KEDU, SITI BUMIJO YANG DIRENGGUT DARI KEKUASAAN PARA RAJA
(Bagian I)
Dataran Kedu sejak zaman dahulu memang dikenal sebagai lokasi strategis yang subur dan indah, maka jangan heran jika tatar Kedu menjadi tempat lahirnya peradaban besar bangsa Jawa. Peninggalan kebudayaan agung nenek moyang seperti Candi Borobudur, Candi Mendut, dan candi - candi lainnya yang berserak disana merupakan bukti - bukti kasat mata yang bisa dikhidmati hingga kini.
Kisah panjang Kedu sebagai tempat lahirnya peradaban besar bisa ditarik kebelakang hingga masa Mataram Kuno (Mdang). Pada masa puncak kejayaannya, peradaban Mataram kuno ini mampu berkembang dengan luar bisa sehingga mampu membangun monumen akbar seperti Candi Borbudur. Pasca terjadinya kejadian “Mahapralaya”, maka pusat peradaban pun harus berpindah ke Jawa Timur. Kemudian menurut penuturan Residen Kedu A.A.C. Linck pada surat kabar Het Niews van den dag voor Nederlandsch - Indie terbit pada 6 Oktober 1935 mengatakan, wilayah yang disebut Karesidenan Kedu dulunya pernah menjadi wilayah dari Kerajaan Pengging yang kemudian berhasil ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit.
Pasca runtuhnya Majapahit, wilayah Kedu kemudian jatuh ketangan Kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Setalah itu, berada dibawah kekuasaan Kerajaan Pajang dan terakhir Mataram Islam.
Pada masa Mataram Islam era Sultan Agung Hanyakrakusuma, sebuah perubahan besar terjadi. Pada tahun 1636, Sultan Agung melakukan reformasi birokrasi terhadap wilayah kekuasaan Mataram dengan menempatkan 16 pejabat Bupati Nayaka Jawi - Lebet , membagi tanah pedesaan di wilayah Negaraagung (luar kutonegara) dan Wilayah Mancanegara.
Tatar Kedu yang masuk dalam wilayah Negaragung kemudian dibagi menjadi dua wilayah yaitu, Siti Bumi yang berada di bagian Barat dan Siti Bumijo yang ada di sebelah Timur. Penduduk yang tinggal di daerah Kedu kemudian mendapatkan tugas untuk membuat berbagai macam barang perlengkapan keraton yang sesuai dengan kondisi alamnya. Beberapa benda yang harus dibuat di Kedu antara lain, perkakas lumpang, lesung, daun - daunan, kayu, sapit - sujen, ancak, dan lain sebagainya. Mereka yang bertugas mendapat tugas tersebut dinamakan Abdi Dalem Galadhag.
Sampai dengan masa Mataram Islam era Pakubuwono II tahun 1745, wilayah Kedu (Magelang), masih menjadi wilayah penting penghasil sayur - sayuran dan buah - buahan bagi Mataram. Maka dari itu, Wilayah Kedu terutama Magelang kemudian mendapatkan sebutan sebagai Kebon Dalem. Topinimi wilayah sentra penghasil buah dan sayur di Magelang sampai sekarang masih bisa ditemukan seperti nama kampung Kebondalem, Kebonsari, Kebonpolo, Pucangsari, Jambon, Bayeman, Kemirikerep, Jambesari, Boton Kopen, Karet, dan masih banyak lagi.
Selama perang suksesi jawa antara tahun 1746 hingga 1755, wilayah Kedu menjadi wilayah dengan kehancuran paling banyak. Kekacauan di Kedu mereda setelah ditandatanganinnya perjanjian Giyanti pada 1755 yang mengakibatkan pecahnya Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Pasca Perjanjian Giyanti, wilayah Kedu (Siti Bumijo - Magelang) konon masuk kedalam wilayah Kasultanan Yogyakarta bersamaan dengan empat wilayah lain seperti Siti Agung Mlaya Kusuma (Demak), Siti Numbak Anyar (Bagelen - Purworejo), Siti Paneker (Pajang - Gunung Kidul), dan Siti Gading Mataram (Gunung Merapi - Pantai Selatan). Bahkan pasca Perjanjian Salatiga pada tahun 1757 yang membagi Mataram menjadi tiga bagian yaitu Surakarta, Yogyakarta dan Mangkunegaran, wilayah Kedu sebenarnya masih termasuk dalam wilayah negaragung Surakarta dan Yogyakarta yang diperintah secara bersama - sama. Ada juga dibeberapa tempat di Kedu (Siti Bumijo) yang dibagi secara lebih rumit karena ketidak jelasan batas wilayahnya antara Surakarta dan Yogyakarta.
