Batu Gantung di Ķrasnoyarsk Rusia
.... berani menjalani kehidupan, adalah sebuah konsekuensi untuk ikut membangun sebuah peradaban yang lebih bertanggung jawab ...
27 September 2023
Raden Toemenggoeng Ario Tjokrosoetomo van Temanggoeng met Raden Ajoe, circa 1930 universiteitleiden.nl Raden Tumenggung Ario Cokrosutomo dari Temanggung bersama istri, sekitar tahun 1930
Raden Toemenggoeng Ario Tjokrosoetomo van Temanggoeng met Raden Ajoe, circa 1930
universiteitleiden.nl
Raden Tumenggung Ario Cokrosutomo dari Temanggung bersama istri, sekitar tahun 1930
Oleh : Andre Owen
Sejarah Magelang - Mendut dan Kali Elo
Dara-dara Mendut main ke Kali Elo. Kayaknya ini yang di belakang kompleks asrama, samar-samar kelihatan kayak jembatan Elo.
Oleh : Eva Mentari Christop
Sejarah Magelang - Hotel Montagne Magelang
HOTEL MONTAGNE MAGELANG
Oleh : Adriaan Haryo Anders Wibowo
Hotel Montagne didirikan pada 1921terletak di hoek atau samping perempatan jalan Residentielaan dan Groote Weg Noord Pontjol Berdiri diatas kontur tanah yang lebih tinggi, bangunan hotel ini diarahkan menghadap ke timur atau mengahadap Groote weg dengan view utama Gunung Merbabu dan gunung kecil disampingnya seperti Andong dan Telomoyo yang kala itu tampak indah dari pekarangan hotel karena belum tertutup banyak bangnan seperti sekarang.
.
Hotel Montagne juga merupakan salah satu hotel berkelas yang ada di Magelang kala itu, dengan pelayanan istimewa bagi para tamu pada jamannya, menyajikan hidangan a'la Perancis dan kamar-kamar dengan pemandian air hangat.
.
Memasuki tahun 1942 ketika pecah perang Asia Timur Raya, Jepang mengambil alih pengelolaan Hotel Montagne dan kemudian mengubah nama hotel menjadi Nitaka. Sebagai mana yang diketahui, semua aset milik warga kulit putih akan disita dan para pemiliknya akan ditahan atau diinternir di kamp – kamp konsentrasi.
.
Semenjak 20 Oktober 1945, Hotel Montagne diduduki pasukan Sekutu di bawah Jenderal Bethel yang dibonceng NICA.
.
Pada peristiwa Pertempuran Magelang 28 Oktober-2 November 1945, Hotel Montagne menjadi salah satu markas Sekutu-NICA yang dihajar gabungan TKR bersama rakyat, selain markas di wilayah Tuguran dan Susteran Menowo.
Presiden Soekarno memerintahkan TKR dari sekitaran Magelang untuk ikut menyerbu.
.
Gempuran rakyat bersama TKR begitu hebat dan pantang menyerah menyebabkan pasukan sekutu tidak berdaya di Magelang. Untuk menyelamatkan tentara dan petinggi penting, sekutu akhirnya meminta berunding kepada Pemerintah Republik Indonesia.
.
Usaha Sekutu terwujud, pada 2 November 1945 diadakan perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak sekutu di Magelang. Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan gencatan senjata atau berdamai dalam waktu yang tidak di tentukan dan perdamaian ini dilakukan karena sama sama menguntungkan kedua pihak dan hal hal penting lain selanjutnya akan di urus oleh pemeritah Republik.
.
Hotel Montagne tidak luput dari aksi bumi hangus oleh para Tentara Pelajar Magelang pada masa Agresi Militer Belanda II, banyak bangunan – bangunan di sepanjang Groote weg Noord Pontjol yang dibumi hanguskan. Tujuannya tidak lain adalah mencegah bangunan – bangunan ini digunakan oleh pihak musuh. Kerusakan yang ditimbulkan oleh aksi bumi hangus para tentara pelajar ini sempat diliput oleh Koran de locomotief tertanggal 5 Januari 1949
.
