27 November 2025

PANGERAN PURBAYA Berawal dari munculnya " Wahyu Gagak Emprit " akhirnya Ki Ageng Pemanahan mengambil jalan tengah yaitu menjodohkan Danang Sutawijaya putranya dengan Niken Purwasari / Rara Lembayung putri dari Ki Ageng Giring III. Akhirnya pernikahan antara Niken Purwasari & Danang Sutawijaya pun berlangsung meski sebenarnya Danang Sutawijaya tidak tertarik dengan Niken Purwasari.Pernikahan berlangsung di rumah Ki Ageng Giring III. Beberapa minggu setelah pernikahan, Danang Sutawijaya meninggalkan istrinya kembali ke Pajang. Sebelum kembali beliau meninggalkan sebuah keris tanpa warangka. Sembilan bulan tlah berlalu, Niken Purwasari melahirkan jabang bayi laki laki yang diberi nama Jaka Umbaran. Jaka Umbaran tumbuh besar dalam asuhan kakeknya Ki Ageng Giring III dan Ibunya Rara Lembayung. Hingga pada suatu hari Jaka Umbaran menanyakan siapa Bapaknya? Ibunya dan kakeknya sebenarnya tidak mau menjelaskan tapi karena desakan putranya akhirnya dengan berat hati Ibunya menjawab bahwa Bapaknya adalah seorang pembesar di Kotagedhe. Singkat cerita berangkatlah Jaka Umbaran ke Kotagedhe untuk menemui Bapaknya. Jaka Umbaran berangkat dengan membawa bukti sebilah keris tanpa warangka peninggalan Bapaknya. Sesampai di Kotagedhe akhirnya Jaka Umbaran bisa bertemu dengan Bapaknya yaitu Danang Sutawijaya yg sekarang menjadi Raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati. Tetapi Bapaknya tidak begitu saja menerima Jaka Umbaran sebagai putranya. Panembahan Senopati meminta Jaka Umbaran untuk pulang dan mengajukan syarat bahwa keris tersebut harus diberi warangka yang bernama Kayu Purwasari. Sesampai di Sodo Gunungkidul, Jaka Umbaran menceritakan syarat yg diminta Bapaknya kepada Ibu dan kakeknya. Kejadiannya cepat sekali, Rara Lembayung langsung mengambil keris yang dibawa putranya dan ditusukkan ke perut Rara Lembayung. Rara Lembayung mengorbankan diri demi putranya. Karena yang dimaksud warangka oleh Panembahan Senopati adalah dirinya. Sebelum wafat Rara Lembayung berpesan kepada putranya untuk memakamkan beliau ditempat yang mulia. Setelah wafat Rara Lembayung dimakamkan di Sodo Paliyan. Meski sangat bersedih karena kehilangan Ibunya , Beberapa hari kemudian Jaka Umbaran kembali ke Kotagedhe dan bertemu dengan Bapaknya serta menceritakan tentang Ibunya yang meninggal secara tragis. Panembahan Senopati terdiam sesaat tidak menyangka jika Rara Lembayung mengorbankan dirinya demi putra mereka. Panembahan Senopati kemudian memeluk putranya dan meminta maaf atas kesalahan Beliau. Akhirnya Panembahan Senopati menerima Jaka Umbaran sebagai putranya dan memberi nama Raden Purbaya atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Purbaya. Dan kepada Niken Purwasari istrinya, beliau memberi gelar Anumerta " Kangdjeng Ratu Giring " Pangeran Purbaya selama di Kraton mendapat latihan Kanuragan dan ilmu agama serta Ilmu kehidupan lainnya. Beberapa kali Pangeran Purbaya ikut Bapaknya perang melawan musuh salah satu perang melawan Panembahan Raden Madiun yg kemudian dikenal dengan " Bedhah Madiun " Meskipun Pangeran Purbaya terlahir sebagai putra sulung Panembahan Senopati tetapi tidak terpilih sebagai pengganti Bapaknya sebagai Raja Mataram selanjutnya. Namun demikian kelak keturunannya generasi ke lima menjadi Raja Mataram dengan gelar Susuhunan Pakubuwana I. Pada suatu hari Pangeran Purbaya teringat akan pesan Ibunya untuk dikuburkan ditempat yang mulia. Kemudian Pangeran Purbaya kembali ke Sodo Paliyan Gunungkidul dan menggali makam Ibunya dan memasukkan tulang belulang Ibunya dan memasukkan ke dalam peti dan berusaha mencari tempat yang dimaksud Ibunya. Setelah melewati beberapa desa dan hutan pada suatu malam Beliau melihat cahaya terang yang berjalan dari langit, diikutinya cahaya terang tersebut hingga akhirnya jatuh dan hilang disebuah tempat. Pangeran Purbaya yakin bahwa tempat jatuhnya cahaya tersebut adalah tempat yang dimaksud Ibunya dulu. Akhirnya peti berisi tulang belulang Ibunya kemudian dimakamkan ditempat tersebut dan tempat tersebut beliau beri nama " Wot Galeh " Al Fatihah kagem Kangdjeng Ratu Giring dan Pangeran Purbaya Ditulis oleh K.R.T Koes Sajid Jayaningrat.

 PANGERAN PURBAYA



Berawal dari munculnya " Wahyu Gagak Emprit " akhirnya Ki Ageng Pemanahan mengambil jalan tengah yaitu menjodohkan Danang Sutawijaya putranya dengan Niken Purwasari / Rara Lembayung putri dari Ki Ageng Giring III. Akhirnya pernikahan antara Niken Purwasari & Danang Sutawijaya pun berlangsung meski sebenarnya Danang Sutawijaya tidak tertarik dengan Niken Purwasari.Pernikahan berlangsung di rumah Ki Ageng Giring III.


Beberapa minggu setelah pernikahan, Danang Sutawijaya meninggalkan istrinya kembali ke Pajang. Sebelum kembali beliau meninggalkan sebuah keris tanpa warangka.


Sembilan bulan tlah berlalu, Niken Purwasari melahirkan jabang bayi laki laki yang diberi nama Jaka Umbaran. Jaka Umbaran tumbuh besar dalam asuhan kakeknya Ki Ageng Giring III dan Ibunya Rara Lembayung.

Hingga pada suatu hari Jaka Umbaran menanyakan siapa Bapaknya? Ibunya dan kakeknya sebenarnya tidak mau menjelaskan tapi karena desakan putranya akhirnya dengan berat hati Ibunya menjawab bahwa Bapaknya adalah seorang pembesar di Kotagedhe.

Singkat cerita berangkatlah Jaka Umbaran ke Kotagedhe untuk menemui Bapaknya. Jaka Umbaran berangkat dengan membawa bukti sebilah keris tanpa warangka peninggalan Bapaknya. Sesampai di Kotagedhe akhirnya Jaka Umbaran bisa bertemu dengan Bapaknya yaitu Danang Sutawijaya yg sekarang menjadi Raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati. Tetapi Bapaknya tidak begitu saja menerima Jaka Umbaran sebagai putranya. Panembahan Senopati meminta Jaka Umbaran untuk pulang dan mengajukan syarat bahwa keris tersebut harus diberi warangka yang bernama Kayu Purwasari.


Sesampai di Sodo Gunungkidul, Jaka Umbaran menceritakan syarat yg diminta Bapaknya kepada Ibu dan kakeknya.

Kejadiannya cepat sekali, Rara Lembayung langsung mengambil keris yang dibawa putranya dan ditusukkan ke perut Rara Lembayung. Rara Lembayung mengorbankan diri demi putranya. Karena yang dimaksud warangka oleh Panembahan Senopati adalah dirinya. Sebelum wafat Rara Lembayung berpesan kepada putranya untuk memakamkan beliau ditempat yang mulia.

Setelah wafat Rara Lembayung dimakamkan di Sodo Paliyan.

Meski sangat bersedih karena kehilangan Ibunya , Beberapa hari kemudian Jaka  Umbaran kembali ke Kotagedhe dan bertemu dengan Bapaknya serta menceritakan tentang  Ibunya yang meninggal secara tragis. Panembahan Senopati terdiam sesaat tidak menyangka jika Rara Lembayung mengorbankan dirinya demi putra mereka. Panembahan Senopati kemudian memeluk putranya dan meminta maaf atas kesalahan Beliau. Akhirnya Panembahan Senopati menerima Jaka Umbaran sebagai putranya dan memberi nama Raden Purbaya atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Purbaya. Dan kepada Niken Purwasari istrinya, beliau memberi gelar Anumerta " Kangdjeng Ratu Giring "


Pangeran Purbaya selama di Kraton mendapat latihan Kanuragan dan ilmu agama serta Ilmu kehidupan lainnya. Beberapa kali Pangeran Purbaya ikut Bapaknya perang melawan musuh salah satu perang melawan Panembahan Raden Madiun yg kemudian dikenal dengan " Bedhah Madiun "


Meskipun Pangeran Purbaya terlahir sebagai putra sulung Panembahan Senopati tetapi tidak terpilih sebagai pengganti Bapaknya sebagai Raja Mataram selanjutnya. Namun demikian kelak keturunannya generasi ke lima menjadi Raja Mataram dengan gelar Susuhunan Pakubuwana I.


Pada suatu hari Pangeran Purbaya teringat akan pesan Ibunya untuk dikuburkan ditempat yang mulia. Kemudian Pangeran Purbaya kembali ke Sodo Paliyan Gunungkidul dan menggali makam Ibunya dan memasukkan tulang belulang Ibunya dan memasukkan ke dalam peti dan berusaha mencari tempat yang dimaksud Ibunya.

Setelah melewati beberapa desa dan hutan pada suatu malam Beliau melihat cahaya terang yang berjalan dari langit, diikutinya cahaya terang tersebut hingga akhirnya jatuh dan hilang disebuah tempat. Pangeran Purbaya yakin bahwa tempat jatuhnya cahaya tersebut adalah tempat yang dimaksud Ibunya dulu. Akhirnya peti berisi tulang belulang Ibunya kemudian dimakamkan ditempat tersebut dan tempat tersebut beliau beri nama " Wot Galeh " 


Al Fatihah kagem Kangdjeng Ratu Giring dan Pangeran Purbaya


Ditulis oleh K.R.T Koes Sajid Jayaningrat.

Dokentasi momen langka interaksi langsung antara otoritas militer Britania, Brigadier A.W.S. Mallaby (sebelum kematiannya), dan seorang komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Surabaya pada Oktober 1945, karena foto tersebut akan menjadi bukti visual langka dari momen gencatan senjata yang sangat krusial sebelum Pertempuran 10 November 1945. sumber sejarah yang luar biasa untuk memahami kompleksitas Oktober 1945 di Surabaya. Foto ini memvisualisasikan saat-saat terakhir gencatan senjata melalui diplomasi non-verbal yang dipancarkan oleh dua tokoh utama. Analisis menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk menunjukkan perdamaian (sentuhan tangan, posisi duduk yang sejajar), kontras latar belakang antara otoritas asing (Mallaby) dan kekuatan revolusioner yang didukung rakyat (TKR) sudah memperlihatkan konflik yang tak terhindarkan. #foto #november10 #sejarahkemerdekaan #haripahlawan #kotasurabaya

 Dokentasi momen langka interaksi langsung antara otoritas militer Britania, Brigadier A.W.S. Mallaby (sebelum kematiannya), dan seorang komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Surabaya pada Oktober 1945, karena foto tersebut akan menjadi bukti visual langka dari momen gencatan senjata yang sangat krusial sebelum Pertempuran 10 November 1945.

sumber sejarah yang luar biasa untuk memahami kompleksitas Oktober 1945 di Surabaya. 


Foto ini memvisualisasikan saat-saat terakhir gencatan senjata melalui diplomasi non-verbal yang dipancarkan oleh dua tokoh utama. Analisis menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk menunjukkan perdamaian (sentuhan tangan, posisi duduk yang sejajar), kontras latar belakang antara otoritas asing (Mallaby) dan kekuatan revolusioner yang didukung rakyat (TKR) sudah memperlihatkan konflik yang tak terhindarkan.



Sumber : Wukir Mahendra

#foto #november10 #sejarahkemSumber : Eerdekaan #haripahlawan #kotasurabaya

Iklan Anggur Branak di surat kabar tahun 1942.. '' Orang Bunting dilarang minum''😁. Source : Pandji Poestaka 9/2602

 Iklan Anggur Branak di surat kabar tahun 1942..

'' Orang Bunting dilarang minum''




Source : Pandji Poestaka 9/2602

26 November 2025

Salah satu potret terakhir dari Soekarno didepan publik, bersama kakak kandungnya Ibu Wardoyo, saat menghadiri acara pernikahan putri Soekarno, yakni Rachmawati Soekarnoputri dengan dr. Tomy, tahun 1969.

 Salah satu potret terakhir dari Soekarno didepan publik, bersama kakak kandungnya Ibu Wardoyo, saat menghadiri acara pernikahan putri Soekarno, yakni Rachmawati Soekarnoputri dengan dr. Tomy, tahun 1969.



25 November 2025

Ketika Pak AR Berhasil “Memuhammadiyahkan” Warga NU Secara Massal Di Yogyakarta, 14 Februari 1916, lahirlah seorang lelaki yang kelak dikenal sebagai maestro dakwah yang halus tapi nendang: Abdul Rozak (A.R.) Fachruddin. Putra pasangan K.H. Fachruddin dan Maimunah binti K.H. Idris Pakualaman ini tumbuh di lingkungan santri yang tertib, rapi, dan tentu saja dekat dengan Muhammadiyah. Beliau tidak hanya aktif di Muhammadiyah, beliau menghabiskan hidupnya di sana. Dari ketua ranting sampai pucuk pimpinan, dari Pemuda Muhammadiyah hingga akhirnya menjadi Ketua PP Muhammadiyah terlama dalam sejarah (1968–1990). Kalau jabatan itu punya sabuk, mungkin sabuknya sudah lusuh saking lamanya dipakai. Namun, yang paling membuat nama Pak AR hidup dalam ingatan umat bukan hanya struktur jabatan panjang itu. Melainkan gaya dakwahnya yang khas: lembut, cerdas, jenaka, dan tidak pernah memaksa. Kalau orang lain ceramah pakai dalil untuk “menghantam”, Pak AR pakai logika dan humor untuk “merangkul”. Beliau punya perumpamaan terkenal: “Berdakwah itu seperti menulis. Kalau medianya kertas, ya pakai pulpen. Kalau tembok, ya pakai cat. Jangan dipaksa sama.” Kira-kira itu gambaran kenapa dakwah beliau selalu “kena”—karena tidak asal menembak, tapi menyesuaikan peluru dengan targetnya. Tarawih di Tebuireng: NU, Muhammadiyah, dan Sebuah Malam yang Tidak Direncanakan Siapa pun Suatu Ramadan di Jawa Timur, Pak AR sedang menjalani agenda safari dakwah. Dalam rangkaian acara itu, beliau mendapat undangan khusus dari Gus Dur untuk datang ke Pesantren Tebuireng, Jombang. Seperti biasa, Gus Dur menyambut tamunya tidak hanya dengan kopi dan canda, tapi juga dengan jebakan halus khas Gus Dur. Menjelang tarawih, Gus Dur mendekati Pak AR dan berkata: “Pak AR, nanti njenengan yang jadi imam, nggih.” Hening sekejap. Tarawih di Tebuireng itu ibarat pertandingan bola: penonton banyak, stadion penuh, dan standar permainannya sudah baku 23 rakaat, titik. Tapi Pak AR, dengan wajah teduh andalannya, mengangguk santai. Seolah beliau mau memimpin tarawih di mushala kecil kampungnya sendiri. Babak Pertama: 8 Rakaat yang Mengguncang Tradisi Sebelum memulai, Pak AR menghadap jamaah dan bertanya dengan sopan: "Bapak ibu sekalian, biasanya tarawih di sini 11 atau 23 rakaat, ya?” Jamaah menjawab kompak, panjang, dan penuh semangat: “DUA PULUH TIGAAAAA…” Pak AR tersenyum, mengangguk, dan berkata: “Baik. Semoga saya juga mampu mengikuti kebiasaan di sini.” Tarawih pun dimulai. Biasanya, meski 20 rakaat, jamaah Tebuireng bisa selesai sekitar pukul 20.00. Rakaatnya cepat tapi tertib. Namun ketika malam itu Pak AR memimpin, ritmenya berubah total. Bacaan panjang, tartil, penuh thuma’ninah, nyaris seperti kelas master untuk gerakan pelan. Hasilnya? Baru 8 rakaat, jam sudah menunjukkan 20.30. Jamaaah mulai saling lirak-liruk. Sebagian mungkin baru sadar bahwa malam itu mereka ikut “tarawih rasa Muhammadiyah”. Babak Kedua: Detik-detik Warga NU “Jadi Muhammadiyah” Pak AR menengok ke jamaah dan bertanya dengan nada lembut yang entah kenapa justru terasa seperti voting final acara talent show: "Bapak ibu sekalian… mengingat waktu… kita lanjut sampai 20 rakaat, atau kita langsung witir saja?” Seketika, tanpa jeda, seluruh jamaah menjawab dengan kompak, bulat, mantap, penuh kelegaan: “WITIIIIIRRRRR!” Gelak tawa pun pecah. Bahkan beberapa kiai tersenyum sambil menggeleng. Tarawih malam itu ditutup dengan khusyuk dan bahagia, meski formatnya sedikit “tergeser”. Epilog: Gus Dur dan Komentarnya yang Abadi. Setelah salat usai, Gus Dur berdiri di depan jamaah sambil menahan senyum nakal khas beliau. Dengan suara pelan tapi jelas, beliau berkomentar: “Baru kali ini ada sejarahnya warga NU, di kandang NU, dimuhammadiyahkan secara massal oleh seorang Muhammadiyah saja…” Masjid meledak oleh tawa. Pak AR ikut tertawa, Gus Dur tertawa, bahkan para santri ikut tertawa meski mungkin belum paham betul kenapa itu lucu. Malam itu menjadi bukti bahwa humor bisa lebih ampuh daripada perdebatan, dan dakwah bisa merangkul tanpa harus membenturkan. Bahwa Muhammadiyah dan NU, dengan segala perbedaan gaya, bisa duduk bersama, salat bersama, dan tertawa bersama. Dan bahwa terkadang, untuk membuat warga NU “beralih” ke gaya Muhammadiyah, cukup satu orang saja, asal orang itu bernama A.R. Fachruddin.