Perubahan dramatis wilayah Kedu mulai terjadi pada era kepemimpian Hamangku Buwono II yang naik tahta pada 2 April 1792. Sultan yang menjadi saksi mata bangkrut dan runtuhnya VOC ini merasa sangat terganggu atas kehadiran pemerintah Hindia Belanda yang kala itu dipimpin oleh Daendels pada 1808. Sikap - sikap Daendels yang pongah dan sangat mendikte raja - raja Jawa menimbulkan reaksi keras dari Sultan HB II.
Daendels pun tak kalah berang dengan sikap Sultan baru tersebut. Pemberontakan Raden Rangga Prawiradirja, Bupati Madiun yang notabene adalah penasihat kepercayaan HB II terhadap pemerintah Belanda membuatnya naik pitam. Karena dianggap membantu pembangkangan sang Bupati Madiun, maka Daendels pun datang langsung memimpin 3200 pasukan mengancam Keraton Yogyakarta pada 31 Desember 1810. Mau tak mau, Sultan HB II pun harus turun tahta dan digantikan oleh anaknya sendiri sebagai Sultan Hamengku Buwono III. Kontrak politik baru pun dibuat oleh Daendels dan Kraton Yogyakarta dimana kemungkinan rencana dibaginya Jawa menjadi 9 daerah prefektorat / karesidenan (Gewest) dimana salah satu diantaranya bisa jadi berisi lepasnya Kedu dari wilayah kasultanan.
Sebelum kontrak yang baru tersebut berjalan dan berlaku sepenuhnya, kejadian yang mengubah sejarah Hindia - Belanda kembali terjadi. Raffles dengan armada - armada lautnya yang luar bisa dengan mudah mampu menaklukan pertahanan Belanda di Jawa. Sultan HB II yang melihat peluang tersebut naik tahta kembali dan menurunkan putranya dari kedudukan sultan.
Bersambung...
- Chandra Gusta Wisnuwardana -
Sumber :
Artikel Tirto “Sejarah Hidup Sultan Hamengku Buwono II, Sultan yang Berkuasa Tiga Kali”
Keratonjogja. id, “Sri Sultan Hamengku Buwono II”
Buku, Sejarah Daerah - Daerah Istimewa Yogyakarta
Surat Kabar, Het Niews van den dag voor Nederlandsch - Indie terbit pada 6 Oktober 1935
Artikel Facebook FP Sejarah Jogyakarta “Pembagian Negaragung Mataram Islam” dan “Magelang - Kebon Dalem”
Foto : Litografi Karya Junghuhn pada 1853 yang diambil dari belakang rumah Residen Kedu dengan objek gambar berupa pemandangan Gunung Sumbing, Perbukitan Giyanti, persawahan dan Sungai Progo.
(Bagian I)
Dataran Kedu sejak zaman dahulu memang dikenal sebagai lokasi strategis yang subur dan indah, maka jangan heran jika tatar Kedu menjadi tempat lahirnya peradaban besar bangsa Jawa. Peninggalan kebudayaan agung nenek moyang seperti Candi Borobudur, Candi Mendut, dan candi - candi lainnya yang berserak disana merupakan bukti - bukti kasat mata yang bisa dikhidmati hingga kini.
Kisah panjang Kedu sebagai tempat lahirnya peradaban besar bisa ditarik kebelakang hingga masa Mataram Kuno (Mdang). Pada masa puncak kejayaannya, peradaban Mataram kuno ini mampu berkembang dengan luar bisa sehingga mampu membangun monumen akbar seperti Candi Borbudur. Pasca terjadinya kejadian “Mahapralaya”, maka pusat peradaban pun harus berpindah ke Jawa Timur. Kemudian menurut penuturan Residen Kedu A.A.C. Linck pada surat kabar Het Niews van den dag voor Nederlandsch - Indie terbit pada 6 Oktober 1935 mengatakan, wilayah yang disebut Karesidenan Kedu dulunya pernah menjadi wilayah dari Kerajaan Pengging yang kemudian berhasil ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit.
Pasca runtuhnya Majapahit, wilayah Kedu kemudian jatuh ketangan Kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Setalah itu, berada dibawah kekuasaan Kerajaan Pajang dan terakhir Mataram Islam.
Pada masa Mataram Islam era Sultan Agung Hanyakrakusuma, sebuah perubahan besar terjadi. Pada tahun 1636, Sultan Agung melakukan reformasi birokrasi terhadap wilayah kekuasaan Mataram dengan menempatkan 16 pejabat Bupati Nayaka Jawi - Lebet , membagi tanah pedesaan di wilayah Negaraagung (luar kutonegara) dan Wilayah Mancanegara.
Tatar Kedu yang masuk dalam wilayah Negaragung kemudian dibagi menjadi dua wilayah yaitu, Siti Bumi yang berada di bagian Barat dan Siti Bumijo yang ada di sebelah Timur. Penduduk yang tinggal di daerah Kedu kemudian mendapatkan tugas untuk membuat berbagai macam barang perlengkapan keraton yang sesuai dengan kondisi alamnya. Beberapa benda yang harus dibuat di Kedu antara lain, perkakas lumpang, lesung, daun - daunan, kayu, sapit - sujen, ancak, dan lain sebagainya. Mereka yang bertugas mendapat tugas tersebut dinamakan Abdi Dalem Galadhag.