Eks Hotel Montagne kemudian dibangun dan dijadikan Markas Polwil Kedu/Kotamadya Magelang, yang kini berubah menjadi Mako2 Polrestabes Magelang.
Foto-foto Kunjungan Ratu Elizabeth II ke Candi Borobudur, 20 Maret 1974
Foto-foto Kunjungan Ratu Elizabeth II ke Candi Borobudur, 20 Maret 1974
Oleh : Cahyono Edo Santosa
📷 : ANRI
Sejarah Magelang - Kali Elo
Ini 100 tahun yang lalu.
Anak-anak yang lebih kecil juga mainnya ke kali Elo.
Oleh : Eva Mentari Christop
Sejarah Magelang - Jalan menuju Balaikota di Magelang, Pulau Jawa, padatahun 1920an atau 1930an De weg naar het stadhuis te Magelang op Java in de jaren 20 of 30
Jalan menuju Balaikota di Magelang, Pulau Jawa, padatahun 1920an atau 1930an
De weg naar het stadhuis te Magelang op Java in de jaren 20 of 30
Oleh : Bintoro Hoepoedio
26 September 2023
25 September 2023
Sejarah Magelang - Ateletiek Syu 2603 Tidar Undozyo
ATELETIEK SYU 2603 TIDAR UNDOZYO
Oleh : Chandra Gusta Wisnuwardana
Berikut ini adalah tropi penghargaan yang diberikan sebagai bentuk apresiasi kepada pemenang perlombaan cabang olahraga atletik tingkat karesidenan (Syu) Kedu yang diselenggarakan di lapangan olahraga Tidar Undozyo, Magelang pada tahun 2603 penanggalan Jepang atau tahun 1943 tahun Masehi.
Sangat jarang sekali dijumpai artefak memorabilia era Jepang yang secara spesifik menyangkut Magelang. Tropi ini memiliki tinggi 25cm dan diameter 11,5cm. Tropi ini kemungkinan berlapis perak dan sudah berusia 80 tahun!
Raden Ayu Srimulat
Raden Ayu Srimulat,
sang primadona Jawa yg berjiwa modern.
(7 Mei 1905 – 1 Desember 1968)
Oleh : Bambang Sudjarwanto
Adalah pemain sandiwara panggung, pemain film & penyanyi pada era akhir 50-an hingga akhir 60-an. R.Ayu Srimulat adalah anak dari R.M Aryo Rumpoko Tjitrosoma, seorang wedono di Bekonang, Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah & R. Ayu Sedah. Lahir di Desa Botokan, Klaten pada 7 Mei 1905. Setelah ibu kandungnya wafat, pada usia 6 tahun Srimulat dibawa ke rumah kakak ayahnya, Raden Mas Sunarjo. Sunarjo waktu itu bekerja sebagai komisaris asisten residen di Klaten. Gadis kecil itu disekolahkan kakaknya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di kawasan Klaseman, Gatak, Sukoharjo. Baru setelah menginjak usia remaja, Srimulat kembali ke rumah ayahnya yg ditunjuk menjadi wedono di Bekonang, Sukoharjo. Ia melanjutkan sekolahnya di Koningin Emma School di Solo. Hanya beberapa bulan mengenyam pelajaran, Srimulat disuruh berhenti sekolah oleh ibu tirinya. Putri ningrat tak perlu sekolah tinggi-tinggi, begitu kata ibu tirinya. Srimulat sangat terpukul. Apalagi ia tak mendapat pembelaan dari ayahnya. Srimulat lantas dipingit. Seperti kisah putri2 bangsawan yg menjalani pingitan, masa remaja Srimulat hanya dihabiskan dlm kungkungan dinding kewedanaan saja. Ia belajar berbagai macam keterampilan dari para abdinya. Usianya baru 12 tahun tapi sudah pintar menembang, menari, & juga membatik. Kadang2 kalau lagi senggang, ayahnya kadang2 mendampingi Srimulat & saudara2nya di saat belajar menari & menembang. Hidup Srimulat penuh dgn suara tembang, bunyi gamelan & gerak tari. Dibandingkan saudara2nya, Srimulat anak yg paling cepat menangkap ajaran kesenian yg diberikan ayah & abdinya. Orang tuanya lalu menikahkan Srimulat dgn seorang kerabat dekat ayahnya