 Ketika Pak AR Berhasil “Memuhammadiyahkan” Warga NU Secara Massal



Di Yogyakarta, 14 Februari 1916, lahirlah seorang lelaki yang kelak dikenal sebagai maestro dakwah yang halus tapi nendang: Abdul Rozak (A.R.) Fachruddin. Putra pasangan K.H. Fachruddin dan Maimunah binti K.H. Idris Pakualaman ini tumbuh di lingkungan santri yang tertib, rapi, dan tentu saja dekat dengan Muhammadiyah.


Beliau tidak hanya aktif di Muhammadiyah, beliau menghabiskan hidupnya di sana. Dari ketua ranting sampai pucuk pimpinan, dari Pemuda Muhammadiyah hingga akhirnya menjadi Ketua PP Muhammadiyah terlama dalam sejarah (1968–1990). Kalau jabatan itu punya sabuk, mungkin sabuknya sudah lusuh saking lamanya dipakai.


Namun, yang paling membuat nama Pak AR hidup dalam ingatan umat bukan hanya struktur jabatan panjang itu. Melainkan gaya dakwahnya yang khas: lembut, cerdas, jenaka, dan tidak pernah memaksa. Kalau orang lain ceramah pakai dalil untuk “menghantam”, Pak AR pakai logika dan humor untuk “merangkul”.


Beliau punya perumpamaan terkenal: “Berdakwah itu seperti menulis. Kalau medianya kertas, ya pakai pulpen. Kalau tembok, ya pakai cat. Jangan dipaksa sama.”


Kira-kira itu gambaran kenapa dakwah beliau selalu “kena”—karena tidak asal menembak, tapi menyesuaikan peluru dengan targetnya.


Tarawih di Tebuireng: NU, Muhammadiyah, dan Sebuah Malam yang Tidak Direncanakan Siapa pun


Suatu Ramadan di Jawa Timur, Pak AR sedang menjalani agenda safari dakwah. Dalam rangkaian acara itu, beliau mendapat undangan khusus dari Gus Dur untuk datang ke Pesantren Tebuireng, Jombang.


Seperti biasa, Gus Dur menyambut tamunya tidak hanya dengan kopi dan canda, tapi juga dengan jebakan halus khas Gus Dur. Menjelang tarawih, Gus Dur mendekati Pak AR dan berkata: “Pak AR, nanti njenengan yang jadi imam, nggih.”


Hening sekejap. Tarawih di Tebuireng itu ibarat pertandingan bola: penonton banyak, stadion penuh, dan standar permainannya sudah baku 23 rakaat, titik.

Tapi Pak AR, dengan wajah teduh andalannya, mengangguk santai. Seolah beliau mau memimpin tarawih di mushala kecil kampungnya sendiri.


Babak Pertama: 8 Rakaat yang Mengguncang Tradisi


Sebelum memulai, Pak AR menghadap jamaah dan bertanya dengan sopan:


"Bapak ibu sekalian, biasanya tarawih di sini 11 atau 23 rakaat, ya?” Jamaah menjawab kompak, panjang, dan penuh semangat: “DUA PULUH TIGAAAAA…”


Pak AR tersenyum, mengangguk, dan berkata: “Baik. Semoga saya juga mampu mengikuti kebiasaan di sini.”


Tarawih pun dimulai.

Biasanya, meski 20 rakaat, jamaah Tebuireng bisa selesai sekitar pukul 20.00. Rakaatnya cepat tapi tertib. Namun ketika malam itu Pak AR memimpin, ritmenya berubah total. Bacaan panjang, tartil, penuh thuma’ninah, nyaris seperti kelas master untuk gerakan pelan.


Hasilnya? Baru 8 rakaat, jam sudah menunjukkan 20.30. Jamaaah mulai saling lirak-liruk. Sebagian mungkin baru sadar bahwa malam itu mereka ikut “tarawih rasa Muhammadiyah”.


Babak Kedua: Detik-detik Warga NU “Jadi Muhammadiyah”

Pak AR menengok ke jamaah dan bertanya dengan nada lembut yang entah kenapa justru terasa seperti voting final acara talent show: "Bapak ibu sekalian… mengingat waktu… kita lanjut sampai 20 rakaat, atau kita langsung witir saja?”


Seketika, tanpa jeda, seluruh jamaah menjawab dengan kompak, bulat, mantap, penuh kelegaan: “WITIIIIIRRRRR!”


Gelak tawa pun pecah. Bahkan beberapa kiai tersenyum sambil menggeleng.

Tarawih malam itu ditutup dengan khusyuk dan bahagia, meski formatnya sedikit “tergeser”.


Epilog: Gus Dur dan Komentarnya yang Abadi.

Setelah salat usai, Gus Dur berdiri di depan jamaah sambil menahan senyum nakal khas beliau. Dengan suara pelan tapi jelas, beliau berkomentar: “Baru kali ini ada sejarahnya warga NU, di kandang NU, dimuhammadiyahkan secara massal oleh seorang Muhammadiyah saja…”


Masjid meledak oleh tawa. Pak AR ikut tertawa, Gus Dur tertawa, bahkan para santri ikut tertawa meski mungkin belum paham betul kenapa itu lucu.


Malam itu menjadi bukti bahwa humor bisa lebih ampuh daripada perdebatan, dan dakwah bisa merangkul tanpa harus membenturkan. Bahwa Muhammadiyah dan NU, dengan segala perbedaan gaya, bisa duduk bersama, salat bersama, dan tertawa bersama.


Dan bahwa terkadang, untuk membuat warga NU “beralih” ke gaya Muhammadiyah, cukup satu orang saja, asal orang itu bernama A.R. Fachruddin.


Sumber : Jumadi Wibisono


24 November 2025

“Malam yang Membelah Hidup Kopral Hargijono si penembak Ade Irma Suryani Nasution" Pada malam yang lengang di Teuku Umar, 30 September 1965, seorang prajurit muda bernama Kopral Dua Hargijono berdiri di antara hiruk-pikuk pasukan Tjakrabirawa yang bergerak cepat... Tak ada yang istimewa sejatinya pada prajurit ini, ia bukan perwira tinggi, bukan pula tokoh yang akrab dengan para jenderal. Ia hanyalah satu dari ratusan anggota pasukan pengawal presiden yang bertugas menurut perintah. Namun malam itu, sebuah keputusan sepersekian detik akan mengubah hidupnya untuk selamanya, bahkan ikut mengubah sejarah Indonesia. Beberapa tahun kemudian, dalam wawancara media, seorang bekas anggota Cakrabirawa menggambarkan suasana malam itu sebagai “malam penuh teka-teki”. Ia mengatakan bahwa banyak prajurit hanya diberitahu bahwa mereka akan “menjemput orang-orang yang mengkhianati Presiden”. Tidak ada penjelasan detail. Tidak ada briefing politik. Hargijono berada dalam kelompok yang mendapat perintah menuju rumah Jenderal A.H. Nasution. Menurut rekonstruksi Historia dan laporan Liputan6, Hargijono saat itu memegang Sten gun, senjata otomatis yang ringan namun sensitif terhadap tremor tangan dan tekanan picu. Ia ditempatkan sebagai anggota depan dalam regu kecil yang memasuki halaman rumah. Ketika pasukan menabrak pintu rumah Nasution, pintu kamar terlihat sempat terbuka lalu tertutup kembali. Di titik inilah ketegangan dimulai, kata salah satu saksi yang diwawancarai Historia “Cepat! Buka pintunya!” Perintah itu terdengar ditekan, keras, dan tanpa ruang untuk ragu. Hargijono maju. Ia mendekatkan laras senjata ke gagang pintu. Dalam rekonstruksi, seorang saksi menggambarkan momentum itu seperti “segala hal terjadi dalam hitungan detik terdengar orang berteriak, lampu temaram, dan tekanan perintah yang membuat siapa pun bisa salah gerak.” Hargijono menarik pelatuk, ledakan kecil memecah ruangan, dan peluru yang awalnya diarahkan ke gagang pintu ternyata meleset. Peluru yang tidak pernah dimaksukkan ke dalam rencana siapa pun Menurut kesaksian seorang mantan prajurit yang berada di tempat yang sama—wawancara yang dikumpulkan jurnalis Petrik Matanasi—rombongan pasukan mendengar suara jeritan perempuan dari dalam kamar. Di tengah kekacauan itu, prajurit-prajurit baru menyadari sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan: peluru yang meleset itu mengenai seorang anak kecil. Anak itu adalah Ade Irma Suryani, putri bungsu Jenderal Nasution. Seorang saksi mata yang diwawancarai Liputan6 berkata “Tidak ada yang berniat menembak anak. Kami kaget. Semua diam beberapa detik, seperti dunia berhenti.” Hargijono sendiri, menurut rekaman persidangan yang dikutip Historia, tidak menyangkal bahwa tembakan itu berasal dari senjatanya. Tapi ia menjelaskan bahwa ia menembak gagang pintu karena itu perintah, bukan mengarahkan ke siapa pun dalam kamar. Beberapa hari setelah peristiwa G30S, operasi penangkapan besar-besaran dimulai. Para anggota Cakrabirawa yang ikut dalam operasi “penjemputan” digiring ke tahanan militer. Nama Hargijono masuk daftar sejak hari pertama. Dalam salah satu wawancara KBR (Kantor Berita Radio) terhadap bekas anggota pasukan pengawal presiden, muncul gambaran tentang bagaimana para prajurit tingkat rendah merasa bahwa mereka “tidak pernah diberi ruang menjelaskan”. Seorang saksi bahkan berkata “Kalau saya harus minta ampun ke Soeharto, saya lebih baik mati.” Ungkapan ini menggambarkan betapa kuat tekanan politik saat itu. Menjalankan perintah dianggap tidak cukup sebagai pembelaan. Di pengadilan militer, kesaksian tentang tembakan ke pintu dan peluru yang meleset kembali dihadirkan. Menurut dokumentasi yang pernah dirangkum Historia, Hargijono menerima vonis yang sangat berat sebagai konsekuensi perannya dalam operasi itu. Dalam liputan panjang Historia, saksi lain yang pernah menjadi prajurit Cakrabirawa menyatakan “Kami itu tentara kecil. Kalau komandan bilang kiri, kami kiri. Kalau bilang tembak gagang pintu, ya kami tembak. Tapi sejarah tidak peduli siapa apa waktu itu.” Kalimat itu menjadi ringkasan betapa banyak prajurit lapangan yang tersapu oleh badai politik yang jauh lebih besar daripada mereka. Seorang saksi lain yang dikutip Liputan6 mengingat Hargijono sebagai “pendiam, tidak banyak bicara, dan bukan tipe prajurit yang suka kekerasan.” Dalam narasi tersebut, ia digambarkan lebih sebagai pelaksana teknis ketimbang seorang aktor politik. Nama Hargijono tenggelam dalam deretan nama besar G30S. Namun ironi sejarah adalah tindakan yang tidak direncanakan, tidak ditargetkan, dan terjadi dalam kepanika justru menjadi salah satu peristiwa yang paling dikenang publik. Hingga kini, arsip publik tentang riwayat hidupnya sebelum 1965 nyaris kosong. Tak ada catatan lengkap tentang masa kecil, keluarganya, atau motivasinya bergabung dalam militer. Ia muncul dalam sejarah secara tiba-tiba dan hilang secara tiba-tiba pula. Yang tersisa hanyalah jejak malam itu, rekonstruksi para saksi, dan perdebatan panjang tentang siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab dalam operasi 30 September. .......... * Sumber Kutipan dan Referensi: Historia: laporan rekonstruksi penembakan Ade Irma oleh Kopral Hargijono. Liputan6: wawancara mantan anggota Cakrabirawa tentang kronologi malam kejadian. KBR: wawancara eks-Cakrabirawa mengenai tekanan politik dan pengadilan militer. Tirto (Petrik Matanasi): konteks operasi penjemputan dan kesaksian prajurit.

 “Malam yang Membelah Hidup Kopral Hargijono si penembak Ade Irma Suryani Nasution" 



Pada malam yang lengang di Teuku Umar, 30 September 1965, seorang prajurit muda bernama Kopral Dua Hargijono berdiri di antara hiruk-pikuk pasukan Tjakrabirawa yang bergerak cepat...


Tak ada yang istimewa sejatinya pada prajurit ini, ia bukan perwira tinggi, bukan pula tokoh yang akrab dengan para jenderal. Ia hanyalah satu dari ratusan anggota pasukan pengawal presiden yang bertugas menurut perintah.


Namun malam itu, sebuah keputusan sepersekian detik akan mengubah hidupnya untuk selamanya, bahkan ikut mengubah sejarah Indonesia.


Beberapa tahun kemudian, dalam wawancara media, seorang bekas anggota Cakrabirawa menggambarkan suasana malam itu sebagai “malam penuh teka-teki”. Ia mengatakan bahwa banyak prajurit hanya diberitahu bahwa mereka akan “menjemput orang-orang yang mengkhianati Presiden”. Tidak ada penjelasan detail. Tidak ada briefing politik. Hargijono berada dalam kelompok yang mendapat perintah menuju rumah Jenderal A.H. Nasution.


Menurut rekonstruksi Historia dan laporan Liputan6, Hargijono saat itu memegang Sten gun, senjata otomatis yang ringan namun sensitif terhadap tremor tangan dan tekanan picu. Ia ditempatkan sebagai anggota depan dalam regu kecil yang memasuki halaman rumah.


Ketika pasukan menabrak pintu rumah Nasution, pintu kamar terlihat sempat terbuka lalu tertutup kembali. Di titik inilah ketegangan dimulai, kata salah satu saksi yang diwawancarai Historia “Cepat! Buka pintunya!”

Perintah itu terdengar ditekan, keras, dan tanpa ruang untuk ragu.


Hargijono maju. Ia mendekatkan laras senjata ke gagang pintu. Dalam rekonstruksi, seorang saksi menggambarkan momentum itu seperti “segala hal terjadi dalam hitungan detik terdengar orang berteriak, lampu temaram, dan tekanan perintah yang membuat siapa pun bisa salah gerak.”


Hargijono menarik pelatuk, ledakan kecil memecah ruangan, dan peluru yang awalnya diarahkan ke gagang pintu ternyata meleset. Peluru yang tidak pernah dimaksukkan ke dalam rencana siapa pun


Menurut kesaksian seorang mantan prajurit yang berada di tempat yang sama—wawancara yang dikumpulkan jurnalis Petrik Matanasi—rombongan pasukan mendengar suara jeritan perempuan dari dalam kamar. Di tengah kekacauan itu, prajurit-prajurit baru menyadari sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan:


peluru yang meleset itu mengenai seorang anak kecil. Anak itu adalah Ade Irma Suryani, putri bungsu Jenderal Nasution.


Seorang saksi mata yang diwawancarai Liputan6 berkata “Tidak ada yang berniat menembak anak. Kami kaget. Semua diam beberapa detik, seperti dunia berhenti.”