Sampai dengan masa Mataram Islam era Pakubuwono II tahun 1745, wilayah Kedu (Magelang), masih menjadi wilayah penting penghasil sayur - sayuran dan buah - buahan bagi Mataram. Maka dari itu, Wilayah Kedu terutama Magelang kemudian mendapatkan sebutan sebagai Kebon Dalem. Topinimi wilayah sentra penghasil buah dan sayur di Magelang sampai sekarang masih bisa ditemukan seperti nama kampung Kebondalem, Kebonsari, Kebonpolo, Pucangsari, Jambon, Bayeman, Kemirikerep, Jambesari, Boton Kopen, Karet, dan masih banyak lagi.
Selama perang suksesi jawa antara tahun 1746 hingga 1755, wilayah Kedu menjadi wilayah dengan kehancuran paling banyak. Kekacauan di Kedu mereda setelah ditandatanganinnya perjanjian Giyanti pada 1755 yang mengakibatkan pecahnya Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Pasca Perjanjian Giyanti, wilayah Kedu (Siti Bumijo - Magelang) konon masuk kedalam wilayah Kasultanan Yogyakarta bersamaan dengan empat wilayah lain seperti Siti Agung Mlaya Kusuma (Demak), Siti Numbak Anyar (Bagelen - Purworejo), Siti Paneker (Pajang - Gunung Kidul), dan Siti Gading Mataram (Gunung Merapi - Pantai Selatan). Bahkan pasca Perjanjian Salatiga pada tahun 1757 yang membagi Mataram menjadi tiga bagian yaitu Surakarta, Yogyakarta dan Mangkunegaran, wilayah Kedu sebenarnya masih termasuk dalam wilayah negaragung Surakarta dan Yogyakarta yang diperintah secara bersama - sama. Ada juga dibeberapa tempat di Kedu (Siti Bumijo) yang dibagi secara lebih rumit karena ketidak jelasan batas wilayahnya antara Surakarta dan Yogyakarta.
Perubahan dramatis wilayah Kedu mulai terjadi pada era kepemimpian Hamangku Buwono II yang naik tahta pada 2 April 1792. Sultan yang menjadi saksi mata bangkrut dan runtuhnya VOC ini merasa sangat terganggu atas kehadiran pemerintah Hindia Belanda yang kala itu dipimpin oleh Daendels pada 1808. Sikap - sikap Daendels yang pongah dan sangat mendikte raja - raja Jawa menimbulkan reaksi keras dari Sultan HB II.
Daendels pun tak kalah berang dengan sikap Sultan baru tersebut. Pemberontakan Raden Rangga Prawiradirja, Bupati Madiun yang notabene adalah penasihat kepercayaan HB II terhadap pemerintah Belanda membuatnya naik pitam. Karena dianggap membantu pembangkangan sang Bupati Madiun, maka Daendels pun datang langsung memimpin 3200 pasukan mengancam Keraton Yogyakarta pada 31 Desember 1810. Mau tak mau, Sultan HB II pun harus turun tahta dan digantikan oleh anaknya sendiri sebagai Sultan Hamengku Buwono III. Kontrak politik baru pun dibuat oleh Daendels dan Kraton Yogyakarta dimana kemungkinan rencana dibaginya Jawa menjadi 9 daerah prefektorat / karesidenan (Gewest) dimana salah satu diantaranya bisa jadi berisi lepasnya Kedu dari wilayah kasultanan.
Sebelum kontrak yang baru tersebut berjalan dan berlaku sepenuhnya, kejadian yang mengubah sejarah Hindia - Belanda kembali terjadi. Raffles dengan armada - armada lautnya yang luar bisa dengan mudah mampu menaklukan pertahanan Belanda di Jawa. Sultan HB II yang melihat peluang tersebut naik tahta kembali dan menurunkan putranya dari kedudukan sultan.
Bersambung...
- Chandra Gusta Wisnuwardana -
Sumber :
Artikel Tirto “Sejarah Hidup Sultan Hamengku Buwono II, Sultan yang Berkuasa Tiga Kali”
Keratonjogja. id, “Sri Sultan Hamengku Buwono II”
Buku, Sejarah Daerah - Daerah Istimewa Yogyakarta
Surat Kabar, Het Niews van den dag voor Nederlandsch - Indie terbit pada 6 Oktober 1935
Artikel Facebook FP Sejarah Jogyakarta “Pembagian Negaragung Mataram Islam” dan “Magelang - Kebon Dalem”
Foto : Litografi Karya Junghuhn pada 1853 yang diambil dari belakang rumah Residen Kedu dengan objek gambar berupa pemandangan Gunung Sumbing, Perbukitan Giyanti, persawahan dan Sungai Progo.