KLITHIH
Beberapa fenomena
kekerasan akhir akhir ini mengemuka, seperti pembacokan di beberapa ruas jalan yang menimpa orang yang sedang melaksanakan
aktifitas di jalan. Hal ini membuat kenyamanan warga masyarakat terusik. Penyerangan
terhadap warga menjadi sebuah realitas
belum terkikisnya fenomena klithih.
Istilah klithih bukan
menjadi hal baru bagi masyarakat Yogya. Klithih
atau nglithih dapat diartikan
sebagai aktivitas berkeliling kota menggunakan kendaraan yang dilakukan oknum
remaja, biasanya mereka diidentifikasikan sebagai pelajar sekolah menengah.
Aksi klithih ini lebih cenderung
bermakna konotatif. Karena aktivitas yang dilakukan mereka yang nglithih tidak lepas dari aksi
vandalisme dan memancing keresahan publik.
Fenomena klithih ini
tentunya tidak bisa dilepaskan dari ruang interaksi dan komunikasi sosial. Dan
fenomena ini bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk disorientasi sosial yang
terjadi di masyarakat. Secara sosiologis, masyarakat kita sedang sakit, dalam
pengertian telah terjadi begitu banyaknya perilaku menyimpang.
Seperti aksi vandalisme, kriminalitas di jalanan (klithih), bunuh diri, dan kekerasan
seksual baik pada perempuan maupun anak anak. Yogyakarta sebagai kota
pendidikan dan budaya ternyata justru kerap sekali menjadi sasaran atau target
dari perilaku menyimpang tersebut. Suatu paradoks di tengah-tengah masyarakat
yang sangat kental dengan tatanan nilai dan budaya.
Perilaku menyimpang yang ditunjukkan dengan aktivitas klithih sebenarnya tidak hadir dalam
ruang kosong. Artinya kemunculan klithih sebagai salah satu perilaku komunal
yang menyimpang juga dilatarbelakangi oleh keberadaan gerombolan remaja yang
menamakan dirinya sebagai geng. Kehadiran geng merupakan keniscayaan bagi para
remaja yang secara psikologis menginginkan adanya pengakuan akan keberadaan
mereka. Sehingga sangat relevan jika keinginan atas pengakuan tersebut mereka
wujudkan dalam bentuk aktivitas fisik, salah satunya dengan melakukan klithih.
Bagi mereka klithih merupakan salah satu bentuk pertemanan (friendship) yang menandakan nilai dan ikatan diri.
Berkembangnya perilaku klithih
sebagai suatu pilihan untuk menunjukkan eksistensi diri bagi remaja juga
dipengaruhi oleh perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Tidak bisa kita
pungkiri efek dari globalisasi, di mana salah satunya ditandai dengan
keterbukaan media melalui media daring (IT) menjadi salah satu kontributor
maraknya aksi-aksi penyimpangan di ranah publik. Aksesibilitas informasi yang
begitu cepat dan tanpa batas, pada satu sisi membawa efek negatif bagi
preferensi sosial seseorang maupun entitas sosial masyarakat. Mereka yang tidak
mampu mencerna dan memilih informasi yang dibutuhkan akan cenderung taqlid dan
menjadi suatu kebutuhan untuk dilakukan, tidak terkecuali sebagai bentuk
pelampiasan atas sebuah eksistensi diri. Dan keberadaan klithih bukan tidak
mungkin diawali oleh informasi-informasi hanya memberikan kebanggaan sesaat.
Pemerintah daerah maupun aparat kepolisian harus segera
mengambil tindakan tegas atas perilaku menyimpang ini, jangan sampai
kasus-kasus vandalisme dan kriminalitas yang diakibatkan oleh perilaku klithih
menjadi momok bagi masyarakat. Karena jika hal ini tidak segera diatasi maka
bukan tidak mungkin akan memicu konflik sosial dalam skala yang lebih besar, di
mana kemudian muncul aksi kekerasan massa sebagai bentuk kekesalan publik atas
oknum klithih. Penanganan atas persoalan ini harus dilakukan melalui pendekatan
sosiologis maupun psikologis, agar formulasi kebijakan penanganan mampu
dilakukan dengan baik dan tepat sasaran. Mengingat para pelaku klithih secara umum adalah para remaja
yang masih duduk di bangku sekolah.