bernama Raden Hardjowinoto. Usianya waktu itu baru 15 tahun. Rumah tangganya tak berlangsung lama. Srimulat diterpa kemalangan secara beruntun. Anaknya yg baru berusia 2,5 tahun meninggal dunia lalu disusul suaminya 3 bulan kemudian. Kesedihannya semakin bertambah saat ayahnya mencari selir2 baru. Muak akan kehidupan feodal priyayi & praktik perseliran di dalam kompleks rumahnya sendiri Srimulat bertekad minggat. Suatu malam ia memutuskan kabur dari rumah. Berbekal uang 3,5 sen ia pergi ke Surakarta lalu ke Yogyakarta. Ia melamar kerja ke dalang Ki Tjermosugondo yg sedang kondang. Setahun kemudian, Srimulat bergabung dgn Ketoprak Candra Ndedari pimpinan Ki Retsotruno yg kebetulan sedang pentas di Alun-alun Utara. R.A.Srimulat mengawali kiprahnya sebagai pemain rombongan ketoprak Mardi Utomo di Magelang & Rido Carito. Ketenarannya menembus baik lapisan atas maupun bawah masyarakat. Srimulat tak segan menari bersama penari2 lokal di sejumlah daerah membawakan tari2an daerah yg tak begitu dikenal. Ia juga bersedia diundang dlm acara tradisional penebangan pohon2 jati tua di sebuah desa di Blora, Jawa Tengah. Srimulat pindah ke panggung Wayang Orang Ngesthi Rahayu yg dipimpin Nyi Murtiasih dari Jawa Timur. Kebetulan suami Murtiasih punya grup orkes yg sering tampil di pesta perkawinan. Srimulat pun diminta bernyanyi dgn iringan musik irama keroncong & Hawaiian. Sewaktu digelar pasar malam di Magelang, ia berjuampa dengan Mannoek, bos penyelenggara pasar malam. Ia pun berkelana dari kota ke kota mengisi panggung hiburan pasar malam. Dalam waktu singkat Srimulat, anak priyayi & gadis pingitan itu, menjelma menjadi perempuan yg mandiri. Ia menentang arus saat itu, menolak menjadi Raden Ayu & memilih menjadi sri mahapanggung atau ratu panggung,.
Pendiriannya yg keras membuatnya membela mati2an seorang pesinden bernama Nyai Mas Sulandjari yg berhasil memenangkan lomba kontes batik di Pasar Malam Amal Yogyakarta pada 1938. Kemenangan Sulandjari itu diprotes keras para bangsawan Yogyakarta & Surakarta. Apalagi Sulandjari berhasil mengalahkan putri-putri ningrat. Mendengar Sulandjari dihina, Srimulat melawan para bangsawan itu. Melalui wawancara dengan mingguan Darmo Kondho & Penjebar Semangat, Srimulat menyatakan dukungannya kepada Sulandjari sembari mengkritik keras para kaum ningrat. "Siapa yg lebih berhak memberikan penilaian dlm kontes semacam itu?," tanyanya sinis. Di sisi lain, Srimulat pernah dikontrak untuk masuk dapur rekaman oleh perusahaan piringan hitam Burung Kenari, Columbia & His Master's. Suara merdunya yg melantunkan lagu Kopi Susu, Padi Bunting, Janger Bali, dsb. Saat itu hanya kaum berpunya saja yg bisa memiliki gramofon untuk memutar piringan hitam. Budayawan Arswendo Atmowiloto menggambarkan Srimulat sebagai seorang penampil yg meletakkan dasar2 seorang artis modern. "Sikapnya terbuka pada segala jenis tarian. Ia turun ke pelosok, ke pusat keramaian membawakan secara live lagu yg sedang ngetop." Di pentas wayang orang ia tampil di kelompok Srikuncoro. Selain itu, ia juga pernah membintangi film Sapu Tangan (1949), Bintang Surabaja (1951), Putri Sala (1953), Sebatang Kara (1954) dan Radja Karet dari Singapura (1956). Teguh Srimulat. yg merupakan suami terakhir sekaligus suami yg bepengaruh dalam hidup