Ada cerita yang mengatakan bahwa awal mula masjid itu berupa sebuah langgar
yang sudah ada di tahun 1750an. Saya tidak tahu apakah legenda itu benar atau
tidak karena hingga saat ini saya belum menemukan data pendukungnya. Data
tertulis yang bisa dikonfirmasi mengatakan bahwa masjid itu dibangun oleh
Danoekromo (Bupati Kaboepaten Magelang yang pertama) mulai tahun 1811. Ketika
pemerintah Inggris menetapkan Kedoe sebagai sebuah karesidenan dengan
"Magelang" sebagai ibukotanya, maka duet John Crowfurd (Residen Kedoe
Pertama, merangkap sebagai residen Jogya) dan Danoekromo (yang bergelar
Danoeningrat) sebagai regen (bupati) Kaboepaten Magelang yang pertama mulai
membangun simbol-simbol kekuasaan di wilayah Kedoe dan Kota Magelang.
Karesidenan itu disebut karesidenan Kedoe, karena wilayah Kedoe sudah lebih
dikenal daripada nama Magelang. Saat itu, Magelang bukanlah kota, tetapi desa
kecil yang terletak dilokasi yang sekarang menjadi Aloon-Aloon Magelang itu.
Wilayah rumah residen (karesidenan) juga berada di desa Magelang.
Simbol kekuasaan yang dibangun oleh Residen John Crowfurd adalah bangunan
rumah residen (karesidenan) dan barak militer di depannya. Semua bangunan
berbahan bambu dan kayu. Sementara Danoekromo, membangun Aloon-Aloon, Rumah
Bupati dan Masjid (lebih tepat disebut mushola atau langgar). Serupa dengan
bangunan rumah residen, bangunan yang dibuat oleh Danoekromo juga berbahan
bambu dan kayu. Tugas lain yang sangat penting dan berat Danoekromo adalah
memperpanjang saluran air dari bendungan (tumpukan batu) kali Elo di Goenoeng
Saren (belakang secang) yang semula salurannya hanya sampai di wilayah utara
Magelang. Saluran itu harus diperpanjang sampai ke sebalah barat gunung Tidar
(Jagoan). Saluran ini masih utuh sampai sekarang dan disebut oleh Belanda sebagai
Kotta Leiding. Orang Mageleng menyebut dengan Kali Plengkung, kali yang
mengalir di atas plengkung.
Semenjak Kedoe ditetapkan sebagai Karesidenan dan Magelang ditetapkan
sebagai ibukota Kaboepaten Magelang, maka penduduk di wilayah itu mempunyai kewajiban
baru, yaitu "Gugur Gunung". Wilayah dimana saat ini kota Magelang
berada, masih berupa bukit yang memanjang (geger buaya) dari daerah Pingit
hingga ke wilayah Borobudur, yang diapit oleh dua sungai, yaitu Elo di sisi
timur dan Progo di sisi barat. Jalan Pecinan (sekarang) saat itu hanya berupa
jalan setapak yang sempit, yang hanya bisa dilewati kuda beban. Kereta kuda
tidak bisa melewati kawasan pecinan itu. Kanan kiri sepanjang jalan dari Pingit
hingga ke Borobudur masih berupa perengan yang tidak rata. Meski berupa bukit
yang terjal, jalan setapak (yang sekarang menjadi jalan antar kota Semarang
Jogya dan Magelang Purworejo) merupakan jalan lintas perdanganan yang ramai.
Para pedagang dari wilayah Jogya yang akan menuju ke Semarang, selalu milintasi
jalan setapak di Magelang itu. Demikian juga para pedagang dari wilayah Bagelen
(Purworejo dan sekitarnya) yang akan berdagang ke Semarang (daerah pelabuhan)
harus melewati jalan setapak di kawasan Pecinan itu. Jalan dari Joga ke
Semarang dan Dari Begelen ke Semarang, bertemu di tempat yang sekarang menjadi
shooping center itu. Dari arah Bagelen, mereka melewati jalan setapak di kaki
gunung Tidar dan kampung Magersari. Pedagang baik dari Jogya maupun dari
Bagelen, biasanya mengisitrahatkan kuda-kudanya, dikawasan yang paling luas,
yaitu di kawasan yang sekarang menjadi Aloon-Aloon. Luas kawasan Aloon-Aloon
yang rata dan tidak miring, dari sisi timur ke Barat, tidak sampai 60m.
Sedangkan untuk kebutuhan makan, mereka membeli dari para pedagang cina yang berjualan
makanan di pinggir jalan setapak di kawasan Pecinan itu.