Hargijono sendiri, menurut rekaman persidangan yang dikutip Historia, tidak menyangkal bahwa tembakan itu berasal dari senjatanya. Tapi ia menjelaskan bahwa ia menembak gagang pintu karena itu perintah, bukan mengarahkan ke siapa pun dalam kamar.


Beberapa hari setelah peristiwa G30S, operasi penangkapan besar-besaran dimulai. Para anggota Cakrabirawa yang ikut dalam operasi “penjemputan” digiring ke tahanan militer. Nama Hargijono masuk daftar sejak hari pertama.


Dalam salah satu wawancara KBR (Kantor Berita Radio) terhadap bekas anggota pasukan pengawal presiden, muncul gambaran tentang bagaimana para prajurit tingkat rendah merasa bahwa mereka “tidak pernah diberi ruang menjelaskan”. Seorang saksi bahkan berkata “Kalau saya harus minta ampun ke Soeharto, saya lebih baik mati.”


Ungkapan ini menggambarkan betapa kuat tekanan politik saat itu. Menjalankan perintah dianggap tidak cukup sebagai pembelaan.


Di pengadilan militer, kesaksian tentang tembakan ke pintu dan peluru yang meleset kembali dihadirkan. Menurut dokumentasi yang pernah dirangkum Historia, Hargijono menerima vonis yang sangat berat sebagai konsekuensi perannya dalam operasi itu.


Dalam liputan panjang Historia, saksi lain yang pernah menjadi prajurit Cakrabirawa menyatakan “Kami itu tentara kecil. Kalau komandan bilang kiri, kami kiri. Kalau bilang tembak gagang pintu, ya kami tembak. Tapi sejarah tidak peduli siapa apa waktu itu.”


Kalimat itu menjadi ringkasan betapa banyak prajurit lapangan yang tersapu oleh badai politik yang jauh lebih besar daripada mereka.


Seorang saksi lain yang dikutip Liputan6 mengingat Hargijono sebagai “pendiam, tidak banyak bicara, dan bukan tipe prajurit yang suka kekerasan.” Dalam narasi tersebut, ia digambarkan lebih sebagai pelaksana teknis ketimbang seorang aktor politik.


Nama Hargijono tenggelam dalam deretan nama besar G30S. Namun ironi sejarah adalah tindakan yang tidak direncanakan, tidak ditargetkan, dan terjadi dalam kepanika justru menjadi salah satu peristiwa yang paling dikenang publik.


Hingga kini, arsip publik tentang riwayat hidupnya sebelum 1965 nyaris kosong. Tak ada catatan lengkap tentang masa kecil, keluarganya, atau motivasinya bergabung dalam militer. Ia muncul dalam sejarah secara tiba-tiba dan hilang secara tiba-tiba pula.


Yang tersisa hanyalah jejak malam itu, rekonstruksi para saksi, dan perdebatan panjang tentang siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab dalam operasi 30 September.


..........

Sumber :

Sigit Rahardjo

* Sumber Kutipan dan Referensi:


Historia: laporan rekonstruksi penembakan Ade Irma oleh Kopral Hargijono.


Liputan6: wawancara mantan anggota Cakrabirawa tentang kronologi malam kejadian.


KBR: wawancara eks-Cakrabirawa mengenai tekanan politik dan pengadilan militer.


Tirto (Petrik Matanasi): konteks operasi penjemputan dan kesaksian prajurit.

23 November 2025

Johar Manik, Senopati P. Diponegoro, Mati Tertusuk Tombak Oleh Londo Ireng Perang Jawa berkobar dari tahun 1825 hingga 1830 yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Perang ini menjadi salah satu perang terbesar selama penjajahan Belanda di Indonesia Pangeran Diponegoro memiliki sejumlah senopati yang andal saat perang melawan pemerintah kolonial Belanda. Salah satu sosoknya adalah Senopati Johar Manik yang ahli strategi perang. Dia adalah senopati Diponegoro yang menjadi Komandon Bulkiyo dengan anggota laskar-laskar di seputaran Salatiga. Johar Manik yang ditugaskan di wilayah Salatiga dan sekitarnya, memiliki kemampaun supranatural atau kesaktian. Kesaktian didapat setelah Johar Manik gemar tirakat, baik itu puasa maupun melek (tidak tidur). Sebagai senopati andalan Pangeran Diponegoro, berbagai medan pertempuran sengit melawan Belanda dialami. Baik ketika bisa mengalahkan pasukan musuh atau terpaksa mundur karena terdesak. Ketika terdesak, Johar Manik bersama laskarnya sering dikejar-kejar Belanda dan antek-anteknya yang disebut londo ireng (Belanda hitam, orang pribumi yang bergabung dengan Belanda). Kesetiaan Johar Manik terhadap pimpinan membuatnya sangat dekat dan akrab dengan Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro yang tinggal di Tegalrejo, secara diam-diam berkunjung ke Blondo, Salatiga untuk sekedar ngobrol atau mengatur strategi perang. Karena jabatannya sebagai senopati perang, Johar Manik diberi seekor kuda berwarna putih dari Pangeran Diponegoro untuk mobilitas dalam peperangan. Kuda putih itu diberi nama Kiai Bangkol. Sebelum Pangeran Diponegoro berangkat berunding, yang kemudian dijebak oleh Belanda, sempat bertemu Johar Manik di Watu Ceper, Pangeran Diponegoro berpesan, apa pun yang terjadi dalam perundingan tersebut, meski nanti tidak lagi bisa bertemu, perjuangan harus diteruskan dan tidak boleh kalah melawan penjajah. Dalam sebuah penyergapan di Salatiga yang dilakukan oleh Belanda dan antek-anteknya, Johar Manik yang saat itu terkepung tetap melakukan perlawanan sengit. Johar Manik yang saat itu menunggangi kuda, tertusuk tombak di badannya hingga menderita luka parah. Meski demikian, dia masih tetap bisa mengendalikan kuda tunggangannya menuju tempat persembunyiannya di daerah Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Ketika di Sumogawe, ada Pangeran Sumonegoro yang merupakan saudara Pangeran Diponegoro yang ikut berjuang melawan penjajah. Johar Manik yang terluka parah kemudian dirawat, namun akhirnya tidak tertolong dan meninggal dunia. Sebelum meninggal, Johar Manik yang aslinya berasal Bantul berpesan kepada anaknya Karmin Karyodino agar dimakamkan di dekat rumahnya, yaitu di sekitaran Blondo. Jenazah Johar Manik kemudian dimakamkan di daeah Tanggulayu tak jauh dari Blondo. Suber : Abror Subhi Dari berbagai sumber

 Johar Manik, Senopati P. Diponegoro, Mati Tertusuk Tombak Oleh Londo Ireng

Perang Jawa berkobar dari tahun 1825 hingga 1830 yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Perang ini menjadi salah satu perang terbesar selama penjajahan Belanda di Indonesia

Pangeran Diponegoro memiliki sejumlah senopati yang andal saat perang melawan pemerintah kolonial Belanda.



Salah satu sosoknya adalah Senopati Johar Manik yang ahli strategi perang. Dia adalah senopati Diponegoro yang menjadi Komandon Bulkiyo dengan anggota laskar-laskar di seputaran Salatiga.    

Johar Manik yang ditugaskan di wilayah Salatiga dan sekitarnya, memiliki kemampaun supranatural atau kesaktian. Kesaktian didapat setelah Johar Manik gemar tirakat, baik itu puasa maupun melek (tidak tidur).


Sebagai senopati andalan Pangeran Diponegoro, berbagai medan pertempuran sengit melawan Belanda dialami. Baik ketika bisa mengalahkan pasukan musuh atau terpaksa mundur karena terdesak.


Ketika terdesak, Johar Manik bersama laskarnya sering dikejar-kejar Belanda dan antek-anteknya yang disebut londo ireng (Belanda hitam, orang pribumi yang bergabung dengan Belanda).

Kesetiaan Johar Manik terhadap pimpinan membuatnya sangat dekat dan akrab dengan Pangeran Diponegoro.


Pangeran Diponegoro yang tinggal di Tegalrejo, secara diam-diam berkunjung ke Blondo, Salatiga untuk sekedar ngobrol atau mengatur strategi perang.

Karena jabatannya sebagai senopati perang, Johar Manik diberi seekor kuda berwarna putih dari Pangeran Diponegoro untuk mobilitas dalam peperangan. Kuda putih itu diberi nama Kiai Bangkol.


Sebelum Pangeran Diponegoro berangkat berunding, yang kemudian dijebak oleh Belanda, sempat bertemu Johar Manik di Watu Ceper, Pangeran Diponegoro berpesan, apa pun yang terjadi dalam perundingan tersebut, meski nanti tidak lagi bisa bertemu, perjuangan harus diteruskan dan tidak boleh kalah melawan penjajah.


Dalam sebuah penyergapan di Salatiga yang dilakukan oleh Belanda dan antek-anteknya, Johar Manik yang saat itu terkepung tetap melakukan perlawanan sengit.


Johar Manik yang saat itu menunggangi kuda, tertusuk tombak di badannya hingga menderita luka parah. Meski demikian, dia masih tetap bisa mengendalikan kuda tunggangannya menuju tempat persembunyiannya di daerah Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. 


Ketika di Sumogawe, ada Pangeran Sumonegoro yang merupakan saudara Pangeran Diponegoro yang ikut berjuang melawan penjajah. Johar Manik yang terluka parah kemudian dirawat, namun akhirnya tidak tertolong dan meninggal dunia.


Sebelum meninggal, Johar Manik yang aslinya berasal Bantul berpesan kepada anaknya Karmin Karyodino agar dimakamkan di dekat rumahnya, yaitu di sekitaran Blondo. Jenazah Johar Manik kemudian dimakamkan di daeah Tanggulayu tak jauh dari Blondo.



Suber :  Abror Subhi Dari berbagai sumber

22 November 2025

Sejumlah tentara menaburkan bunga di atas peti jenazah Jenderal Sudirman sebelum dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta, 30 Januari 1950. Jenderal Sudirman wafat di Magelang pada 29 Januari 1950. ANTARA FOTO/IPPHOS/Rei/Koz/1950. *** Local Caption *** Sudirman yang wafat di magelang di makamkan di taman Pahlawan Semaki Yogya dalam upacara kebesaran militer Yogya, 30 Januari 1950 Sc : Priyoñ Bitles Combat

 Sejumlah tentara menaburkan bunga di atas peti jenazah Jenderal Sudirman sebelum dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta, 30 Januari 1950. Jenderal Sudirman wafat di Magelang pada 29 Januari 1950. ANTARA FOTO/IPPHOS/Rei/Koz/1950. *** Local Caption *** Sudirman yang wafat di magelang di makamkan di taman Pahlawan Semaki Yogya dalam upacara kebesaran militer Yogya, 30 Januari 1950




Sc : Priyoñ Bitles Combat 

Jl. Jend. Sudirman / Trunan, Magelang 1970-an siapa yang tau kira kira lokasi tepatnya di sebelah mana? :: Arsip Kota Magelang Foto saya perbaiki kualitas dengan Ai #foto #infomenarik #magelangjadul #sejarahmagelang #tempodulu

 Jl. Jend. Sudirman / Trunan, Magelang 1970-an siapa yang tau kira kira lokasi tepatnya di sebelah mana? 



:: Arsip Kota Magelang

Foto saya perbaiki kualitas dengan Ai


#foto #infomenarik #magelangjadul #sejarahmagelang #tempodulu

21 November 2025

Sejumlah tentara membawa peti jenazah Jenderal Sudirman dari kediaman beliau di Magelang, 29 Januari 1950. Jenderal Sudirman wafat di Magelang dan akan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Semaki di Yogyakarta pada 30 Januari 1950. ANTARA FOTO/IPPHOS/Rei/Koz/1950. *** Local Caption *** Panglima Besar Sudirman wafat di Magelang di semayamkan di tmp kediamannya di kota magelang 29 januari 1950

 Sejumlah tentara membawa peti jenazah Jenderal Sudirman dari kediaman beliau di Magelang, 29 Januari 1950. Jenderal Sudirman wafat di Magelang dan akan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Semaki di Yogyakarta pada 30 Januari 1950. ANTARA FOTO/IPPHOS/Rei/Koz/1950. *** Local Caption *** Panglima Besar Sudirman wafat di Magelang di semayamkan di tmp kediamannya di kota magelang 29 januari 1950

Sc : Priyono Bitles Combat



20 November 2025

Orang Jepang membenci Islam dengan kebencian yang sangat mendalam. Selama pendudukan mereka atas Indonesia pada Perang Dunia II, mereka meminta umat Islam Indonesia untuk meninggalkan agama mereka dan memberlakukan undang-undang yang melarang praktik Islam di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Pada tahun-tahun ketika dunia tenggelam dalam api Perang Dunia II, ketika api pertempuran meluas dari Asia Timur hingga Kepulauan Hindia Belanda, Jepang memasuki Indonesia dengan semboyan yang tampak cemerlang pada pandangan pertama: membebaskan bangsa-bangsa Asia dari kolonialisme Barat. Namun, semboyan ini segera terungkap wajah aslinya. Pendudukan Jepang merupakan salah satu bab paling berdarah dalam sejarah Indonesia, meninggalkan luka dalam ingatan umat Islam yang jejaknya masih ada hingga hari ini. Ketika pemerintahan Belanda runtuh menghadapi serangan Jepang pada tahun 1942, banyak orang Indonesia—sebagian besar adalah Muslim—mengira bahwa pengusiran Belanda adalah tanda datangnya era baru, mungkin membawa keadilan atau sedikit kelegaan setelah tiga abad dominasi Eropa. Namun, Jepang bukanlah pembebas, melainkan kekuatan militer yang tidak kalah kejam daripada pendahulunya, bahkan tiga tahun pendudukan mereka melebihi penderitaan yang dialami rakyat selama puluhan tahun kolonialisme Belanda. Islam waktu itu udah jadi tulang punggung masyarakat—ngatur kehidupan, ngumpulin desa, menggerakkan ulama, khotib, dan pesantren. Nah, ini yang bikin Jepang waswas. Mereka langsung mulai kendalikan lembaga agama: sekolah agama ditutup, khutbah diawasi ketat, imam gak boleh naik mimbar kalau nggak dapet izin dari Jepang, naskah khutbah dicek dulu. Organisasi Islam tua seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama diawasi ketat, karena Jepang melihat Islam sebagai gerakan politik lebih daripada spiritual, yang mampu memicu perlawanan luas jika dibiarkan tanpa pengawasan. Kemudian datang pukulan paling berat: sistem kerja paksa yang dikenal sebagai "Romusha". Orang Indonesia belum pernah mengalami bencana semacam ini dalam sejarah modern mereka. Desa-desa digeledah, pemuda-pemuda diculik secara paksa, dan dipaksa bekerja keras di pegunungan, hutan, jalan raya, dan tambang. Ratusan ribu, mungkin lebih dari satu juta Muslim, meninggal dalam kondisi kejam akibat kelaparan, penyakit, dan kekerasan. Tidak ada catatan yang akurat, karena siapa pun yang masuk ke dalam sistem Romusha dianggap hilang. Salah satu lokasi paling terkenal penderitaan adalah pembangunan "Jalan Kereta Api Kematian" antara Burma dan Thailand, yang terkenal secara global karena korban sekutu, tetapi jarang disebut bahwa Muslim Indonesia merupakan kelompok terbanyak, dan lebih sedikit yang mengetahui nama-nama mereka. Selain itu, tentara Jepang memanfaatkan ribuan perempuan Muslim dalam sistem "wanita penghibur", sistem eksploitasi seksual terbesar yang pernah dilakukan oleh tentara abad ke-20. Tentara menyerbu desa-desa, menangkap ribuan gadis Muslim, dan memaksa mereka bekerja di kamp-kamp khusus yang mengeksploitasi perempuan secara seksual atas nama tentara. Keheningan menyelimuti bencana ini selama beberapa dekade karena rasa malu dan takut, tetapi ia tetap menjadi noda hitam dalam sejarah pendudukan. Ekonomi Indonesia pun tidak luput dari penderitaan. Dalam masa perang total, Jepang membutuhkan setiap butir beras, sehingga mereka menyita seluruh hasil panen dan mendistribusikannya kembali melalui tentara. Kelaparan merebak, terutama pada tahun 1944 dan 1945, hingga orang-orang di beberapa desa terpaksa memakan rumput, dan angka kematian meningkat tajam di kalangan anak-anak dan perempuan. Kelaparan menjadi senjata sekaligus akibat perang. Pendudukan juga tidak toleran terhadap siapa pun ulama atau khotib yang mencoba protes. Banyak ulama Muslim dieksekusi di alun-alun, sebagian lain dikubur hidup-hidup, dan sejumlah besar pemimpin organisasi Islam dipenjara setelah dituduh menghasut dan pengkhianatan. Bahkan pendidikan pun tidak luput: Jepang mengubah kurikulum, memaksa anak-anak untuk mengulang slogan-slogan yang memuja Kaisar dan menyembahnya sebagai tuhan, sambil melarang pengajaran bahasa Arab dan Al-Qur'an. Ketika Jepang kalah pada Agustus 1945, mereka meninggalkan negara yang hancur dan kelaparan, kehilangan puluhan ribu putra, ulama, dan perempuannya. Namun, masa-masa berat ini membangkitkan dalam diri orang Indonesia perasaan mendalam akan kebutuhan akan kemerdekaan, menjadi titik balik besar yang membuat deklarasi kemerdekaan menjadi mungkin hanya beberapa hari setelah penyerahan Jepang. Jadi, pendudukan Jepang ini bukti nyata: slogan-slogan mulia bisa jadi topeng dari kekejaman paling mengerikan. Muslim di Nusantara—yang nggak ikut perang—harus bayar harga mahal: darah, nyawa, dan harga diri mereka. Mereka nggak cari perang, tapi malah jadi korban di tengahnya. Referensi: 1. Shigeru Sato, Japan’s Occupation of Indonesia. 2. Anthony Reid, The Indonesian War of Independence. 3. Yoshimi Yoshiaki, Comfort Women. 4. Laporan Komisi Kebenaran Indonesia 1942–1945. 5. Arsip Pemerintah Belanda – Den Haag ✍ Sejarah Islam

 Orang Jepang membenci Islam dengan kebencian yang sangat mendalam. Selama pendudukan mereka atas Indonesia pada Perang Dunia II, mereka meminta umat Islam Indonesia untuk meninggalkan agama mereka dan memberlakukan undang-undang yang melarang praktik Islam di Indonesia, terutama di kota-kota besar.