Srimulat. Sukses di panggung, Srimulat kurang berhasil dalam berumahtangga. Tiga kali pernikahannya selalu kandas. Pada tahun 1947 di Purwodadi, Grobogan,Srimulat satu panggung dgn Orkes Keroncong Bunga Mawar dari Solo. Gitaris orkes tersebut bernama Kho Tjien Tiong (dikenal dengan Teguh Slamet Rahardjo). Kedua saling terpikat. Sehabis pentas di Purwodadi mereka resmi berpacaran. Usia mereka terpaut jauh. Teguh jejaka berusia 21 tahun sementara Srimulat berusia 39 tahun. Pada 8 Agustus 1950, R.A.Srimulat menikah dgn Teguh Slamet Rahardjo (Kho Djien Tiong) yg berusia 24 tahun. Pada saat yg sama dibentuk rombongan kesenian keliling bernama Gema Malam Srimulat. Gema Malam Srimulat adalah sebuah kelompok kesenian yg menyuguhkan gabungan antara lawak & nyanyi terutama lagu2 langgam Jawa & keroncong. Penyanyinya waktu itu antara lain Kusdiarti, Suhartati, Ribut Rawit, Maleha, Rumiyati & Srimulat sendiri sedangkan Teguh menjadi pemain gitar & biola. Sebelum memasuki tahun 1957, Gema Malam Srimulat berganti nama menjadi Srimulat Review. Memasuki 1957 namanya berubah lagi menjadi Aneka Ria Srimulat. Salah satu momen bersejarah bagi Srimulat & Teguh adalah keputusan mereka pindah ke Surabaya dari Surakarta sekitar Peristiwa G 30 S. Suatu malam pada 1965, tak lama sebelum geger 30 September, Srimulat berbisik di telinga Teguh Slamet Rahardjo, suaminya. “Sebentar lagi bakal ada ontran2. Pak Jenderal meminta kita untuk berhati-hati. Sebaiknya kita tidak pulang dulu ke Solo untuk waktu cukup lama,” kata Srimulat, dikutip Sony Set & Agung Pewe dalam bukunya, berjudul Srimulat, Aneh yg Lucu.
Saat itu Srimulat sudah dua tahun hijrah dari Solo ke Surabaya. Tak hanya para pelawak & awak Srimulat yg boyongan ke Surabaya, tapi juga berikut semua anggota keluarganya. Boyongan Srimulat besar-besaran ini juga merupakan ide dari Srimulat. Melihat situasi politik di Solo makin panas, Srimulat merasa kelompok mereka harus pindah. “Situasi negara sedang gonjang-ganjing. Sebaiknya seluruh anak panggung & artis kita pindah ke Surabaya,” Srimulat menyampaikan usulnya ke Teguh. Teguh tentu saja kaget bukan kepalang mendengar ide istrinya. Memindahkan belasan orang saja sudah sulit, apalagi memindahkan puluhan anggota Srimulat. Tapi Srimulat terus meyakinkan Teguh. “Jika mereka tak pindah ke Surabaya, aku takut mereka akan jadi korban.” Ketika itu, gesekan antara kelompok2 ‘kiri’ dgn lawan2 politiknya makin sering terjadi. Masing2 kelompok berusaha menarik sebanyak mungkin pendukungnya ke kubunya. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yg punya hubungan dekat dgn Partai Komunis Indonesia (PKI) terus mendesak mereka agar bergabung dengan Lekra. Srimulat & Teguh yg memang tak tertarik dengan politik tidak mau terseret dlm perkubuan itu. Untuk melindungi grup Srimulat, mereka mencari perlindungan ke militer. Kebetulan Srimulat memang dekat dgn sejumlah perwira militer. Kedekatan yg kadang bikin Teguh sendiri tak habis pikir. Kedekatan Srimulat dgn para perwira itu pula yg membuat pertunjukan grup Srimulat pada masa2 tegang itu sering dijaga tentara. Hijrah Srimulat ke Surabaya itu lah yg menyelamatkan kelompok itu. Srimulat meninggal dunia pada tahun 1968. Sepeninggal dirinya, Aneka Ria Srimulat dilanjutkan oleh Teguh dgn berfokus sebagai grup lawak.