PROTES MASAL TANAM TARUM DI MAGELANG 1842
Oleh : Chandra Gusta Wisnuwardhana
Tanaman Tarum / Indigo / nila merupakan tanaman yang lazim dimanfaatkan sebagai bahan baku pewarna alami pada kain oleh masyarakat Jawa. Warna biru yang dihasilkan oleh tanaman ini setelah diproses acap digunakan oleh masyarakat Jawa untuk mewarnai kain batik dan lurik mereka sejak lama. Tanama tarum umum ditemui di wilayah Kedu Selatan (Bagelen) dan juga wilayah Vorstenlanden Djocjakarta. Pun demikian, untuk wilayah Kedu Utara, tanaman ini kurang begitu terkenal dan dibudidayakan karena tanaman Kopi, Tembakau, Teh dan tanaman pangan lainnya lebih mendominasi di wilayah ini.
Pasca berakhirnya perang Jawa dan pemilihan wilayah Kedu sebagai kawasan pionir program cultuurstelsel, pada 1840, tanaman tarum mulai ditanam di Distrik Menoreh. Alasannya jelas, Distrik Menoreh memiliki tingkat kesuburan tanah yang baik selain jumlah petak sawah yang luas dan penduduk yang cukup banyak. Jenis tarum yang diperkenalkan di Karesidenan Kedu berbeda dengan tarum yang di tanam di Yogyakarta. Jenis Indigofera Suffruticosa dipilih untuk dibudidayakan di sini dibanding Indigofera Oligosperma yang banyak ditanam di wilayah kasultanan.
Dalam proyek wajib tanam tarum ini, sekira 400-450 bahu tanah digunakan sebagai proyek percontohan di Kabupaten Magelang. Kerja wajib tanam tarum ini ternyata menyita banyak waktu para petani karena setelah 5 bulan daun tarum baru dapat dipanen, pengolahannya sendiri membutuhkan waktu 3 bulan dan persiapan lahan tanam baru dilakukan sepanjang tahun. Beratnya beban kerja yang dipikul membuat cemas para petani yang tidak lagi memiliki waktu dan lahan untuk ditanami padi. Selain itu, tanah yang digunakan untuk tanaman tarum merupakan sawah dengan status yasa dimana penggunaan sawah ini harus dengan persetujuan para petani serta pemberian ganti rugi yang layak.
Setalah kerja wajib tanam tarum berjalan selama kurang lebih dua tahun, sekitar 800 orang petani kemudian mengadakan protes ke kediaman residen Kedu di Magelang. Dengan berbodong-bondong, para petani dari Distrik Menoreh ini membawa alat-alat pertanian mereka seperti parang dan sabit. Tuntuan mereka adalah bertemu langsung dengan Tuan Residen Hartman dan meminta penghapusan wajib tanam tarum di wilayah mereka. Sayang, Tuan Residen saat itu sedang tidak ada di kediamannya karena ada tugas di Semarang. Kanjeng Tuan Bupati Raden Adipati Danuningrat II yang ada di Magelang saat itu sudah mencoba untuk menampung keluh kesah mereka dan akan menyampaikannya kepada residen Hartman. Sang Bupati juga meminta para petani ini untuk kembali pulang ke rumah mereka masing-masing. Akan tetapi, para petani tetap bersikukuh untuk berbicara langsung dengan Tuan Residen. Alhasil, mereka menunggu kedatangan Residen Hartman di aloon-aloon Magelang dari Semarang.
Sekembalinya Residen Hartman dari Semarang, ia pun berbincang langsung dengan para petani. Dalam pertemuan ini, Residen Hartaman berjanji akan mengurangi tanaman tarum di Distrik Menoreh. Setelah mendengar keputusan tersebut, para petanipun akhirnya mau membubarkan diri dan pulang.
Setalah protes besar 1842 ini, pemerintah pun mulai mengurangi areal tanaman tarum di Distrik Menoreh dan mulai mengalihkan penanaman tarum ke distrik lain secara bijaksana. Perluasan tanaman tarum ke distrik Probolinggo, Bligo dan Remame baru mulai dilaksanakan pasa 1848. Selain cara tersebut, guna meminimalisir konflik dengan para petani, pemerintah juga mulai memperbanyak pabarik pengolahan tarum. Selain itu, rotasi tanam tarum juga mulai digalakkan agar petani tetap bisa menanam padi setalah tanaman tarum.
Pun demikian, kerja wajib tanam tarum resmi dihapuskan pada 1864 karena semakin menurunnya jumlah produksi diwilayah-wilayah sentra tanaman tarum serta mulai ditemukannya bahan pewarna sintetis kimia di Eropa. Penghapusan kerja wajib tanam tarum di seluruh Karesidenan Kedu ini kemudian disambut dengan gempita oleh seluruh masyarakat disana.
Sumber : Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib di Karesidenan Kadu 1800-1890, A.M Djuliati Suroyo
- Chandra Gusta Wisnuwardana -
No comments:
Post a Comment