Gugur gunung, yang sekarang sering diartikan sebagai gotong royong, saat
itu masih dalam arti gugur gunung yang sebenarnya. Setiap hari, penduduk dari
beberapa desa harus bergotong royong meratakan "Bukit atau geger buaya
Magelang" itu agar bisa dilewati gerobak sapi dan kereta kuda, dua moda
angkutan utama perdagangan saat itu. Magelang yang masih berupa perbukitan
memanjang itu dipapras dan tanah paprasannya dipakai untuk menguruk kawasan disepanjang
jalan jalan setapak itu. Sebagian tanah digerser ke timur jalan dan sebagian di
barat jalan. Kawasan karesidenan merupakan kawasan yang paling memakan urugan
tanah. Tebal timbunan itu, dari saluran kali Bening di depan karesidenan sampai
halaman karesidenan itu.
Kondisi geografis Magelang yang seperti itu membuat jalan di sepanjang
kawasan Pecinan tidak bisa dibuat lebar. Kanan dan kiri kawasan itu miring atau
perengan dan disain kawasan pemerintahan di Aloon-Aloon menjadi berantakan.
Kantor residen saling berjauhan dengan kantor bupati. Penjara tidak bisa
dibangun di kawasan Aloon-Aloon. Kawasan Aloon-Aloon terlalu sempit untuk
membangun kawasan pemerintah yang ideal (seperti di kota-kota lain).
Sementara itu, penduduk di wilayah utara distrik Magelang, secara
bergiliran bekerja keras memperpanjang saluran air dari sungai Elo itu, menuju
ke arah selatan, hingga ke sisi selatan Aloon-Aloon yang baru dibuat.
Foto ini kemungkinan dibuat sekitar tahun 1865. Bangunan Masjid ini kemungkinan sudah bangunan yang kedua. Bangunan yang pertama, kemungkinan dari bambu atau atau kayu, sama dengan bangunan rumah bupati yang berbahan bambu dan kayu. Rumah di belakang masjid itu hanya terlihat bagian atapnya. Hal itu menunjukkan bahwa kawasan masjid itu berupa perengan yang belum diurug sempurna.
Lokasi masjid kauman itu dulunya perengan yang diurug. Coba kalau jalan dari arah masjid ke arah Kejuron..tampak sekali tingginya urugan.Lokasi masjid kauman itu dulunya perengan yang diurug.
Foto sketsa Aloon-Aloon kemungkinan dibuat tahun 1866-1867 tetapi direproduksi (dipotret) dengan kamera tahun 1883. Di kiri kanan masjid, tampak ada tambahan sayap dan di depan masjid tampak pagar dari tembok atau batu. Sementara di sisi utara Aloon-Aloon, tampak gambar tiga paseban. Dua berada di depan rumah bupati (kabupaten) di Aloon-Aloon dan satu di depan pintu masuk kabupaten yang masih terbuat dari kayu. Paseban yang berada di depan kabupaten itu menunjukkan bahwa rumah bupati (kabupaten) semula berada di sisi utara Aloon-Aloon. Lokasi itu sekarang menjadi gereja GPIB dan rumah bupati pindah ke sisi barat.
Sumber :
Penulis dan Foto : Denmaz Didotte
Catatan :
1.
Nugroho Adi,
mengatakan : “Barangkali pemakaian istilah 'gugur gunung' hanya dikenal
masyarakat di wilayah Magelang saja.”
2.
Djoko Sulistiyo,
menyatakan : ”Jamanku cilik bahasa gugur gunung lebih sering terucap sama ortu
ketimbang kerja bakti.”
3.
Anom Sulistiyo,
mengatakan : “Yang langgar tahun 1750 mungkin ada benarnya, hanya saja tidak
terdokumentasikan dalam sebuah foto”
4.
Novo Indarto,
menambah keterangan : “Yang geger boyo dari buku apa ya Denmaz Didotte. Untuk langgar 1750 memang
gak ada data tertulis, tapi ada peninggalan insitu yang menjadi dasar. Bagaimanapun
kebiasaan pencatatan memang menjadi salah satu kelebihan bangsa Belanda. Untuk
ukuran saat itu sebenarnya sudah bisa dibilang masjid. Masih bisa dilihat
bangunan utama bertembok itu adalah bangunan awal. Sangat besar utk ukuran 1800
awal. Jadi Danoekromo menurut saya memang membangun masjid. Yang gak jelas
adalah bentuk dan ukuran sebelumnya saat masih berupa langgar. Di kemudian hari
saat jumlah penduduk bertambah, masjid Danoekromo ditambah serambi dalam lalu
serambi luar.”
5.
Denmaz Didotte,
menambahkan : “Untuk membuktikan bahwa Magelang itu seperti geger buaya,
coba ukur beda ketinggan jalan Semarang - Jogya dengan kali Elo di sisi timur
dan kali Progo di sisi barat. Di banyak tempat selisih ketinggian itu lebih
tinggi dibanding ketinggian gunung Tidar. Jarak antara kali Elo dan kali
Progo tidak cukup jauh untuk ukuran sebuah kota, bahkan di utara Magelang malah
saling berdekatan. Kondisi itu yang membuat kontur kampung di Magelang semua
miring ke tiimur atau ke barat, membentuk seperti geger buaya.”
No comments:
Post a Comment