Generasi 80an dan 90an pasti mengetahuinya.
membaca karyanya dan tumbuh "menggelinjang" bersamanya. meskipun
membacanya dengan sembunyi-sembunyi baik di rumah maupun di ruang ruang kelas
masa SMA,
inilah nama yang begitu lekat dalam dunia
penulisan Indonesia pada 1977-1992. Karya-karyanya paling banyak dibaca
generasi muda Indonesia.
Tapi siapakah sebenarnya Enny Arrow, inilah paparan dari Sunardian
Wirodono di akun Facebooknya.
Nama sesungguhnya, Enny Sukaesih Probowidagdo, lahir di Hambalang,
Bogor 1924. Karirnya dimulai sebagai wartawan pada masa pendudukan Jepang.
Belajar stenografi di Yamataka Agency, kemudian direkrut menjadi salah satu
propagandis Heiho dan Keibodan. Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Enny Arrow
bekerja sebagai wartawan Republikein yang mengamati jalannya pertempuran
seputar wilayah Bekasi.
Pada 1965, Enny Sukaesih menulis karangan
dengan judul "Sendja Merah di Pelabuhan Djakarta". Ini karya pertama
ia mengenalkan nama samaran sebagai Enny Arrow. Kata arrow ia dapatkan sesuai
dengan nama toko penjahit di dekat Kalimalang. Di toko penjahit
"Arrow" itulah Enny Sukaesih pernah bekerja sebagai penjahit pakaian.
Setelah Peristiwa 30 September 1965, suasana politik tidak menentu,
Enny Arrow berkelana ke Filipina, Hong Kong, dan kemudian mendarat di Seattle
Amerika Serikat, pada bulan April 1967.
Disitulah Enny belajar penulisan kreatif bergaya Steinbeck. Ia mulai mencoba
menulis dan mengirimkan beberapa karyanya ke koran-koran terkenal Amerika
Serikat. Salah satu karyanya novel dengan judul "Mirror Mirror".
Tahun 1974, Enny Arrow kembali ke Jakarta, dan bekerja di salah satu
perusahaan asing, sebagai copy writer atas kontrak-kontrak¬ bisnis. Semasa
kerjanya itulah, Enny rajin menulis novel. Sangat produktif. Salah satunya,
"Kisah Tante Sonya", cukup populer, mampu mengalahkan popularitas
"Ali Topan Anak Jalanan" Teguh Esha yang hit pada waktu itu. Pada
dekade 1980-an, nama Enny Arrow mendapat sambutan luar biasa. Motingo Boesje
pun lewat.
Hingga pada kematiannya (1995), tak satupun orang Indonesia tahu siapa
dirinya. Warisan semangatnya sebagai penulis, dia menolak bukunya dijual di
toko-toko buku besar. Untuk masa kini, sikap kepenulisannya itu nampol banget,
untuk toko buku yang mengambil 50% dari harga
jual buku.
Enny Arrow bukan saja penulis yang berkibar
karena karya-karyanya yang penuh desah. Tapi ia juga penantang karya-karya
sastra yang berpihak pada kaum pemodal, waktu itu.
Sumber :
Anda
yang pada 1980-an menginjak usia remaja atau lebih tua akan tidak asing dengan
nama Enny Arrow. Bahkan mungkin Anda pernah membaca karya Enny Arrow secara
sembunyi-sembunyi.
Sebaliknya, Anda yang pada era itu belum lahir atau masih balita besar
kemungkinan akan gagal memahami lelucon itu. Enny Arrow adalah sosok penulis
novel erotis--kalau tak mau disebut porno--paling produktif pada zamannya.
Karya-karyanya beredar luas di masyarakat. Bahkan di eranya, Enny Arrow menjadi
legenda sastra stensilan. Yang jadi persoalan adalah, hingga sekarang tak
banyak yang tahu siapa sebenarnya Enny Arrow, termasuk pemerintah Orde Baru
waktu itu.
Hari Gib, pria yang pernah menghabiskan masa studinya di Universitas Brawijaya
Malang, pernah melakukan penelitian sederhana tentang Enny Arrow. Kepada Liputan6.com ia mengatakan, Enny Arrow
sebenarnya adalah nama samaran dari penulis aslinya. "Semacam nama
pena-lah," katanya.
Bisa dibilang, novel-novel karya Enny Arrow setara dengan VCD atau situs-situs
porno internet di zaman sekarang. Tak muluk kiranya, hanya dengan novel Enny
Arrow-lah remaja ke atas pada saat itu mengenal pornografi untuk pertama kali.
Lalu, Siapa
Enny Arrow?
Hari Gib pun blak-blakan berkisah. Enny Arrow, ujarnya, adalah
seorang perempuan bernama Eni Sukaisih. Lahir di Hambalang, Bogor, pada 1942
dan wafat pada 1995.
