RIWAYAT SINGKAT KYAI TUK SONGO
Ada seorang pemuda bernama Kyai Jumadi/Abdul Salam, berasal dari Yogyakarta, tepatnya dari Kampung Nggondo Manan. Dia adalah seorang abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Menurut cerita riwayat hidupnya, dia adalah seorang yang soleh. Dimasa hidupnya, mereka senang memberi pendidikan tentang ajaran agama Islam di kampungnya. Kyai Abdul Salam, selama menjadi abdi dalem Kraton, memiliki teman atau sahabat seorang putri Kraton bernama Nyai Gemuling, yang berasal dari Kedu. Mereka saling berhubungan baik sebagai seorang teman atau sahabat. Tak lama kemudian, Kyai Abdul Salam memiliki benih rasa tertarik dengan Nyai Gemuling. Tetapi Nyai Gemuling melarikan diri keluar dari abdi dalem Kraton, pulang ke daerah Kedu, tepatnya di Kampung sebelah barat Kali Progo.
Kerabat abdi dalem Kraton mengetahui bahwa Nyai Gemuling keluar Kraton dan pulang ke daerah Kedu, kemudian menyuruh Kyai Abdul Salam supaya mencari Nyai Gemuling di daerah Kedu. Setelah sampai daerah Kedu, Kyai Abdul Salam bertemu dengan Nyai Gemuling di sebuah kampung sebelah barat Kali Progo. Kyai Abdul Salam kemudian menyampaikan maksud dan tujuannya, antara lain :
1. Kyai Abdul Salam melamar Nyai Gemuling
2. Nyai Gemuling diajak kembali ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Akan tetapi semua kehendak Kyai Abdul Salam ditolak oleh Nyai Gemuling. Maka terjadi perselisihan dengan keluarga Nyai Gemuling. Kyai abdul Salam melarikan diri menuju sebelah timur Kali Progo dan akhirnya meninggal dunia. Kyai Abdul Salam dimakamkan di sebelah timur Kali Progo, tepatnya di lokasi Makam Kyai Tuk Songo saat ini.
Di lokasi makam Kyai Abdul Salam ini dahulu terdapat 9 (Songo=Sembilan) mata air. Mata air yang saat ini masih ada yaitu sumur yang berada di lokasi kompleks pemakaman. Oleh Sebab itu, Kyai Abdul Salam yang dikenal dengan nama “Kyai Tuk Songo”.
Tak lama kemudian Nyai Gemuling juga meninggal dunia dan dimakamkan di sebelah barat Kali Progo. Tempat dimana Nyai Gemuling dimakamkan, kemudian dijadikan sebagai nama Dusun, yaitu “Dusun Gemulung”.
RIWAYAT PERTI DESA NYADRAN KYAI TUK SONGO
Pada tahun 1942 Kelurahan Cacaban dipimpin oleh Lurah bernama “Kodri”. Pada waktu itu, terjadilah suatu bencana yang sangat mengkawatirkan, yaitu adanya wabah penyakit yang sangat ganas. Bisa dikatakan “sore sakit, paginya meninggal”. Lurah Kodri sangat cemas dan kawatir dengan penderitaan warganya. Lurah Kodri segera berusaha dan mengambil langkah-langkah bagaimana cara mengatasi keadaan seperti itu.
Tak lama kemudian, Lurahh Kodri mendatangi sesepuh. Di tempat sesepuh itulah Lurah Kodri mendapatkan pengarahan dan petunjuk, antara lain :
1. Setiap bulan “Besar” menurut Kalender Jawa, dimohon untuk mengadakan Perti Desa [Sadranan], yang tujuannya untuk mendoakan para leluhur yang sudah sumare [meninggal dunia], terutama di makam Kyai Tuk Songo.
2. Sebelum dilaksanakan “Perti Desa/Sadranan”, terlebih dahulu untuk memberikan makam.
3. Selalu dilaksanakan untuk “memule” para leluhur.
Dalam kata “memule” mempunyai 3 (tiga) pengertian yaitu :
1. Mengingat-ingat (bahasa Jawa : ngeling-eling).
2. Memperingati (bahasa Jawa : mengeti)
3. Mendo’akan (bahasa Jawa : ndongaake)
Petunjuk dari sesepuh tersebut kemudian dilaksanakan oleh Lurah Kodri, yang kemudian dilanjutkan oleh Lurah Safuan, hingga sampai sekarang.
Sadranan Kyai Tuk Songo pada hari Jum'at, 15 September 2017, jam : 06.00 WIB
No comments:
Post a Comment