Semua elemen harus sadar dan menyadari adanya perubahan sosial
dalam tatanan sosial, tidak terkecuali tatanan sosial pada masyarakat
Yogyakarta. Fenomena sosial ini merupakan suatu keniscayaan yang harus
diperhatikan dan disikapi dengan bijak. Publik secara nyata menghadapi
vandalisme sosial dan kriminalitas yang diakibatkan oleh perilaku tidak
bertanggung jawab, oleh karena itulah diperlukan adanya perubahan mindset dan
perspektif untuk mencegahnya.
Melakukan pelabelan atas para pelaku klithih bukan solusi yang
tepat untuk mengeliminir aksi mereka, karena secara psikologis aksi mereka bisa
dipahami sebagai bentuk pencarian jati diri. Pendekatan sosiologis dengan
melibatkan seluruh elemen masyarakat dan stakeholder merupakan solusi yang
paling tepat. Sehingga akan lahir tatanan sosial yang lebih humanis.
( Sumber : Agung SS Widodo MA. Peneliti
Sosial-Politik, Pusat Studi Pancasila UGM. Artikel ini dimuat Surat Kabar
Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 14 Desember 2016)
‘Klithih’ dapat diterjemahkan sebagai sebuah tindakan nekad dari
kebanyakan dilakukan oleh anak-anak remaja/Anak Baru Gede(ABG), sosok-sosok
yang masih labil jiwanya, yang konon katanya masih mencari jati diri,
namun di implementasi dengan tindakan negatif bahkan tindakan melukai orang
lain dengan senjata tajam(sajam).
Tindakan yang
melukai orang lain dengan beragam motif bahkan tanpa motif ini, sungguh
meresahkan masyarakat. Karena tindakan melukai ini tergolong sadis bahkan
brutal, mereka tak bermoral memakai sajam, batangan besi dan lain sebagainya
guna melukai korban. Dan ini sungguh melukai semua warga masyarakat bukan hanya
korban, karena, hal yang kriminal ini meresahkan, membuat takut dan menjadi
momok bagi yang kebetulan keluar malam atau pulang kerja di malam hari.
Tapi hal ini agak
sedikit melega karena pihak-pihak kepolisan selaku penegak hukum dan pengayom
masyarakat langsung merespon dan bertindak cepat, dengan sering melakukan
patroli malam, dan bahkan dengan cepat pula berhasil menangkap beberapa
pelaku tindak kriminal yang lagi ngetren disebut aksi ‘Klithih’ ini.
Klithih/ klitih (klithihan/nglithih) merupakan sebuah (kosa) kata dari bahasa jawa/Yogyakarta, yang
mempunyai arti sebuah kegiatan dari seseorang yang keluar rumah di malam hari
yang tanpa tujuan. Atau yaa boleh hanya sejedar jalan-jalan, mencari/ membeli
makan, nongkrong di suatu tempat dan lain sebagainya. Klitih jika dialih
bahasakan ke kosa kata bahasa Indonesia bisa disamakan dengan kata keluyuran. Itulah arti dari kata klitih/klithih.
Memang benar sih konotasi dari kata tersebut menjurus ke hal
atau tindakan yang kurang baik, karena sebuah tindakan yang tidak ada kepastian
tujuan dari kegiatan ini.
Dan memang tepat
juga sih jika banyak orang menyebut aksi anak remaja tanggung yang melakukan
aksi melukai orang lain menyebutnya aksi klithih, ya walaupun aksi melukai orang
lain merupakan sebuah tindak kriminal, bukan merupakan tindak klithih/
keluyuran.
Beberapa orang mungkin akan bilang kalau di zaman
serba modern ini tidak ada lagi yang namanya tawuran remaja. Tidak ada
kejahatan yang dilakukan remaja dengan saling baku hantam di jalanan. Remaja
era milenial ini akan lebih konsen dengan gadget atau mempercantik atau
mempertampan wajahnya agar bisa selfie dan eksis di sosial media.
Ternyata, anggapan itu tidak sepenuhnya
benar. Di beberapa daerah seperti Yogyakarta. Aksi kenakalan yang dilakukan
oleh seorang remaja masih saja terjadi. Mereka melakukan aksi nglithih dengan
mengeroyok anak dari sekolah tertentu menggunakan senjata tajam hingga nyawa
korban bisa saja melayang.
Aksi ngelithih yang pernah menggemparkan
Yogyakarta bertahun-tahun yang lalu mendadak muncul kembali beberapa hari lalu.