Sebelum menulis novel-novel stensilan yang digemari banyak orang, Eni mulanya
adalah seorang jurnalis ketika Republik Indonesia ini masih begitu muda. Lalu
pada pemerintahan Sukarno, Eni diketahui pindah ke Amerika Serikat dan bekerja
di sana sebagai copywriter.
" Entah apa yang membuat Eni Sukaisih ini kembali
lagi ke Indonesia. Saya lupa tahun berapa, tapi di zaman Orba. Pada saat
itulah, ia mulai menulis novel-novel erotis," tutur Hari, peneliti
sekaligus pengoleksi karya-karya Enny Arrow.
Pada masanya, karya Enny Arrow meledak keras di pasaran. Seri terbarunya sangat
ditunggu-tunggu para pembaca. Isinya luar biasa vulgar. Bercerita tentang
sepasang manusia sedang bercinta. Lengkap dengan deskripsi yang rinci dan
hiperbola. "Saya kira kekuatannya memang pada deskripsinya. Sangat detail.
Imajinasi orang pasti sudah ke mana-mana," ujar Hari.
Cover novel Enny Arrow juga terbilang berani. Tak
ada satu pun buku bergambar wanita berpose panas pada saat itu, kecuali
karya-karyanya. Dibalut dengan judul yang metaforis seperti, Selembut Sutera, Malam Kelabu, Gairah Cinta, Noda-Noda Merah dan
lain sebagainya.
"Rata-rata kalau tidak sembunyi saat membaca, ya disobek
covernya agar tidak ketahuan," ujar Hari.
Anehnya lagi, tak hanya nama penulis, nama penerbit pun disamarkan. Dari
ratusan judul yang telah dilahirkan Enny Arrow, hanya tertera Penerbit Mawar.
Tanpa nomor telepon apalagi alamat kantor. Para loper buku juga begitu.
Semuanya bungkam dan mentok hanya geleng-geleng, tak tahu menahu siapa Enny
Arrow.
Hari melanjutkan, novel karya Enny Arrow terbilang sangat murah. Per buku yang
rata-rata berisi 40 halaman hanya dihargai Rp.1000. Itu tak sebanding dengan
harga kertas pada saat itu. Lalu dari mana Eni Sukaisih alias Enny Arrow dapat
untung? Atau memang bukan itu tujuan ia menulis.
Anti Mainstream
dan Sindiran Keras Dunia Sastra
Hari mengatakan, kemampuan menulis Eni tak kalah dengan sastrawan
sekaliber Angkatan Pujangga Baru atau bahkan Balai Pustaka. Hanya saja, Eni
bercerita soal seks dan selangkangan. "Dan kemampuan itu barangkali ia
dapatkan sewaktu ia di Amerika sana," ujar Hari.
Kata Hari juga, Eni Sukaisih sebenarnya ingin menyindir karya-karya sastra pada
saat itu. Menurut dia, sastra yang berkembang saat itu terlalu eksklusif dan
normatif.
"Kecenderungan Eni, dia orangnya anti-mainstream. Tidak memikirkan royalti
contohnya. Dia ingin menelurkan karya yang segar, itu saja. Dan setiap orang
berhak membaca. Bahkan kelas menengah ke bawah sekali pun," katanya.
Benar saja. Jika dicermati, karya Enny Arrow sebenarnya mengajarkan kebaikan
juga. Namun dengan cara yang berbeda. Sebagai contoh, Eni selalu membuat cerita
tokoh dalam bukunya happy ending. Seburuk
apa pun yang telah dilakukan tokoh itu, pada akhirnya si tokoh akan mendapatkan
ganjaran yang setimpal lalu bertobat.
"Walau sebenarnya berisiko, itu yang membuat Enny Arrow tak pernah
ditinggalkan pembacanya," kata Hari meyakinkan
Pada
akhirnya, setiap tulisan pasti akan menemukan pembacanya masing-masing. Tak
terkecuali karya-karya Enny Arrow. Biar bagaimana pun orang memaknainya, ia
pernah meramaikan khazanah kesastraan Indonesia. Walau sosoknya tak pernah
dikenal orang apalagi diceritakan di buku-buku pelajaran, Enny Arrow tetap
punya tempat di hati para penggemarnya hingga sekarang.
Sehingga apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer ada benarnya, “Menulis adalah
bekerja untuk keabadian.” Dan dari guyonan di seminar itu, Enny Arrow tak
pernah benar-benar dilupakan pembacanya. Hingga saat ini, karya-karya Enny
Arrow pun masih sering dicari di toko-toko online kendati
langka dan mahal harganya.
No comments:
Post a Comment