Sejarah Kota Magelang
Letak Kota Magelang
Secara geografis letak kota Magelang berada di
tengah-tengah pulau jawa. Selain itu terdapat gunung tidar yang sering
dikenal sebagai pakunya pulau jawa. Kota Magelang memiliki posisi yang
strategis, karena berada di jalur utama transportasi
Semarang-Magelang-Yogyakarta, Magelang-Purworejo serta
Magelang-Temanggung. Magelang berada di 75 km sebelah selatan Semarang
dan 43 km sebelah utara Yogyakarta. Di samping itu sebagai jalur wisata
antara Yogjakarta-Borobudur-dataran tinggi dieng-ketep pass dan kopeng.
Kota magelang juga terdapat beberapa tempat wisata seperti taman Kyai
langgeng, Taman badaan, alun-alun kota dan lain-lain.
Sejarah Kota Magelang
Kota
Magelang memiliki sejarah panjang dan menarik. Kota Magelang merupakan
kota tertua kedua di Indonesia. Nama Magelang sendiri bertolak belakang
dari berbagai sumber, seperti cerita rakyat, dongeng, legenda dan
sebagainya. Ada yang berpendapat bahwa nama Magelang itu berasal dari
kisah datangnya orang Keling (Kalingga) ke Jawa yang mengenakan hiasan
gelang di hidungnya. Kata gelang mendapat awalan “ma” yang menyatakan
kata kerja memakai atau menggunakan, maka berarti “memakai gelang”. Jadi
Magelang berarti daerah yang didatangi orang-orang yang menggunakan
atau memakai gelang.
Adalagi yang berpendapat bahwa Magelang itu berasal
dari kisah dikepungnya Kyai Sepanjang oleh prajurit Mataram secara “temu
gelang” atau rapat berbentuk lingkaran. Ada pula yang mengaitkan nama
Magelang itu dengan kondisi geografis daerah Kedu “cumlorot” yang
ternyata semakna dengan kata gelang. Berawal dari sebuah desa perdikan
“Mantyasih” yang mengandung arti beriman dalam cinta kasih. Penetapan
desa Mantyasih tertulis pada Prasasti Mantyasih tertulis pada Prasasti
Mantyasih tanggal 11 April 907 M oleh Raja Dyah Balitung yang kemudian
menjadi dasar penetapan Hari Jadi Magelang. Desa tersebut kemudian
berada di sebelah barat Kota Magelang dengan nama Meteseh di wilayah
Kecamatan Magelang Utara Kota Magelang.
Daerah perdikan ini dulu disebut Kebondalem, yang
berarti kebun milik Raja, yaitu Sri Sunan Pakubuwono dari Surakarta.
Tanah yang membujur ke selatan dari kampung Potrobangsan sampai kampung
Bayeman sekarang, dulunya adalah kebun kopi, rempah, buah-buahan dan
sayur-sayuran termasuk bayam atau “bayem” dalam bahasa Jawa. Sisa-sisa
pernah adanya kebun itu masih dapat dilihat dari nama-namatempat seperti
: Kebondalem, yaitu sebuah kampung di Kelurahan Potrobangsan, Botton
Kopen dahulu adalah kebun kopi, Kebonpolo atau kebun pala,
Kemirikerep/Kemirirejo bekas kebun kemiri, Jambon bekas kebun jambu,
Bayeman bekas kebun bayam, Pucangsari bekas kebun pohon pucang,
Kebonsari bekas kebun yang indah ditanami bermacam-macam tumbuhan,
Jambesari kebun yang ditanami pohon pinang/jambe, Karet bekas kebun
pohon karet.
Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke-18,
dijadikanlah kota ini sebagai pusat pemerintah setingkat kabupaten dan
diangkatlah Mas Ngabehi Danoekromo sebagai bupati pertama dengan gelar
Raden Tumenggung Danoeningrat. Bupati ini pulalah yang kemudian merintis
berdirinya Kota Magelang dengan membuat alun-alun, bangunan tempat
tinggal bupati serta sebuah masjid dan gereja GPIB Jalan Alun-alun
Utara. Dalam perkembangan selanjutnya, dipilihlah Magelang sebagai
ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818 karena letaknya yang startegis,
dilalui jalan raya yang menuju Yogyakarta.
Setelah pemerintah Inggris takluk oleh Belanda,
Kedudukan Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini
dijadikan pusat lalu lintas perekonomian untuk kawasan Jawa Tengah
bagian selatan sehingga mendorong perkembangan kota. Selain karena
letaknya yang strategis, udara Magelang juga nyaman serta memiliki
pemandangan indah, sehingga oleh Belanda kota ini dijadikan Kota
Magelang Militer. Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan
prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota
pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan
jalan-jalan arteri diperkeras dan diaspal.
Kota Magelang diberikan status sebagai Kota Magelang
Gemeente pada 1 April 1906 dan dipimpin oleh seorang Belanda yang
menjabat sebagai Burgemeester. Burgemeester inilah yang sekarang disebut
Walikota.
Perkembangan jaman menuntut dibangunnya berbagai
sarana dan prasarana kota. Sarana dan prasarana air bersih, penerangan,
perbankan, tempat-tempat makan-minum, tempat hiburan dan rekreasi serta
yang lain terus berkembang sebagaimana layaknya sebuah kota yang penuh
dengan dinamika. (dari Buku Panduan Wisata Kota Magelang).
Begitulah Magelang, yang kemudian berkembang menjadi
kota selanjutnya menjadi ibukota Karesidenan Kedu dan juga pernah
menjadi ibukota kabupaten Magelang. Setelah masa kemerdekaan kota ini
menjadi Kotapraja dan kemudian Kotamadya dan di era Reformasi, sejalan
dengan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah, sebutan kota
madya berganti menjadi kota.
Daftar Walikota Magelang
- R Soeprodjo Projowidagdo th. 1945 – 1948
- R. Moch. Sunarman th. 1945 – 1948
- R. Sutedjo th. 1945 – 1948
- R. Mukahar Ronohadiwidjoyo th. 1948 – 1956
- R. Wibowo Hellie th. 1956 – 1958
- Argo Ismoyo th. 1958 – 1965
- Sunaryo th. 1965 – 1966
- Dr. Moch. Soebroto th. 1966 – 1979
- Bagus Panuntun th. 1979 – 1984
- Rudy Sukarno th. 1984 – 1995
- Kol (Purn) Sukadi th. 1995 – 2000
- H. Fahriyanto th. 2000 – 2005
- H. Fahriyanto th. 2005 – 2010
- Ir. H. Sigit Widyonindito, M.T. th. 2010 – 2015
- Rudy Apriyantoro th. 2015 – 2016 (Pelaksana Tugas Walikota)
- Ir. H. Sigit Widyonindito, M.T. th. 2016 – Sekarang
Sumber :
https://visitmagelang.id/sejarah-kota-magelang