Puluhan orang dengan penutup wajah mengeroyok siswa SMA Muhammadiyah I
Yogyakarta dan menyebabkan satu korban meninggal dunia.
Sejarah Munculnya Nglithih di Yogyakarta
Nglithih atau lithih memiliki arti
berkeliaran di sepanjang jalan. Kata ini akhirnya diadopsi menjadi sebutan aksi
menyisiran di jalan guna menemukan anak-anak yang akan dieksekusi. Para tim
ngelithih akan menyusuri jalan untuk menemukan anak sekolahan entah SMP atau
SMA yang berasal dari sekolah tandingan untuk diajak ke markas.
TKP Nglithih yang Menimpa siwa MUH I [image source]Aksi ngelithih berbeda dengan aksi
tawuran yang dilakukan dengan terang-terangan. Aksi ini dilakukan di jalanan
secara diam-diam sehingga siapa saja bisa jadi korban. Para pelaku klithih
biasanya menangkap dan melakukan penganiayaan dengan tanpa ampun. Tidak jarang,
korban dari ngelithih ini meninggal karena luka pada tubuhnya.
Jam-Jam Berjalannya Nglithih di Yogyakarta
Ngelithih biasanya dilakukan dalam
beberapa gelombang yang berbeda. Tim nglithih dari sekolah tertentu kerap
melakukan penyisiran di jalanan saat jam pulang sekolah. Mereka yang pulang
sekolah dan sedang apes bisa terjaring gang nglithih yang mengerikan ini.
Selanjutnya, gelombang kedua dilakukan beberapa jam setelah pulang sekolah.
Aksi ini dilakukan untuk mencegat pelajar yang sembunyi di sekolah untuk
menghindari anggota klithih.
Gelombang ketiga biasanya
dilakukan pada sore atau malam hari. Mereka yang pulang les atau selesai
melakukan ekstrakurikuler di sekolah akan menjadi target selanjutnya. Tim
nglithih yang biasanya menggunakan sepeda motor dan anggotanya banyak bisa
langsung melakukan aksi pembacokan di tempat atau korban ditangkap untuk
dianiaya bersama-sama.
Siklus Berlanjut dan Tidak Pernah Putus. Seperti
halnya tawuran yang terjadi di Jakarta atau kota besar lain, pelaku adalah
korban yang dahulu pernah merasakan kekejaman. Mereka seperti balas dendam
dengan apa yang terjadi degan melakukan aksi yang sama. Para anggota nglithih
biasanya mereka yang pernah diperlakukan dengan tidak baik di jalanan hingga
mungkin nyaris merenggut nyawanya.
Tawuran Pelajar [image source]Dari pengalaman yang sangat mengerikan
ini, timbul inisiatif untuk balas dendam sehingga tim nglithih akan terus lahir
dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kalau praktik ini tidak segera
dihapuskan dari jalanan, bukan tidak mungkin kematian demi kematian akan terus
terjadi hingga pelajar di Yogyakarta tidak bisa sekolah dengan tenang.
Aksi nglithih yang sangat meresahkan ini sudah sangat
melanggar hukum. Bagaimana mungkin pelajar bisa melakukan aksi mengerikan yang
kadang dilakukan tanpa alasan. Asal bisa melakukan aksi anarki, mereka jadi
senang sehingga ada pihak-pihak tertentu yang sengaja menyediakan tas berisi
senjata untuk aksi yang di luar batas kewajaran ini.
Pelaku yang melakukan
aksi nglithih ini sudah melanggar UU perlindungan anak. Meski rata-rata mereka
masih berusia 17 tahun, hukuman berat sudah seharusnya diterapkan. Sebelum
kejadian nahas yang menimpa siswa SMA Muhammadiyah I, hukuman yang ditetapkan
untuk aksi ini adalah 7 tahun. Namun, hukuman cukup lama ini sepertinya tidak
membuat pelaku jera dan tetap melakukan aksi-aksinya.
Dari apa yang telah kita bahas di atas,
terlihat dengan sangat jelas kalau nglithih sangat mengerikan. Fenomena ini bak
bom waktu yang bisa meledak kapan saja sehingga pencegahan sejak dini harus
diterapkan dari lingkungan keluarga dan sekolah. Semoga, aksi pembantaian
pelajar ini tidak terjadi lagi.
Sumber
: