan bambu runcing ini dilaksanakan dengan upacara khusus bagi pejuang kemerdekaan RI yang dimakamkan di luar taman makam pahlawan. Hal ini sebagai bukti dan penghargaan bangsa ini terhadap peran Ko Khoen Gwan.
Kisah Ko Khoen Gwan hanyalah sedikit contoh dari anak-anak bangsa yang peduli terhadap perjuangan Republiken dalam berjuang melawan penjajah. Mereka menyadari bahwa tumpah darahnya adalah Indonesia.
Mereka menyadari bahwa negara ini membutuhkan bantuannya. Mereka menyadari bahwa ibu pertiwi telah memanggil.
Dan sesungguhnya, mereka menyadari bahwa Indonesia adalah tanah airnya.
Sumber :
http://wartamagelang.com/kiprah-masyarakat-tionghoa-dalam-mendukung-perjuangan-republiken-di-magelang.html
No comments:
Post a Comment