Pada tahun-tahun ketika dunia tenggelam dalam api Perang Dunia II, ketika api pertempuran meluas dari Asia Timur hingga Kepulauan Hindia Belanda, Jepang memasuki Indonesia dengan semboyan yang tampak cemerlang pada pandangan pertama: membebaskan bangsa-bangsa Asia dari kolonialisme Barat. 


Namun, semboyan ini segera terungkap wajah aslinya. Pendudukan Jepang merupakan salah satu bab paling berdarah dalam sejarah Indonesia, meninggalkan luka dalam ingatan umat Islam yang jejaknya masih ada hingga hari ini.


Ketika pemerintahan Belanda runtuh menghadapi serangan Jepang pada tahun 1942, banyak orang Indonesia—sebagian besar adalah Muslim—mengira bahwa pengusiran Belanda adalah tanda datangnya era baru, mungkin membawa keadilan atau sedikit kelegaan setelah tiga abad dominasi Eropa. 


Namun, Jepang bukanlah pembebas, melainkan kekuatan militer yang tidak kalah kejam daripada pendahulunya, bahkan tiga tahun pendudukan mereka melebihi penderitaan yang dialami rakyat selama puluhan tahun kolonialisme Belanda.


Islam waktu itu udah jadi tulang punggung masyarakat—ngatur kehidupan, ngumpulin desa, menggerakkan ulama, khotib, dan pesantren. Nah, ini yang bikin Jepang waswas. Mereka langsung mulai kendalikan lembaga agama: sekolah agama ditutup, khutbah diawasi ketat, imam gak boleh naik mimbar kalau nggak dapet izin dari Jepang, naskah khutbah dicek dulu. 


Organisasi Islam tua seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama diawasi ketat, karena Jepang melihat Islam sebagai gerakan politik lebih daripada spiritual, yang mampu memicu perlawanan luas jika dibiarkan tanpa pengawasan.


Kemudian datang pukulan paling berat: sistem kerja paksa yang dikenal sebagai "Romusha". Orang Indonesia belum pernah mengalami bencana semacam ini dalam sejarah modern mereka. Desa-desa digeledah, pemuda-pemuda diculik secara paksa, dan dipaksa bekerja keras di pegunungan, hutan, jalan raya, dan tambang. Ratusan ribu, mungkin lebih dari satu juta Muslim, meninggal dalam kondisi kejam akibat kelaparan, penyakit, dan kekerasan. 


Tidak ada catatan yang akurat, karena siapa pun yang masuk ke dalam sistem Romusha dianggap hilang. Salah satu lokasi paling terkenal penderitaan adalah pembangunan "Jalan Kereta Api Kematian" antara Burma dan Thailand, yang terkenal secara global karena korban sekutu, tetapi jarang disebut bahwa Muslim Indonesia merupakan kelompok terbanyak, dan lebih sedikit yang mengetahui nama-nama mereka.


Selain itu, tentara Jepang memanfaatkan ribuan perempuan Muslim dalam sistem "wanita penghibur", sistem eksploitasi seksual terbesar yang pernah dilakukan oleh tentara abad ke-20. Tentara menyerbu desa-desa, menangkap ribuan gadis Muslim, dan memaksa mereka bekerja di kamp-kamp khusus yang mengeksploitasi perempuan secara seksual atas nama tentara. Keheningan menyelimuti bencana ini selama beberapa dekade karena rasa malu dan takut, tetapi ia tetap menjadi noda hitam dalam sejarah pendudukan.


Ekonomi Indonesia pun tidak luput dari penderitaan. Dalam masa perang total, Jepang membutuhkan setiap butir beras, sehingga mereka menyita seluruh hasil panen dan mendistribusikannya kembali melalui tentara. 


Kelaparan merebak, terutama pada tahun 1944 dan 1945, hingga orang-orang di beberapa desa terpaksa memakan rumput, dan angka kematian meningkat tajam di kalangan anak-anak dan perempuan. Kelaparan menjadi senjata sekaligus akibat perang.


Pendudukan juga tidak toleran terhadap siapa pun ulama atau khotib yang mencoba protes. Banyak ulama Muslim dieksekusi di alun-alun, sebagian lain dikubur hidup-hidup, dan sejumlah besar pemimpin organisasi Islam dipenjara setelah dituduh menghasut dan pengkhianatan. 


Bahkan pendidikan pun tidak luput: Jepang mengubah kurikulum, memaksa anak-anak untuk mengulang slogan-slogan yang memuja Kaisar dan menyembahnya sebagai tuhan, sambil melarang pengajaran bahasa Arab dan Al-Qur'an.


Ketika Jepang kalah pada Agustus 1945, mereka meninggalkan negara yang hancur dan kelaparan, kehilangan puluhan ribu putra, ulama, dan perempuannya. Namun, masa-masa berat ini membangkitkan dalam diri orang Indonesia perasaan mendalam akan kebutuhan akan kemerdekaan, menjadi titik balik besar yang membuat deklarasi kemerdekaan menjadi mungkin hanya beberapa hari setelah penyerahan Jepang.


Jadi, pendudukan Jepang ini bukti nyata: slogan-slogan mulia bisa jadi topeng dari kekejaman paling mengerikan. Muslim di Nusantara—yang nggak ikut perang—harus bayar harga mahal: darah, nyawa, dan harga diri mereka. Mereka nggak cari perang, tapi malah jadi korban di tengahnya.


Referensi:

1. Shigeru Sato, Japan’s Occupation of Indonesia.

2. Anthony Reid, The Indonesian War of Independence.

3. Yoshimi Yoshiaki, Comfort Women.

4. Laporan Komisi Kebenaran Indonesia 1942–1945.

5. Arsip Pemerintah Belanda – Den Haag

✍ Sejarah Islam

Mayor Sabaruddin , Macan Sidoarjo yang brutal Sebelum Belanda menggelar dua aksi polisionilnya (Agresi I Juli 1947 dan Agresi II Desember 1948), di negeri kita lebih dulu sempat dilanda “Masa/Periode Bersiap”. Tempo chaos pasca-proklamasi di mana oknum-oknum pemuda, laskar, hingga tentara republik menghabisi banyak rakyat sipil. Rakyat sipil yang berafiliasi dengan Belanda tentunya. Orang-orang bumiputera maupun peranakan Tionghoa hingga Arab yang pro-Belanda, eks pegawai Belanda, orang-orang Indo Belanda, hingga pastinya orang-orang Belanda totok di masa akhir 1945 hingga awal 1946. Masa di mana masyarakat, laskar, pemuda, belum tentu mau menuruti instruksi pemerintah RI yang baru terbentuk.Elemen-elemen rakyat yang hanya mau bertindak seenak perutnya di berbagai wilayah. Sejarah kelam negeri kita soal yang begini ini yang sedianya, jarang diungkap. Entah karena terlalu sensitif atau memang masyarakat kita belum bisa jujur dengan sejarahnya sendiri. Enggak percaya bahwa tidak semua pejuang kita menjalankan perjuangan suci? Contohnya tidak sedikit, lho. Tapi sebagai permulaan, baiknya penulis jabarkan satu dari sekian tokoh yang terkenal brutal, bengis nan beringas era Periode Bersiap- Mayor Zainal Sabaruddin Nasution. “Mayor Sabaruddin sangat terkenal bengis. Ada buku tentang kisahnya, (judulnya) ‘Petualangan Mayor Sabarudin’. Dia pejuang, tepatnya PTKR (Polisi Tentara Keamanan Rakyat, kini Polisi Militer),” tutur aktivis sejarah Komunitas Roodebrug Soerabaia Ady Setiawan kepada Okezone. Dari namanya yang punya marga sama dengan Panglima Divisi Siliwangi Kolonel Abdoel Haris Nasution, Sabaruddin memang berasal dari orangtua asli Batak. Pun begitu, Sabaruddin sendiri lahir di Aceh, tepatnya Kotaraja pada 1922. Selepas makan bangku sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau sekolah setingkat menengah pertama, Sabaruddin cari nafkah jadi juru tulis di Kabupaten Sidoarjo dan menangani pembukuan di perkebunan tebu. Saat Jepang masuk nusantara, Sabaruddin selayaknya para pemuda lain, ikut pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) bentukan Jepang dan lulus dengan pangkat Shodancho (komandan peleton). Kariernya melesat pasca-Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Sabaruddin naik pangkat jadi kapten, kemudian mayor dan jadi Komandan PTKR Karesidenan Surabaya. Tugasnya, mengawasi tawanan Jepang dan para orang-orang Belanda dan bumiputera pro-Belanda yang baru keluar dari kamp-kamp interniran. Dari sinilah kebrutalan dan kegilaan Mayor Sabaruddin dan ratusan anak buahnya yang fanatik bermula. Sepak terjang petarung republik yang berjuluk si Macan Sidoarjo ini sungguh bikin geleng-geleng kepala. Siapapun yang ditangkapnya dengan dugaan atau tuduhan sesuatu seperti mata-mata misalnya, bisa-bisa langsung dicabut nyawanya tanpa penyelidikan lebih lanjut. Pernah termaktub kisahnya dalam buku di atas, dia menangkap tiga pemuda asal Maluku dan dituduh mata-mata. Kelanjutannya? Ketiga pemuda itu dibakar hidup-hidup setelah lebih dulu diguyur bensin. Mayor Sabaruddin juga gila wanita. Sabaruddin yang juga diketahui punya istri keturunan Belanda, sering mengumpulkan eks tawanan interniran wanita kulit putih untuk dijadikan budak pemuas nafsunya. Wanita-wanita itu baru kemudian ditemukan dan diselamatkan M Jasin, Komandan Polisi Istimewa (kini Brimob) bersama Laskar Pesindo, Laskar Minyak dan Hizbullah. “Dalam penggerebekan (di satu Harem di sekitar Trawas) itu ditemukan 8 wanita Eropa yang sedang hamil, 4 besek penuh perhiasan. Wanita dan emas itu diduga dirampas dari kamp-kamp interniran,” ungkap M Jasin dalam ‘Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang’. Orang-orang Belanda yang ada di perkebunan tebu dan pabrik gula di Candi, Sidoarjo juga masuk daftar korban si Macan Sidoarjo. Salah satu korbannya adalah ayah Wieteke van Dort, penembang lagu legendaris ‘Geef Mij Maar Nasi Goreng’. “Ayahnya dia (Wieteke van Dort) administrateur di pabrik gula candi. Ikut jadi korbannya Sabaruddin. Dia ikut juga dibawa ke Alun-Alun Sidoarjo. Ditembak 7 orang dalam regu tembak. Tembakan terakhir diarahkan ke lehernya pakai pistol revolver,” sambung Ady. “Selain suka nyulik wanita-wanita Belanda, kekejaman Sabaruddin juga pernah menyeret orang menggunakan truk dari Surabaya sampai Sidoarjo. Karena kebrutalannya itu, dia juga diburu sama TNI. Tapi sempat ditangkap, lalu dilepas lagi karena terjadi Agresi II,” lanjut penulis buku ‘Benteng-Benteng Surabaya’ tersebut. Meski begitu, jangan sangka Sabaruddin takut dengan sesama tentara. Apalagi polisi macam M Jasin yang pernah protes, lantaran Kepala Biro Kepolisian Surabaya Basuki, pernah jadi korban salah tangkap Sabaruddin. Sesama tentara pun pernah dihabisinya hanya karena berebut wanita yang juga putri Bupati Sidoarjo bernama Indriyati. Korbannya bernama Soerjo, mantan atasan Sabaruddin semasa di PETA. Soerjo juga ikut melanjutkan karier di tentara republik sebagai kepala keuangan dan perlengkapan TKR. Karena Soerjo berasal dari keluarga priyai, jelas putri bupati yang terkenal cantik itu memilih Soerjo ketimbang Sabaruddin. Tapi belakangan, leher Soerjo ditebas pedang gunto Sabaruddin. Tindak-tanduk Sabaruddin sebagai Komandan PTKR yang seenak perut bahkan tak jarang ikut menjaring beberapa tokoh dari matra lainnya sebagai korban salah tangkap. Seperti Iswahyudi (salah satu perintis Angkatan Udara Republik Indonesia/AURI), seorang perwira Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Mayor Iskak, hingga seorang jenderal yang untuk kasus ini sengaja dia culik dan tangkap. Jenderal Mayor Mohamad Mangundiprodjo medio Januari 1946, pernah jadi korban penculikan Sabaruddin, meski lebih beruntung nasibnya tak semalang Soerjo. Sabaruddin mengincar sang jenderal karena sudah mencium gelagat pelaporan Mohammad soal aksi-aksi Sabaruddin ke Markas Besar Tentara (MBT) di Gondomanan, Yogyakarta. Mohammad mengirim surat kepada Kepala Staf Tentara Letjen Oerip Soemojardjo untuk menangkap Sabaruddin. Mohammad juga kemudian berangkat ke Gondomanan untuk menuju MBT demi bisa bertemu Letjen Oerip langsung. Tapi nahas, ternyata Sabaruddin sudah lebih dulu “menguasai” MBT. Kebetulan, ketika itu Letjen Oerip tengah rapat bersama Panglima Besar Jenderal Soedirman di sebuah ruangan yang jauh dari ruangan, tempat di mana Mohamad tengah menunggu Letjen Oerip. Seketika di ruang tunggu, Jenderal Mayor Mohamad didatangi dan ditodong senjata anak buah Sabaruddin, untuk kemudian dilemparkan ke bak truk. Dalam perjalanan dari Yogyakarta ke Solo, Sabaruddin juga menciduk salah satu perwira staf TKR Jawa Timur berpangkat letkol. Kabar penculikan Jenderal Mayor Mohamad membuat MBT menginstruksikan Letkol Surachmad dan Kolonel Mohamad Soediro untuk memburu Sabaruddin. Pengejaran berhasil. Dua perwira yang ditangkap, dibebaskan, sementara Sabaruddin diadili di Mahkamah Tentara Agung di bulan April 1947 dan divonis 7 tahun bui. Namun kemudian Sabaruddin justru dilepas lagi pasca-Agresi Militer Belanda II. Sabaruddin diberi kepercayaan lagi untuk mengabdi dengan cara yang benar dan diberi wewenang membentuk sebuah laskar yang dinamainya Laskar Rencong. Laskar ini berada di bawah naungan Danyon 38 Brigade Surachmad. Akan tetapi, Sabaruddin berulah lagi dan mulai cenderung jadi petarung “kiri” karena kekagumannya pada Tan Malaka. Malah, Sabaruddin piluh membelot dan melindungi Tan Malaka dari pengejaran TNI. Si Macan Sidoarjo akhirnya menutup petualangannya pada November 1949. Dia sempat ditangkap lagi oleh pasukan Corps Polisi Militer (CPM). Pengadilan lapangan memvonisnya hukuman mat* dan dieksekusi di Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. sumber : https://nasional.okezone.com

 Mayor Sabaruddin , Macan Sidoarjo yang brutal


Sebelum Belanda menggelar dua aksi polisionilnya (Agresi I Juli 1947 dan Agresi II Desember 1948), di negeri kita lebih dulu sempat dilanda “Masa/Periode Bersiap”. Tempo chaos pasca-proklamasi di mana oknum-oknum pemuda, laskar, hingga tentara republik menghabisi banyak rakyat sipil.



Rakyat sipil yang berafiliasi dengan Belanda tentunya. Orang-orang bumiputera maupun peranakan Tionghoa hingga Arab yang pro-Belanda, eks pegawai Belanda, orang-orang Indo Belanda, hingga pastinya orang-orang Belanda totok di masa akhir 1945 hingga awal 1946.


Masa di mana masyarakat, laskar, pemuda, belum tentu mau menuruti instruksi pemerintah RI yang baru terbentuk.Elemen-elemen rakyat yang hanya mau bertindak seenak perutnya di berbagai wilayah. Sejarah kelam negeri kita soal yang begini ini yang sedianya, jarang diungkap. Entah karena terlalu sensitif atau memang masyarakat kita belum bisa jujur dengan sejarahnya sendiri.


Enggak percaya bahwa tidak semua pejuang kita menjalankan perjuangan suci? Contohnya tidak sedikit, lho. Tapi sebagai permulaan, baiknya penulis jabarkan satu dari sekian tokoh yang terkenal brutal, bengis nan beringas era Periode Bersiap- Mayor Zainal Sabaruddin Nasution. “Mayor Sabaruddin sangat terkenal bengis. Ada buku tentang kisahnya, (judulnya) ‘Petualangan Mayor Sabarudin’. Dia pejuang, tepatnya PTKR (Polisi Tentara Keamanan Rakyat, kini Polisi Militer),” tutur aktivis sejarah Komunitas Roodebrug Soerabaia Ady Setiawan kepada Okezone.


Dari namanya yang punya marga sama dengan Panglima Divisi Siliwangi Kolonel Abdoel Haris Nasution, Sabaruddin memang berasal dari orangtua asli Batak. Pun begitu, Sabaruddin sendiri lahir di Aceh, tepatnya Kotaraja pada 1922. Selepas makan bangku sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau sekolah setingkat menengah pertama, Sabaruddin cari nafkah jadi juru tulis di Kabupaten Sidoarjo dan menangani pembukuan di perkebunan tebu.


Saat Jepang masuk nusantara, Sabaruddin selayaknya para pemuda lain, ikut pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) bentukan Jepang dan lulus dengan pangkat Shodancho (komandan peleton). Kariernya melesat pasca-Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Sabaruddin naik pangkat jadi kapten, kemudian mayor dan jadi Komandan PTKR Karesidenan Surabaya. Tugasnya, mengawasi tawanan Jepang dan para orang-orang Belanda dan bumiputera pro-Belanda yang baru keluar dari kamp-kamp interniran.


Dari sinilah kebrutalan dan kegilaan Mayor Sabaruddin dan ratusan anak buahnya yang fanatik bermula. Sepak terjang petarung republik yang berjuluk si Macan Sidoarjo ini sungguh bikin geleng-geleng kepala. Siapapun yang ditangkapnya dengan dugaan atau tuduhan sesuatu seperti mata-mata misalnya, bisa-bisa langsung dicabut nyawanya tanpa penyelidikan lebih lanjut. Pernah termaktub kisahnya dalam buku di atas, dia menangkap tiga pemuda asal Maluku dan dituduh mata-mata.


Kelanjutannya? Ketiga pemuda itu dibakar hidup-hidup setelah lebih dulu diguyur bensin. Mayor Sabaruddin juga gila wanita. Sabaruddin yang juga diketahui punya istri keturunan Belanda, sering mengumpulkan eks tawanan interniran wanita kulit putih untuk dijadikan budak pemuas nafsunya. Wanita-wanita itu baru kemudian ditemukan dan diselamatkan M Jasin, Komandan Polisi Istimewa (kini Brimob) bersama Laskar Pesindo, Laskar Minyak dan Hizbullah. “Dalam penggerebekan (di satu Harem di sekitar Trawas) itu ditemukan 8 wanita Eropa yang sedang hamil, 4 besek penuh perhiasan. Wanita dan emas itu diduga dirampas dari kamp-kamp interniran,” ungkap M Jasin dalam ‘Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang’.


Orang-orang Belanda yang ada di perkebunan tebu dan pabrik gula di Candi, Sidoarjo juga masuk daftar korban si Macan Sidoarjo. Salah satu korbannya adalah ayah Wieteke van Dort, penembang lagu legendaris ‘Geef Mij Maar Nasi Goreng’. “Ayahnya dia (Wieteke van Dort) administrateur di pabrik gula candi. Ikut jadi korbannya Sabaruddin. Dia ikut juga dibawa ke Alun-Alun Sidoarjo. Ditembak 7 orang dalam regu tembak. Tembakan terakhir diarahkan ke lehernya pakai pistol revolver,” sambung Ady.


“Selain suka nyulik wanita-wanita Belanda, kekejaman Sabaruddin juga pernah menyeret orang menggunakan truk dari Surabaya sampai Sidoarjo. Karena kebrutalannya itu, dia juga diburu sama TNI. Tapi sempat ditangkap, lalu dilepas lagi karena terjadi Agresi II,” lanjut penulis buku ‘Benteng-Benteng Surabaya’ tersebut. Meski begitu, jangan sangka Sabaruddin takut dengan sesama tentara. Apalagi polisi macam M Jasin yang pernah protes, lantaran Kepala Biro Kepolisian Surabaya Basuki, pernah jadi korban salah tangkap Sabaruddin.


Sesama tentara pun pernah dihabisinya hanya karena berebut wanita yang juga putri Bupati Sidoarjo bernama Indriyati. Korbannya bernama Soerjo, mantan atasan Sabaruddin semasa di PETA. Soerjo juga ikut melanjutkan karier di tentara republik sebagai kepala keuangan dan perlengkapan TKR. Karena Soerjo berasal dari keluarga priyai, jelas putri bupati yang terkenal cantik itu memilih Soerjo ketimbang Sabaruddin. Tapi belakangan, leher Soerjo ditebas pedang gunto Sabaruddin.


Tindak-tanduk Sabaruddin sebagai Komandan PTKR yang seenak perut bahkan tak jarang ikut menjaring beberapa tokoh dari matra lainnya sebagai korban salah tangkap. Seperti Iswahyudi (salah satu perintis Angkatan Udara Republik Indonesia/AURI), seorang perwira Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Mayor Iskak, hingga seorang jenderal yang untuk kasus ini sengaja dia culik dan tangkap.


Jenderal Mayor Mohamad Mangundiprodjo medio Januari 1946, pernah jadi korban penculikan Sabaruddin, meski lebih beruntung nasibnya tak semalang Soerjo. Sabaruddin mengincar sang jenderal karena sudah mencium gelagat pelaporan Mohammad soal aksi-aksi Sabaruddin ke Markas Besar Tentara (MBT) di Gondomanan, Yogyakarta.


Mohammad mengirim surat kepada Kepala Staf Tentara Letjen Oerip Soemojardjo untuk menangkap Sabaruddin. Mohammad juga kemudian berangkat ke Gondomanan untuk menuju MBT demi bisa bertemu Letjen Oerip langsung. Tapi nahas, ternyata Sabaruddin sudah lebih dulu “menguasai” MBT. Kebetulan, ketika itu Letjen Oerip tengah rapat bersama Panglima Besar Jenderal Soedirman di sebuah ruangan yang jauh dari ruangan, tempat di mana Mohamad tengah menunggu Letjen Oerip.


Seketika di ruang tunggu, Jenderal Mayor Mohamad didatangi dan ditodong senjata anak buah Sabaruddin, untuk kemudian dilemparkan ke bak truk. Dalam perjalanan dari Yogyakarta ke Solo, Sabaruddin juga menciduk salah satu perwira staf TKR Jawa Timur berpangkat letkol. Kabar penculikan Jenderal Mayor Mohamad membuat MBT menginstruksikan Letkol Surachmad dan Kolonel Mohamad Soediro untuk memburu Sabaruddin. Pengejaran berhasil.


Dua perwira yang ditangkap, dibebaskan, sementara Sabaruddin diadili di Mahkamah Tentara Agung di bulan April 1947 dan divonis 7 tahun bui. Namun kemudian Sabaruddin justru dilepas lagi pasca-Agresi Militer Belanda II. Sabaruddin diberi kepercayaan lagi untuk mengabdi dengan cara yang benar dan diberi wewenang membentuk sebuah laskar yang dinamainya Laskar Rencong. Laskar ini berada di bawah naungan Danyon 38 Brigade Surachmad.


Akan tetapi, Sabaruddin berulah lagi dan mulai cenderung jadi petarung “kiri” karena kekagumannya pada Tan Malaka. Malah, Sabaruddin piluh membelot dan melindungi Tan Malaka dari pengejaran TNI. Si Macan Sidoarjo akhirnya menutup petualangannya pada November 1949. Dia sempat ditangkap lagi oleh pasukan Corps Polisi Militer (CPM). Pengadilan lapangan memvonisnya hukuman mat* dan dieksekusi di Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur.


sumber :  https://nasional.okezone.com

Gelanggang Remaja tahun 1982 : hayo siapa yang punya kenangan dengan tempat ini...

 Gelanggang Remaja tahun 1982 : hayo siapa yang punya kenangan dengan tempat ini...



Sumber : Bondan Eri Christianto


Kisruh berulangkali terjadi terkait suksesi tahta salah satu trah Mataram yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat sepertinya memang sudah ditakdirkan. Banyak kisah mitos yg terkait dgn hal tersebut & salah satunya adalah kisah mitos ttg masa kanak2 Pakubuwono X yg dlm sejarah disebut sebagai Susuhunan paling kaya & membawa kemakmuran bagi Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Kembali kepada kisah mitos tersebut yakni bahwa semua raja trah Mataram sekaligus juga "suami" dari Kangjeng Ratu Kencono Hadisari, konon hal ini dikarenakan adanya perjanjian antara Panembahan Senopati sebagai pendiri Mataram Islam dgn penguasa Laut Selatan tersebut. Di awal kisah, ketika Panembahan Senopati ingin mendirikan Kasultanan Mataram, beliau harus berusaha berkomunikasi dgn penguasa Laut Selatan untuk membantu usahanya tersebut. Dng perjanjian, Panembahan Senopati bersedia menjadi pasangan spiritualnya & Kangjeng Ratu Kencono Hadisari menjadi pelindung spiritual bagi kerajaan yg didirikan oleh Panembahan Senopati tersebut. Bahkan semenjak itu, sang Ratu juga akan menjadi pasangan spiritual bagi setiap raja trah Mataram, termasuk Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Perjanjian pasangan spiritual ini kemudian digambarkan dlm bentuk tari Bedhoyo Ketawang yg dipentaskan hanya di acara ulangtahun kenaikan tahta raja Surakarta. Sejak lama, Kangjeng Ratu Kencono Hadisari adalah tokoh legenda yg sangat populer di kalangan masyarakat Jawa. Menurut mitos yg ada, Kangjeng Ratu memiliki kuasa atas ombak besar Samudra Hindia dari istananya yg terletak di dasar samudra. Terkait Kasunanan Surakarta Hadiningrat, beberapa kisah mitos menyebut bahwa Kangjeng Ratu Kencono Hadisari menjadi "pendamping" spiritual dari semua Susuhunan Pakubuwono dari I hingga IX & konon berhenti hingga ke Susuhunan Pakubuwono X. Menurut kisah, di suatu saat Susuhunan Pakubuwono IX akan tirakat di Panggung Songgobuwono, sebuah bangunan berbentuk menara yg konon dibangun khusus untuk pertemuan antara raja Surakarta & penguasa Laut Selatan. Namun tanpa diketahui sang ayah, putra beliau yg kala itu berusia sekitar 5 thn mengikuti secara diam2 sang ayah, namun karena usianya, Pangeran tersebut hampir terjatuh. Kejadian sang Pangeran kecil hampir terjatuh ini konon sempat dilihat oleh Kangjeng Ratu Kidul yg secara refleks menyebut : "oh...Ngger anak-ku". Pangeran kecil ini adalah Gusti Raden Mas Sayidin Malikul Kusno yg kelak bergelar sebagai S.I.S.K.Susuhunan Pakubuwono X. Semenjak kejadian tersebut, Kangjeng Ratu Kencono Hadisari hanya mendampingi raja Surakarta Hadiningrat sebagai pasangan spiritual hingga pada Susuhunan Pakubuwono IX karena sang Ratu Kidul sudah terlanjur menyebut "anak" kepada Pangeran Kecil tadi yg kelak menjadi raja Surakarta berikutnya. Berdasarkan pada mitos tersebut, maka di era Susuhunan Pakubuwono X bertahta Kerajaan Surakarta Hadiningrat mencapai masa kemakmuran & kejayaannya bahkan Susuhunan Pakubuwono X menjadi raja yg paling kaya di Jawa & semua itu dianggap karena dibantu Kangjeng Ratu Kencono Hadisari yg bukan lagi sebagai istri, tetapi sebagai ibundanya. S.I.S.K Susuhunan Pakubuwono X yg lahir pada 29 November 1866 diangkat sebagai Putra Mahkota sejak usia 3 thn dgn gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibyo Rojoputro Narendro Mataram.

 Kisruh berulangkali terjadi terkait suksesi tahta salah satu trah Mataram yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat sepertinya memang sudah ditakdirkan. Banyak kisah mitos yg terkait dgn hal tersebut & salah satunya adalah kisah mitos ttg masa kanak2 Pakubuwono X yg dlm sejarah disebut sebagai Susuhunan paling kaya & membawa kemakmuran bagi Kerajaan Surakarta Hadiningrat.



Kembali kepada kisah mitos tersebut yakni bahwa semua raja trah Mataram sekaligus juga "suami" dari Kangjeng Ratu Kencono Hadisari, konon hal ini dikarenakan adanya perjanjian antara Panembahan Senopati sebagai pendiri Mataram Islam dgn penguasa Laut Selatan tersebut.


Di awal kisah, ketika Panembahan Senopati ingin mendirikan Kasultanan Mataram, beliau harus berusaha berkomunikasi dgn penguasa Laut Selatan untuk membantu usahanya tersebut. Dng perjanjian, Panembahan Senopati bersedia menjadi pasangan spiritualnya & Kangjeng Ratu Kencono Hadisari menjadi pelindung spiritual bagi kerajaan yg didirikan oleh Panembahan Senopati tersebut. Bahkan semenjak itu, sang Ratu juga akan menjadi pasangan spiritual bagi  setiap raja trah Mataram, termasuk Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Perjanjian pasangan spiritual ini kemudian digambarkan dlm bentuk tari Bedhoyo Ketawang yg dipentaskan hanya di acara ulangtahun kenaikan tahta raja Surakarta.


Sejak lama, Kangjeng Ratu Kencono Hadisari adalah tokoh legenda yg sangat populer di kalangan masyarakat Jawa. Menurut mitos yg ada, Kangjeng Ratu memiliki kuasa atas ombak besar Samudra Hindia dari istananya yg terletak di dasar samudra.

Terkait Kasunanan Surakarta Hadiningrat, beberapa kisah mitos menyebut bahwa Kangjeng Ratu Kencono Hadisari menjadi "pendamping" spiritual dari semua  Susuhunan Pakubuwono dari I hingga IX & konon berhenti hingga ke Susuhunan Pakubuwono X.


Menurut kisah, di suatu saat Susuhunan Pakubuwono IX akan tirakat di Panggung Songgobuwono, sebuah bangunan berbentuk menara yg konon dibangun khusus untuk pertemuan antara raja Surakarta & penguasa Laut Selatan. Namun tanpa diketahui sang ayah, putra beliau yg kala itu berusia sekitar 5 thn mengikuti secara diam2 sang ayah, namun karena usianya, Pangeran tersebut hampir terjatuh.

Kejadian sang Pangeran kecil hampir  terjatuh ini konon sempat dilihat oleh Kangjeng Ratu Kidul yg secara refleks menyebut : "oh...Ngger anak-ku".

Pangeran kecil ini adalah Gusti Raden Mas Sayidin Malikul Kusno yg kelak bergelar sebagai S.I.S.K.Susuhunan Pakubuwono X. 

Semenjak kejadian tersebut, Kangjeng Ratu Kencono Hadisari hanya mendampingi raja Surakarta Hadiningrat sebagai pasangan spiritual hingga pada Susuhunan Pakubuwono IX karena sang Ratu Kidul sudah terlanjur menyebut "anak" kepada Pangeran Kecil tadi yg kelak menjadi raja Surakarta berikutnya.


Berdasarkan pada mitos tersebut, maka di era Susuhunan Pakubuwono X bertahta Kerajaan Surakarta Hadiningrat mencapai masa kemakmuran & kejayaannya bahkan Susuhunan Pakubuwono X menjadi raja yg paling kaya di Jawa & semua itu dianggap karena dibantu Kangjeng Ratu Kencono Hadisari yg bukan lagi sebagai istri, tetapi sebagai ibundanya.


S.I.S.K Susuhunan Pakubuwono X yg lahir pada 29 November 1866 diangkat sebagai Putra Mahkota sejak usia 3 thn dgn gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibyo Rojoputro Narendro Mataram.

Ki Madusena, Cucu Panembahan Senopati Yang Diungsikan Ke Kebumen Makam Ki Madusena berada di Alian, Kebumen. Ki Madusena adalah putra dari Ki Ageng Mangir IV/Ki Ageng Wikerta dengan putri Panembahan Senopati yang bernama Raden Ayu Pembayun (ada yang berkeyakinan ayah dari Ki Madusena adalah Ki Ageng Mangir III). Pernikahan mereka diawali dengan menyamarnya Pembayun menjadi salah satu ronggeng di wilayah kekuasaan Ki Ageng Mangir atas perintah ayahanya. Tujuannya adalah untuk memikat Ki Ageng Mangir sehingga ia dapat ditaklukkan Mataram. Strategi tersebut ternyata berhasil, bahkan tidak hanya Ki Ageng Mangir saja, Pembayun yang saat itu menjadi ronggeng pun jatuh cinta kepadanya. Ia kemudian diperisteri Ki Ageng Mangir. Identitas Pembayun yang selama itu dirahasiakan, ia ceritakan kepada suaminya saat Pembayun mengandung usia 7 bulan. Pengakuan Pembayun tersebut sangat mengagetkan Ki Ageng Mangir sebab selama ini Panembahan Senopati yang merupakan Raja Mataram Islam I tersebut berusaha menaklukkannya dalam rangka memperluas wilayah kerajaan. Dengan besar hati dan itikad baik sebagai rasa hormat akhirnya Ki Ageng Mangir mengirim utusan ke Mataram untuk berdamai dengan Panembahan Senopati yang kini menjadi mertuanya. Ki Ageng Mangir dan Pembayun pun dipanggil menghadap ke Mataram untuk bertemu muka. Dengan para pengawal pilihan akhirnya berangkatlah rombongan Ki Ageng Mangir menuju Mataram. Kemeriahan menghiasi ibukota Mataram menyambut kedatangan rombongan anak dan menantu Sang Raja. Pertemuan tersebut penuh khidmat dan penghormatan yang tinggi pun diberikan oleh Panembahan Senopati. Dikisahkan pada saat Ki Ageng Mangir dan Pembayun akan memasuki pendopo, Ki Juru Mertani yang merupakan Penasehat Raja memerintahkan Ki Ageng Mangir untuk tidak membawa senjatanya berupa tombak “Baru Upas” jika ia akan sungkem kepada mertuanya. Tombak pun diserahkan kepada pengawalnya yang bersiaga di halaman pendopo. * Pembunuhan Berencana * Peristiwa selanjutnya sangat diluar dugaan. Begitu Ki Ageng Mangir beserta Pembayun hendak sungkem kepada Panembahan Senopati, tiba – tiba terdengar teriakan yang selanjutnya dengan cepat dan keras kepala Ki Ageng Mangir dibenturkan pada batu tempat duduk yang ada didepannya. Pecahlah kepala Ki Ageng Mangir, ia meninggal seketika. Pembayun pingsan setelah peristiwa tersebut. Beberapa pengawal Ki Ageng Mangir yang berada di halaman pendopo segera diringkus dengan mudah oleh pasukan Mataram. * Ada dua versi berbeda mengenai kematian Ki Ageng Mangir tersebut. - Versi 1: Panembahan Senopati lah yang membenturkan kepala Ki Ageng Mangir hingga pecah dan meninggal. Siasat ini disusun oleh Ki Juru Mertani dengan sepengetahuan Panembahan Senopati. - Versi 2: Ki Ageng Mangir dibenturkan kepalanya oleh Raden Rangga (kakak Pembayun), anak pertama Panembahan Senopati. Siasat ini disusun oleh Ki Juru Mertani bersama Raden Rangga, tanpa sepengetahuan Panembahan Senopati dikarenakan kekhawatiran Ki Juru Mertani terhadap Ki Ageng Mangir bahwa ketundukannya tidak tulus meskipun telah menjadi menantu. Ditakutkan ia akan menyerang tiba – tiba Panembahan Senopati. Setelah kematian Ki Ageng Mangir, Panembahan Senopati pun murka. Secara diam – diam ia menyuruh orang kepercayaannya bersama Ki Raganiti (adik Ki Ageng Mangir) untuk membunuh anaknya sendiri di luar istana. Raden Rongga pun tewas tertusuk tombak “Baru Upas”. Istri Ki Ageng Mangir, Pembayun yang saat itu sedang hamil tua tidak lama kemudian melahirkan seorang anak yang diberi nama Madusena. setelah melahirkan, Pembanyun kemudian meninggal. Ia dimakamkan di desa Karangturi Kota Gede, Jogja. Madusena diasuh oleh Ki Gondamakuta. Pada usia 7 tahun, Madusena bersama Ki Gondamakuta mengungsi ke Kademangan Karanglo (kini masuk daerah Karanggayam, Kebumen) karena saat itu ia dicari – cari oleh pihak keraton untuk dibunuh dengan alasan kelak dikemudian hari bisa menuntut balas atas kematian ayahnya. Hingga wafatnya Panembahan Senopati, keberadaan Madusena tidak diketahui oleh keraton. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrawati Ia tidak dicari lagi. * Pernikahan Madusena * Madusena menikah dengan Dewi Madjadji. Pada tahun 1603 mereka dikaruniai anak pertama dan diberi nama Bagus Badranala. Bagus Badranala inilah yang kelak menjadi tokoh besar Kadipaten Panjer diberi gelar "Ki Gede Panjer Roma I" oleh sultan agung . * Abror Subhi dari berbagai sumber Sejarah Ki Badranala dan berdirinya Kadipaten Panjer (Kebumen) bisa dilihay di postingan saya: facebook.com/100001856336410/posts/28409901535321678/

 Ki Madusena, Cucu Panembahan Senopati Yang Diungsikan Ke Kebumen

Makam Ki Madusena berada di Alian, Kebumen. Ki Madusena adalah putra dari Ki Ageng Mangir IV/Ki Ageng Wikerta dengan putri Panembahan Senopati yang bernama Raden Ayu Pembayun (ada yang berkeyakinan ayah dari Ki Madusena adalah Ki Ageng Mangir III). Pernikahan mereka diawali dengan menyamarnya Pembayun menjadi salah satu ronggeng di wilayah kekuasaan Ki Ageng Mangir atas perintah ayahanya. Tujuannya adalah untuk memikat Ki Ageng Mangir sehingga ia dapat ditaklukkan Mataram.



Strategi tersebut ternyata berhasil, bahkan tidak hanya Ki Ageng Mangir saja, Pembayun yang saat itu menjadi ronggeng pun jatuh cinta kepadanya. Ia kemudian diperisteri Ki Ageng Mangir. Identitas Pembayun yang selama itu dirahasiakan, ia ceritakan kepada suaminya saat Pembayun mengandung usia 7 bulan.


Pengakuan Pembayun tersebut sangat mengagetkan Ki Ageng Mangir sebab selama ini Panembahan Senopati yang merupakan Raja Mataram Islam I tersebut berusaha menaklukkannya dalam rangka memperluas wilayah kerajaan. Dengan besar hati dan itikad baik sebagai rasa hormat akhirnya Ki Ageng Mangir mengirim utusan ke Mataram untuk berdamai dengan Panembahan Senopati yang kini menjadi mertuanya. Ki Ageng Mangir dan Pembayun pun dipanggil menghadap ke Mataram untuk bertemu muka. Dengan para pengawal pilihan akhirnya berangkatlah rombongan Ki Ageng Mangir menuju Mataram.


Kemeriahan menghiasi ibukota Mataram menyambut kedatangan rombongan anak dan menantu Sang Raja. Pertemuan tersebut penuh khidmat dan penghormatan yang tinggi pun diberikan oleh Panembahan Senopati. Dikisahkan pada saat Ki Ageng Mangir dan Pembayun akan memasuki pendopo, Ki Juru Mertani yang merupakan Penasehat Raja memerintahkan Ki Ageng Mangir untuk tidak membawa senjatanya berupa tombak “Baru Upas” jika ia akan sungkem kepada mertuanya. Tombak pun diserahkan kepada pengawalnya yang bersiaga di halaman pendopo.


* Pembunuhan Berencana *

Peristiwa selanjutnya sangat diluar dugaan. Begitu Ki Ageng Mangir beserta Pembayun hendak sungkem kepada Panembahan Senopati, tiba – tiba terdengar teriakan yang selanjutnya dengan cepat dan keras kepala Ki Ageng Mangir dibenturkan pada batu tempat duduk yang ada didepannya. Pecahlah kepala Ki Ageng Mangir, ia meninggal seketika. Pembayun pingsan setelah peristiwa tersebut. Beberapa pengawal Ki Ageng Mangir yang berada di halaman pendopo segera diringkus dengan mudah oleh pasukan Mataram.


* Ada dua versi berbeda mengenai kematian Ki Ageng Mangir tersebut.


- Versi 1:

Panembahan Senopati lah yang membenturkan kepala Ki Ageng Mangir hingga pecah dan meninggal. Siasat ini disusun oleh Ki Juru Mertani dengan sepengetahuan Panembahan Senopati.


- Versi 2:

Ki Ageng Mangir dibenturkan kepalanya oleh Raden Rangga (kakak Pembayun), anak pertama Panembahan Senopati. Siasat ini disusun oleh Ki Juru Mertani bersama Raden Rangga, tanpa sepengetahuan Panembahan Senopati dikarenakan kekhawatiran Ki Juru Mertani terhadap Ki Ageng Mangir bahwa ketundukannya tidak tulus meskipun telah menjadi menantu. Ditakutkan ia akan menyerang tiba – tiba Panembahan Senopati. Setelah kematian Ki Ageng Mangir, Panembahan Senopati pun murka. Secara diam – diam ia menyuruh orang kepercayaannya bersama Ki Raganiti (adik Ki Ageng Mangir) untuk membunuh anaknya sendiri di luar istana. Raden Rongga pun tewas tertusuk tombak “Baru Upas”.


Istri Ki Ageng Mangir, Pembayun yang saat itu sedang hamil tua tidak lama kemudian melahirkan seorang anak yang diberi nama Madusena. setelah melahirkan, Pembanyun kemudian meninggal. Ia dimakamkan di desa Karangturi Kota Gede, Jogja. Madusena diasuh oleh Ki Gondamakuta. Pada usia 7 tahun, Madusena bersama Ki Gondamakuta mengungsi ke Kademangan Karanglo (kini masuk daerah Karanggayam, Kebumen) karena saat itu ia dicari – cari oleh pihak keraton untuk dibunuh dengan alasan kelak dikemudian hari bisa menuntut balas atas kematian ayahnya. Hingga wafatnya Panembahan Senopati, keberadaan Madusena tidak diketahui oleh keraton. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrawati  Ia tidak dicari lagi.


* Pernikahan Madusena *

Madusena menikah dengan Dewi Madjadji. Pada tahun 1603 mereka dikaruniai anak pertama dan diberi nama Bagus Badranala. Bagus Badranala inilah yang kelak menjadi tokoh besar Kadipaten Panjer diberi gelar "Ki Gede Panjer Roma I" oleh sultan agung

.

* Abror Subhi

dari berbagai sumber


Sejarah Ki Badranala dan berdirinya Kadipaten Panjer (Kebumen) bisa dilihay di postingan saya:

facebook.com/100001856336410/posts/28409901535321678/

18 November 2025

Paugeran mengenai syarat seorang anak raja yg berhak & layak menjadi raja berikut berdasarkan aturan adat Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat a.l. sbb : 1. Calon pewaris tahta yg akan menjadi raja selanjutnya harus beragama Islam & berkelami laki-laki. 2. Sabda raja mengenai suksesi tahta harus disampaikan dlm keadaan raja sehat & tidak memiliki cacat fisik yg menyebabkan tidak dapat berbicara. Karena itu, pengangkatan putra mahkota dlm kondisi demikian dianggap tidak sah. 3. Penetapan Putra Mahkota harus melalui musyawarah keluarga besar trah keturunan dari Pakubuwono I hingga Pakubuwono yg terakhir bertahta (XIII). Dan seorang raja tidak dapat mengangkat dirinya sendiri. 4. Ibu calon pewaris tahta harus minimal keturunan cucu atau cicit raja sebelumnya agar sah bergelar Gusti Kangjeng Ratu Pakubuwono (permaisuri raja). Pada kasus Ibu Asih Winarni/K.R.Ayu Pradapaningsih adalah tidak sah jika yg bersangkutan diterimakan gelar Gusti Kangjeng Ratu Pakubuwono karena pernah menikah sebelumnya. Berdasarkan paugeran sejak masa Sultan Agung Hanyokrokusumo, gelar tersebut hanya dapat diberikan kepada perempuan yg masih perawan, belum pernah menikah & merupakan sentono darah-dalem (cucu/cicit raja). Perempuan yg pernah menikah hanya dapat menerima gelar Gusti Kangjeng Ratu tanpa embel2 Pakubuwono, jika ia keturunan cucu/cicit raja. Jika bukan keturunan cucu/cicit, maka hanya dapat bergelar Kangjeng Raden Ayu. 5. Anak/penerus tahta yg lahir sebelum ayahnya bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hangabei dianggap tidak sah sebagai calon raja. 6. Pada saat pengangkatan sebagai Putra Mahkota atau Raja, ibu kandung calon raja harus masih hidup. 7. Selain masih hidup, ibu kandung calon raja juga harus masih berstatus sebagai istri raja & tidak dlm keadaan bercerai maupun telah bercerai. 8.Calon raja selanjutnya adalah anak dari permaisuri raja. 9.Jika raja tidak memiliki permaisuri, pewaris tahta dapat diterimakan kepada anak tertua raja yg lahir dari istri selir & selir tersebut masih hidup. 10. Jika poin 1–9 tidak terpenuhi, maka calon raja berikutnya adalah saudara laki2 raja, baik kakak maupun adiknya, jika sang raja sebelumnya telah wafat. 11. Jika tetap tidak terpenuhi, pewaris dapat berasal dari saudara laki2 raja sebelumnya yg telah wafat & pernah menerima penetapan/verklaring dari Pemerintah Hindia Belanda (pada masanya) atau Pemerintah Republik Indonesia (di jaman now). 12. Jika tidak ada saudara laki2, maka keponakan laki2 dapat menjadi calon raja. 13. Selain itu, keponakan yg pernah menerima penetapan atau verklaring dari Pemerintah Hindia Belanda (pada masanya) atau Pemerintah Republik Indonesia (di jaman now) juga dapat menjadi calon raja. Sumber: Paoegerandalem Bhayangkari Nata, dlm Dagboek Panjenengandalem Kolonel Bandoro Kangjeng Pangeran Haryo Poerbodiningrat (Raden Mas Koesen) bin Pakubuwono IX.

 Paugeran mengenai syarat seorang anak raja yg berhak & layak menjadi raja berikut berdasarkan aturan adat Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat a.l. sbb :



1. Calon pewaris tahta yg akan menjadi raja selanjutnya harus beragama Islam & berkelami laki-laki.


2. Sabda raja mengenai suksesi tahta harus disampaikan dlm keadaan raja sehat & tidak memiliki cacat fisik yg menyebabkan tidak dapat berbicara. Karena itu, pengangkatan putra mahkota dlm kondisi demikian dianggap tidak sah.


3. Penetapan Putra Mahkota harus melalui musyawarah keluarga besar trah keturunan dari Pakubuwono I hingga Pakubuwono yg terakhir bertahta (XIII). Dan seorang raja tidak dapat mengangkat dirinya sendiri.


4. Ibu calon pewaris tahta harus minimal keturunan cucu atau cicit raja sebelumnya agar sah bergelar Gusti Kangjeng Ratu Pakubuwono (permaisuri raja).


Pada kasus Ibu Asih Winarni/K.R.Ayu Pradapaningsih adalah tidak sah jika yg bersangkutan diterimakan gelar Gusti Kangjeng Ratu Pakubuwono karena pernah menikah sebelumnya.


Berdasarkan paugeran sejak masa Sultan Agung Hanyokrokusumo, gelar tersebut hanya dapat diberikan kepada perempuan yg masih perawan, belum pernah menikah & merupakan sentono darah-dalem (cucu/cicit raja).


Perempuan yg pernah menikah hanya dapat menerima gelar Gusti Kangjeng Ratu tanpa embel2 Pakubuwono, jika ia keturunan cucu/cicit raja. 

Jika bukan keturunan cucu/cicit, maka hanya dapat bergelar Kangjeng Raden Ayu.


5. Anak/penerus tahta yg lahir sebelum ayahnya bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hangabei dianggap tidak sah sebagai calon raja.


6. Pada saat pengangkatan sebagai Putra Mahkota atau Raja, ibu kandung calon raja harus masih hidup.


7. Selain masih hidup, ibu kandung calon raja juga harus masih berstatus sebagai istri raja & tidak dlm keadaan bercerai maupun telah bercerai.


8.Calon raja selanjutnya adalah anak dari permaisuri raja.


9.Jika raja tidak memiliki permaisuri, pewaris tahta dapat diterimakan kepada anak tertua raja  yg lahir dari istri selir & selir tersebut masih hidup.


10. Jika poin 1–9 tidak terpenuhi, maka calon raja berikutnya adalah saudara laki2 raja, baik kakak maupun adiknya, jika sang raja sebelumnya telah wafat.


11. Jika tetap tidak terpenuhi, pewaris dapat berasal dari saudara laki2 raja sebelumnya yg telah wafat & pernah menerima penetapan/verklaring dari Pemerintah Hindia Belanda (pada masanya) atau Pemerintah Republik Indonesia (di jaman now).


12. Jika tidak ada saudara laki2, maka keponakan laki2 dapat menjadi calon raja.


13. Selain itu, keponakan yg pernah menerima penetapan atau verklaring dari Pemerintah Hindia Belanda (pada masanya) atau Pemerintah Republik Indonesia (di jaman now) juga dapat menjadi calon raja.


Sumber:

Paoegerandalem Bhayangkari Nata, dlm Dagboek Panjenengandalem Kolonel Bandoro Kangjeng Pangeran Haryo Poerbodiningrat (Raden Mas Koesen) bin Pakubuwono IX.

17 November 2025

Perang Saudara Dua Putra Raja Airlangga Setelah Kerajaan Dibagi Dua Perang saudara membuat dua kerajaan yang awalnya didirikan Raja Airlangga, Jenggala dan Panjalu terpecah. Padahal awalnya di kerajaan itu dibentuk untuk diwariskan ke sang anak. Akhir November 1042, Raja Airlangga membagi wilayah kerajaan Kahuripan menjadi dua, yakni Panjalu dan Jenggala. Wilayah Panjalu berpusat di ibu kota baru, yaitu Daha. Wilayah Jenggala berpusat di ibu kota lama, Kahuripan. Airlangga membagi kerajaan untuk kedua putranya. Kerajaan Panjalu dipimpin oleh Sri Samarawijaya, sementara Kerajaan Jenggala dipimpin Mapanji Garasakan. Perang saudara pecah setelah pembelahan kerajaan Kahuripan oleh Airlangga. Persaingan kedua putranya tidak berakhir setelah masing-masing menjadi raja. Mereka justru saling serang. Pada 1044, Raja Jenggala (Mapanji Garasakan) mengesahkan Desa Turun Hyang sebagai daerah perdikan (bebas pajak). Pengasahan desa perdikan itu sebagai penghargaan kepada penduduk desa yang setia membantu Jenggala melawan Kerajaan Panjalu. Selanjutnya, pada 1052, Garasakan memberikan anugerah kepada Desa Malenga karena masyarakatnya membantu Jenggala dalam pertempuran melawan Raja Tanjung, yang merupakan anak buah Kerajaan Panjalu. Perang saudara antara Raja Jenggala dengan Raja Panjalu mengakibatkan konflik berkepanjangan antara dua kerajaan. Perang ini menunjukkan kerumitan politik dalam upaya mempertahankan dan merebut kekuasaan setelah pembelahan kerajaan. Pembelahan yang dilakukan oleh Raja Airlangga tidak mengakhiri persaingan antara kedua putranya yang sudah ada sejak masa kejayaan Kerajaan Kahuripan. Perang saudara antara Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Panjalu jadi babak penting dalam sejarah Jawa kuno. Peristiwa ini mencerminkan perpecahan politik dan perubahan kepemimpinan setelah pembelahan wilayah oleh Raja Airlangga pada 1042. Prasasti Banjaran (1052) mengisahkan tentang putra mahkota Jenggala bernama Alanjung Ahyes yang melarikan diri ke hutan Marsma, karena ibu kota Jenggala, yaitu Kahuripan diserang musuh. Alanjung Ahyes berhasil merebut kembali takhta Jenggala berkat bantuan para pemuka Desa Banjaran. Raja Garasakan diperkirakan tewas tahun 1052 karena serangan musuh. Adapun musuh Jenggala yang paling kuat saat itu adalah Kerajaan Panjalu/Kadiri. Namun tidak diketahui pasti apakah raja Kadiri saat itu masih Sri Samarawijaya atau bukan. Kerajaan Panjalu yang juga dikenal sebagai Kerajaan Kadiri di bawah pemerintahan Samarawijaya di Kadiri dikenal sebagai masa kegelapan. Pasalnya sang raja tidak meninggalkan bukti prasasti. Samarawijaya naik takhta tahun 1042, atau setelah Airlangga turun takhta menjadi pendeta (berdasarkan berita dari prasasti Pamwatan dan prasasti Gandhakuti). Sejak tahun 1044, antara penguasa kerajaan Janggala dan Panjalu terjadi ketegangan yang mengakibatkan peperangan. Ketegangan antara Janggala dan Panjalu berlarut-larut, dan berakhir pada tahun 1135 dengan hancurnya kerajaan Janggala oleh Raja Panjalu Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya. Kemenangan Panjalu terhadap Janggala terdokumentasi pada Prasasti Hantang, yang memuat ucapan Panjalu Jayati, yang artinya Panjalu yang menang. * Abror Subhi Dari berbagai sumber

 Perang Saudara Dua Putra Raja Airlangga Setelah Kerajaan Dibagi Dua

Perang saudara membuat dua kerajaan yang awalnya didirikan Raja Airlangga, Jenggala dan Panjalu terpecah. Padahal awalnya di kerajaan itu dibentuk untuk diwariskan ke sang anak.

Akhir November 1042, Raja Airlangga membagi wilayah kerajaan Kahuripan menjadi dua, yakni Panjalu dan Jenggala. Wilayah Panjalu berpusat di ibu kota baru, yaitu Daha. Wilayah Jenggala berpusat di ibu kota lama, Kahuripan.



Airlangga membagi kerajaan untuk kedua putranya. Kerajaan Panjalu dipimpin oleh Sri Samarawijaya, sementara Kerajaan Jenggala dipimpin Mapanji Garasakan.


Perang saudara pecah setelah pembelahan kerajaan Kahuripan oleh Airlangga. Persaingan kedua putranya tidak berakhir setelah masing-masing menjadi raja. Mereka justru saling serang. 


Pada 1044, Raja Jenggala (Mapanji Garasakan) mengesahkan Desa Turun Hyang sebagai daerah perdikan (bebas pajak). Pengasahan desa perdikan itu sebagai penghargaan kepada penduduk desa yang setia membantu Jenggala melawan Kerajaan Panjalu.


Selanjutnya, pada 1052, Garasakan memberikan anugerah kepada Desa Malenga karena masyarakatnya membantu Jenggala dalam pertempuran melawan Raja Tanjung, yang merupakan anak buah Kerajaan Panjalu.


Perang saudara antara Raja Jenggala dengan Raja Panjalu mengakibatkan konflik berkepanjangan antara dua kerajaan. Perang ini menunjukkan kerumitan politik dalam upaya mempertahankan dan merebut kekuasaan setelah pembelahan kerajaan.


Pembelahan yang dilakukan oleh Raja Airlangga tidak mengakhiri persaingan antara kedua putranya yang sudah ada sejak masa kejayaan Kerajaan Kahuripan.


Perang saudara antara Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Panjalu jadi babak penting dalam sejarah Jawa kuno. Peristiwa ini mencerminkan perpecahan politik dan perubahan kepemimpinan setelah pembelahan wilayah oleh Raja Airlangga pada 1042.


Prasasti Banjaran (1052) mengisahkan tentang putra mahkota Jenggala bernama Alanjung Ahyes yang melarikan diri ke hutan Marsma, karena ibu kota Jenggala, yaitu Kahuripan diserang musuh. Alanjung Ahyes berhasil merebut kembali takhta Jenggala berkat bantuan para pemuka Desa Banjaran.


Raja Garasakan diperkirakan tewas tahun 1052 karena serangan musuh. Adapun musuh Jenggala yang paling kuat saat itu adalah Kerajaan Panjalu/Kadiri. Namun tidak diketahui pasti apakah raja Kadiri saat itu masih Sri Samarawijaya atau bukan.


Kerajaan Panjalu yang juga dikenal sebagai Kerajaan Kadiri di bawah pemerintahan Samarawijaya di Kadiri dikenal sebagai masa kegelapan. Pasalnya sang raja tidak meninggalkan bukti prasasti.


Samarawijaya naik takhta tahun 1042, atau setelah Airlangga turun takhta menjadi pendeta (berdasarkan berita dari prasasti Pamwatan dan prasasti Gandhakuti).


Sejak tahun 1044, antara penguasa kerajaan Janggala dan Panjalu terjadi ketegangan yang mengakibatkan peperangan.


Ketegangan antara Janggala dan Panjalu berlarut-larut, dan berakhir pada tahun 1135 dengan hancurnya kerajaan Janggala oleh Raja Panjalu Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya.


Kemenangan Panjalu terhadap Janggala terdokumentasi pada Prasasti Hantang, yang memuat ucapan Panjalu Jayati, yang artinya Panjalu yang menang.


* Abror Subhi

Dari berbagai sumber

Magelang - Koleksi foto museum tropen, amsterdam, Belanda dengan judul : bagian rel kereta api jalur kereta api Magelang - Willem I pada penanda kilometer 75 (600) sekitar tahun 1900-1905. kalau di lihat posisi perbukitan di sebelah kanan, berarti kereta api sedang mendaki menuju Ambarawa yang posisi jalur rel ini terletak di sebelah barat gunung Merbabu. Menurut yang di turut turut Jalur kereta api Ambarawa-Yogyakarta dibangun oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) (perusahaan kereta api swasta Hindia Belanda). Pembangunan jalur ini merupakan syarat bagi NISM untuk mendapatkan izin membangun jalur utama Semarang-Solo-Yogyakarta, dan juga dibangun untuk keperluan militer agar memudahkan mobilisasi pasukan ke Ambarawa, Magelang, dan Purworejo. #foto #keretaapi #magelang #tempodulu #literasi #infomenarik

 Magelang - Koleksi foto museum tropen, amsterdam, Belanda dengan judul : bagian rel kereta api jalur kereta api Magelang - Willem I pada penanda kilometer 75 (600) sekitar tahun 1900-1905. kalau di lihat posisi perbukitan di sebelah kanan, berarti kereta api sedang mendaki menuju Ambarawa yang posisi jalur rel ini terletak di sebelah barat gunung Merbabu.



Menurut yang di turut turut Jalur kereta api Ambarawa-Yogyakarta dibangun oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) (perusahaan kereta api swasta Hindia Belanda). Pembangunan jalur ini merupakan syarat bagi NISM untuk mendapatkan izin membangun jalur utama Semarang-Solo-Yogyakarta, dan juga dibangun untuk keperluan militer agar memudahkan mobilisasi pasukan ke Ambarawa, Magelang, dan Purworejo. 


Sumber : Wukir Mahendra

#foto #keretaapi #magelang #tempodulu #literasi #infomenarik

16 November 2025

"Rebutan takhta di Mataram bukan hal baru. Sejak wafatnya Amangkurat I, dua putranya Pangeran Puger dan Raden Mas Rahmat sama-sama mengangkat diri menjadi raja. Pangeran Puger, sang mantan putra mahkota, bertahan habis-habisan di Plered di tengah dahsyatnya pemberontakan Trunojoyo. Ketika keraton runtuh, ia memproklamirkan diri sebagai Sunan Ngalaga. Di sisi lain, dalam pelarian menuju barat, Amangkurat I menunjuk Raden Mas Rahmat sebagai penerus bergelar Amangkurat II. Dua saudara, dua garis ibu, dua klaim kekuasaan yang akhirnya memicu perang saudara dan memecah tubuh Mataram Islam. Amangkurat II kemudian mendirikan Keraton Kartasura pada 1680, menata kembali kerajaan yang porak-poranda. Dan pada akhirnya, Sunan Ngalaga menyerah dan mengakui Amangkurat II sebagai raja sah Mataram. Sejarah Mataram selalu mengingat: takhta pernah diperebutkan oleh darah yang sama, namun takdir memilih hanya satu yang bertahta. #mataram #amangkurat #pakubuwono

 "Rebutan takhta di Mataram bukan hal baru.

Sejak wafatnya Amangkurat I, dua putranya

Pangeran Puger dan Raden Mas Rahmat

sama-sama mengangkat diri menjadi raja.



Pangeran Puger, sang mantan putra mahkota, bertahan habis-habisan di Plered di tengah dahsyatnya pemberontakan Trunojoyo. 

Ketika keraton runtuh, ia memproklamirkan diri sebagai Sunan Ngalaga.


Di sisi lain, dalam pelarian menuju barat, Amangkurat I menunjuk Raden Mas Rahmat sebagai penerus bergelar Amangkurat II. 

Dua saudara, dua garis ibu, dua klaim kekuasaan yang akhirnya memicu perang saudara dan memecah tubuh Mataram Islam.


Amangkurat II kemudian mendirikan Keraton Kartasura pada 1680, menata kembali kerajaan yang porak-poranda.

Dan pada akhirnya, Sunan Ngalaga menyerah dan mengakui Amangkurat II sebagai raja sah Mataram.


Sejarah Mataram selalu mengingat: takhta pernah diperebutkan oleh darah yang sama, namun takdir memilih hanya satu yang bertahta.


#mataram #amangkurat #pakubuwono

15 November 2025

Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta adalah dua tokoh penting kemerdekaan Indonesia yang dikenal sebagai "Bapak Proklamator" karena memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Keduanya menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia dan dikenal sebagai "Dwitunggal" bangsa Indonesia karena peran sentral mereka dalam perjuangan kemerdekaan melalui diplomasi dan pemikiran kritis. Proklamasi Kemerdekaan: Soekarno dan Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Presiden dan Wakil Presiden Pertama Indonesia Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden pertama Republik Indonesia. Keduanya dianugerahi gelar "Pahlawan Proklamator" dan juga "Pahlawan Nasional" pada tahun 2012 atas jasa-jasa mereka yang luar biasa. #sejarah #pahlawan #pahlawannasional #indonesia #jasmerah #soekarnohatta

 Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta adalah dua tokoh penting kemerdekaan Indonesia yang dikenal sebagai "Bapak Proklamator" karena memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Keduanya menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia dan dikenal sebagai "Dwitunggal" bangsa Indonesia karena peran sentral mereka dalam perjuangan kemerdekaan melalui diplomasi dan pemikiran kritis.  



Proklamasi Kemerdekaan:

Soekarno dan Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. 


Presiden dan Wakil Presiden Pertama Indonesia

Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden pertama Republik Indonesia. 


Keduanya dianugerahi gelar "Pahlawan Proklamator" dan juga "Pahlawan Nasional" pada tahun 2012 atas jasa-jasa mereka yang luar biasa.

#sejarah #pahlawan #pahlawannasional #indonesia #jasmerah #soekarnohatta

Foto studio hasil bidikan fotografer pribumi asal Yogyakarta, Kassian Cephas sekitar tahun 1900. Sebuah foto yang menampilkan seorang wanita Jawa yang membawa slendang jarik gendong yang biasa dipakai untuk membawa barang. Source : KITLV

 Foto studio hasil bidikan fotografer pribumi asal Yogyakarta, Kassian Cephas sekitar tahun 1900.

Sebuah foto yang menampilkan seorang wanita Jawa yang membawa slendang jarik gendong yang biasa dipakai untuk membawa barang.



Source : KITLV

Pada 17 Juni 1920, di pendopo Kauman, Haji Mochtar diberi amanat untuk merintis HB Taman Pustaka Muhammadiyah, mencakup penerbitan majalah, buku-buku, dan pendirian bibliotheek. Foto sidang tahun 1922 ini menangkap momen krusial di mana anggota sidang berkolaborasi dalam perencanaan strategis untuk melanjutkan visi KH Ahmad Dahlan. Taman Pustaka, sebagai bahagian utama Muhammadiyah, berperan sebagai ujung tombak dalam publikasi ide-ide pembaruan. Sidang ini mencerminkan semangat dan tekad para pendiri dalam memajukan pendidikan dan pemikiran kritis di masyarakat. sumber : https://sejarahmu.umy.ac.id/sidang-hb-taman-pustaka-tahun-1922/

 Pada 17 Juni 1920, di pendopo Kauman, Haji Mochtar diberi amanat untuk merintis HB Taman Pustaka Muhammadiyah, mencakup penerbitan majalah, buku-buku, dan pendirian bibliotheek. Foto sidang tahun 1922 ini menangkap momen krusial di mana anggota sidang berkolaborasi dalam perencanaan strategis untuk melanjutkan visi KH Ahmad Dahlan. Taman Pustaka, sebagai bahagian utama Muhammadiyah, berperan sebagai ujung tombak dalam publikasi ide-ide pembaruan. Sidang ini mencerminkan semangat dan tekad para pendiri dalam memajukan pendidikan dan pemikiran kritis di masyarakat.



sumber :

https://sejarahmu.umy.ac.id/sidang-hb-taman-pustaka-tahun-1922/

Sejarah Jalan Raya Purworejo Ruas jalan raya Purworejo -Salaman kembali memakan korban, dalam setahun telah terjadi dua kali kecelakaan maut di wilayah tersebut. Kecelakaan lalu lintas tragis terjadi di Desa Kalijambe, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pada Selasa (11/11/2025) pagi. Kecelakaan serupa perah terjadi pada Rabu 7 Mei 2025 dengan 11 korban MD dan 6 orang luka luka, seminggu Selasa 13 mei 2025 , ada kecelakan tunggal di tempat yang sama satu unit truk pengangkut semen terguling. Ruas jalan tersebut telah menjadi jalur tengkorak yang terkenal dengan kecelakaan mautnya sejak jaman dahulu. Jalan ini menjadi jalan yang menjadi tanggung jawab dari Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Tengah. Menjadi salah satu jalur sibuk yang menghubungkan arus barang dan jasa di wilayah Jawa Tengah. Lalu bagaimana sejarah pembangunan jalan raya tersebut ? Sistem tanam paksa yang dikenalkan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch pada tahun 1830 menjadikan kebutuhan jalan untuk mengangkut hasil bumi meningkat. Residen Bagelen Schmid sejak tahun 1842 telah mengusulkan pembangunan jalan Salaman Purworejo, untuk mengangkut hasil tanam paksa ke pelabuhan Semarang. Rencana itu kemudian dimatangkan dan Reinier de Filliettaz Bousquert (1843 1845) sebagai rencana kerja pada tahun 1845. Pemerintah menerima usul tersebut dan dilaksanakan antara tahuun 1848-1850 . Pembangunan jalan tersebut dimaksudkan untuk menggantikan ruas jalan yang melintasi Pegunungan Menoreh yang melintasi Tumbak Anyar Banyuasin Cacaban Puncak Menoreh Menoreh Salaman yang cukup curam di tanjakan di Dengkeng Cacaban Purworejo. Dalam pembangunan jalan tersebut disesuaikan dengan kepentingan petani yaitu waktu ketika petani tidak sibuk bekerja di sawah. Pemerintah tidak memberikan imbalan makan dan upah , karena menganggap pekerjaan itu bagian dari kerja wajib yang sudah menjadi tradisi dijalankan oleh masyarkat. Dalam pembangunan tersebut terdapat perbedaan pandangan mengenai tenaga kerja, Reside Kedu Reinier de Filliettaz Bousquert (1843 1845) menganggap pembangunan jalan akan menambah beban bagi rakyat Kedu karena sudah banyak proyek yang harus dikerjakan sedangkan Residen Purworejo menganggap pembangunan tersebut penting untuk mobilitas komoditas dan kepentingan rakyat kedua daerah. Karena tidak disediakan uang makan untuk para pekerja, maka Residen Kedu minta kompromi untuk dilaksanakan slametan setiap memulai dan mengakhiri pekerjaan. Oleh pemerintah government kemudian dipilih dengan sistem kerja wajib. Kerja wajib secara tradisional sudah dilaksanakan sebagai bentuk pengabdian dari kawula pada gustinya yaitu susuhunan. Kerja wajib kemudian diadopsi oleh kolonial Belanda meliputi berbagai bentuk seperti Heerendiensten (kerja paksa untuk pemerintah kolonial) untuk proyek infrastruktur, Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) di bidang pertanian, dan kerja di perkebunan. Kerja wajib tersebut tidak terkait dengan hukuman, tetapi ditetapkan dalam batas-batas waktu tertentu untuk bekerja demi kepentingan para penguasa. Mulai tahun 1830-1831 bupati bupati di Jawa diberi hak berkuasa turun temurun, diberi ha katas tanah dan orang untuk melayaninya, tanda tanda kebesaran keprajuritan dan antribut kebesaran sebagai seorang ningrat Jawa. Termasuk didalamnya adalah untuk meminta dengan sukarela kepada rakyat tenaga kerja. Bagi pemerintah colonial bupati bupati adalah pemiliki rakyat atau cacahnya tersebut. Pembangunan jalan tersebut memakan waktu 3 tahun , setiap petani mendapat jatah bekerja selama 14 hari kerja. Dalam sehari dikerahkan 200 orang , selama 5 jam kerja seperti perbaikan rutin. Sekitar 8000 petani di Distrik Menoreh terlibat , sedangkan dari Distrik Loano Purworejo belum ada data yang dilampirkan. Pekerjaan tersebut tergolong berat karena untuk membangun jalan selebar 6 meter dan 6 meter untuk bahu jalan yang ditanami pohon asam dan kenari, karena harus menimbun sawah, menebang pohon, memberi fondasi batu dan kerikil. Mengangkut batuan kerikil dari sungai sungai sekitar seperti Kali Bogowonto, Kedung Agung , dan Kali Tangsi untu memperkuat pondasi. Pembuatan tanggalu penahan dilereng bukit dan jurang. Medan pembuatan jalan berada di perbukitan yang tanjakan dan turunan curam. Selama 3 tahun pekerjaan biaya pembuatan jalan tersebut memakan f. 28.259,30 seperti yang laporkan oleh Bupati Magelang RAA Danuningrat II kepada Residen Kedua De Bousquet tanggal 17 Pebruari 1845 dan pertimbangan dari direktur pertanian tanggal 13 Juni 1845. Dengan demikian maka pembangunan jalan raya Purworejo Salaman tersebut di laksanakan pada masa pemerintahan RAA Danoeningrat II ( 1826-1862) pada masa Karesidenan Kedu di jabat oleh Residen R. de F. Bouquet ( 1843-1845), Frederik Hendrik Doornik( 1845-1846) Dirk Carel August van Hogendorp (1846-1850). Sedangkan di wilayah Purworejo pada masa jabatan Bupati RAA Tjokronagara I ( 1831-1856) Residen Bagelen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt ( 1842-1849). Dengan melibatkan rakyat di Distrik Menoreh Regentschap Magelang dan Distrik Loano regentschap Purworejo. Untuk mengenang pembangunan jalan yang menghubungkan kedua wilayah tersebut kemudian di bangun Tugu peringatan di Dusun Krajan Desa Bener Kec Bener Kab Purworejo pada tahun 1862. Sedangkan di Magelang diabadikan dengan nama Desa Margoyoso Salaman Magelang dengan Kepala Desa pertama Truno Sentiko. Margoyoso memiliki arti margo berarti jalan sedangkan yoso membuat atau membangun. Sumber tulisan : 1. AM Djulianto Suroyo, Eksploitasi Kolonisal XIX Kerja wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890. Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta Th 2000. 2. Robert van Niel Sistem Tanam Paksa di Jawa, LP3ES Jakarta 2003 3. Wikipedia Karesidenan Kedoe , Karesidenan Bagelen 4. Website Desa Margoyoso Salaman 5. Berbagai sumber berita 6. Foto foto dari berbagai sumber dan koleksi di media sosial.

 Sejarah Jalan Raya Purworejo



 Ruas jalan raya Purworejo -Salaman kembali memakan korban, dalam setahun telah terjadi dua kali kecelakaan maut di wilayah tersebut. Kecelakaan lalu lintas tragis terjadi di Desa Kalijambe, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pada Selasa (11/11/2025) pagi. Kecelakaan serupa perah terjadi pada Rabu 7 Mei 2025 dengan 11 korban MD dan 6 orang luka luka, seminggu Selasa 13 mei 2025 , ada kecelakan tunggal di tempat yang sama  satu unit truk pengangkut semen terguling. Ruas jalan tersebut telah menjadi jalur tengkorak yang terkenal dengan kecelakaan mautnya sejak jaman dahulu. 

 Jalan ini menjadi jalan yang menjadi tanggung jawab dari Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Tengah. Menjadi salah satu jalur sibuk yang menghubungkan arus barang dan jasa di wilayah Jawa Tengah.  Lalu bagaimana sejarah pembangunan jalan raya tersebut ?

 Sistem tanam paksa yang dikenalkan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch pada tahun 1830 menjadikan kebutuhan jalan untuk mengangkut hasil bumi meningkat. Residen Bagelen Schmid sejak tahun 1842 telah mengusulkan pembangunan jalan Salaman Purworejo, untuk mengangkut hasil tanam paksa ke pelabuhan Semarang. Rencana itu kemudian dimatangkan  dan Reinier de Filliettaz Bousquert (1843 1845) sebagai rencana kerja pada tahun 1845. Pemerintah menerima usul tersebut dan dilaksanakan antara tahuun 1848-1850 .

 Pembangunan jalan tersebut dimaksudkan untuk menggantikan ruas jalan yang melintasi Pegunungan Menoreh  yang melintasi  Tumbak Anyar Banyuasin  Cacaban  Puncak Menoreh  Menoreh Salaman yang cukup curam di tanjakan di Dengkeng Cacaban Purworejo. Dalam pembangunan jalan tersebut disesuaikan dengan kepentingan petani yaitu waktu ketika petani tidak sibuk bekerja di sawah. Pemerintah tidak memberikan imbalan makan dan upah , karena menganggap pekerjaan itu bagian dari kerja wajib yang sudah menjadi tradisi dijalankan oleh masyarkat. 

 Dalam pembangunan tersebut terdapat perbedaan pandangan mengenai tenaga kerja, Reside Kedu Reinier de Filliettaz Bousquert (1843 1845) menganggap pembangunan jalan akan menambah beban bagi rakyat Kedu karena sudah banyak proyek yang harus dikerjakan sedangkan Residen Purworejo menganggap pembangunan tersebut penting untuk mobilitas komoditas dan kepentingan rakyat kedua daerah. Karena tidak disediakan uang makan untuk para pekerja, maka Residen Kedu minta kompromi untuk dilaksanakan slametan setiap memulai dan mengakhiri pekerjaan. 

 Oleh pemerintah government kemudian dipilih dengan sistem kerja wajib. Kerja wajib secara tradisional sudah dilaksanakan sebagai bentuk pengabdian dari kawula pada gustinya yaitu susuhunan. Kerja wajib kemudian diadopsi oleh  kolonial Belanda meliputi berbagai bentuk seperti Heerendiensten (kerja paksa untuk pemerintah kolonial) untuk proyek infrastruktur,  Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) di bidang pertanian, dan kerja di perkebunan. Kerja wajib tersebut tidak terkait dengan hukuman, tetapi ditetapkan dalam batas-batas waktu tertentu untuk bekerja demi kepentingan para penguasa. 

 Mulai tahun 1830-1831 bupati bupati di Jawa diberi hak berkuasa turun temurun, diberi ha katas tanah dan orang untuk melayaninya, tanda tanda kebesaran keprajuritan dan antribut kebesaran sebagai seorang ningrat Jawa. Termasuk didalamnya adalah untuk meminta dengan sukarela kepada rakyat tenaga kerja. Bagi pemerintah colonial bupati bupati adalah pemiliki rakyat atau cacahnya tersebut. 

 Pembangunan jalan tersebut memakan waktu 3 tahun , setiap petani mendapat jatah bekerja selama 14 hari kerja. Dalam sehari dikerahkan 200 orang , selama 5 jam kerja seperti perbaikan rutin. Sekitar 8000 petani di Distrik Menoreh terlibat , sedangkan dari Distrik  Loano Purworejo belum ada data yang dilampirkan. 

 Pekerjaan tersebut tergolong berat karena untuk membangun jalan selebar 6 meter dan 6 meter untuk bahu jalan yang ditanami pohon asam dan kenari, karena harus menimbun sawah, menebang pohon, memberi fondasi batu dan kerikil. Mengangkut batuan kerikil  dari sungai sungai sekitar seperti Kali Bogowonto, Kedung Agung , dan Kali Tangsi untu memperkuat pondasi. Pembuatan tanggalu penahan dilereng bukit dan jurang. Medan pembuatan jalan berada di perbukitan yang tanjakan dan turunan curam. 

 Selama 3 tahun pekerjaan  biaya pembuatan jalan tersebut memakan f. 28.259,30 seperti yang laporkan oleh Bupati Magelang RAA Danuningrat II kepada Residen Kedua De Bousquet tanggal 17 Pebruari 1845 dan pertimbangan dari direktur pertanian tanggal 13 Juni 1845.  Dengan demikian maka pembangunan jalan raya Purworejo Salaman  tersebut di laksanakan pada masa pemerintahan RAA Danoeningrat II ( 1826-1862) pada masa Karesidenan Kedu di jabat oleh Residen  R. de F. Bouquet ( 1843-1845), Frederik Hendrik Doornik( 1845-1846) Dirk Carel August van Hogendorp (1846-1850). Sedangkan di wilayah Purworejo pada masa jabatan Bupati  RAA Tjokronagara I ( 1831-1856)  Residen Bagelen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt ( 1842-1849). Dengan melibatkan rakyat di Distrik Menoreh Regentschap Magelang dan Distrik Loano regentschap Purworejo. 

 Untuk mengenang pembangunan jalan yang menghubungkan kedua wilayah tersebut kemudian di bangun Tugu peringatan di Dusun Krajan Desa Bener Kec Bener Kab Purworejo pada tahun 1862. Sedangkan di Magelang diabadikan dengan nama Desa Margoyoso  Salaman Magelang dengan Kepala Desa pertama Truno Sentiko. Margoyoso memiliki arti margo berarti jalan sedangkan yoso membuat atau membangun. 

Sumber tulisan :

1. AM Djulianto Suroyo, Eksploitasi Kolonisal XIX  Kerja wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890. Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta Th 2000.

2. Robert van Niel Sistem Tanam Paksa di Jawa,  LP3ES   Jakarta  2003

3. Wikipedia Karesidenan Kedoe , Karesidenan Bagelen

4. Website Desa Margoyoso Salaman 

5. Berbagai sumber berita 

6. Foto foto dari berbagai sumber dan koleksi di media sosial.

14 November 2025

Kesultanan Cirebon: Keraton Kasepuhan yang dibangun pada tahun 1529 semasa pemerintahan Pangeran Emas Zainul Arifin dan masjid kesultanan Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang dibangun oleh Sunan Gunung Jati yang dibantu oleh Sunan Kalijaga....

 Kesultanan Cirebon: Keraton Kasepuhan yang dibangun pada tahun 1529 semasa pemerintahan Pangeran Emas Zainul Arifin  dan masjid kesultanan Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang dibangun oleh Sunan Gunung Jati yang dibantu oleh Sunan Kalijaga.





Sumber : Marsis Sutopo

13 November 2025

Keruntuhan Kerajaan Mataram Kuno: Bencana Merapi, Konflik Politik, Serangan Sriwijaya Kerajaan Mataram Kuno runtuh pada abad ke-11 setelah diguncang letusan Gunung Merapi, konflik perebutan kekuasaan antarwangsa, serta serangan Kerajaan Sriwijaya. Mpu Sindok kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur dan mengubah nama kerajaan menjadi Medang. * Sejarah Singkat Berdirinya Mataram Kuno Kerajaan Mataram Kuno adalah salah satu kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8 Masehi. Berdasarkan catatan sejarah, kerajaan ini diperkirakan berpusat di sekitar wilayah Yogyakarta dan Magelang. Bukti awal keberadaannya ditemukan dalam Prasasti Canggal di Gunung Wukir, Kabupaten Magelang, yang menyebutkan penobatan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya pada tahun 717 Masehi. Sanjaya kemudian dikenal sebagai raja pertama sekaligus pendiri Dinasti Sanjaya yang berhasil menyejahterakan rakyat dan memperluas kekuasaan hingga ke sebagian wilayah Jawa Timur. Dalam perkembangannya, Mataram Kuno tidak hanya diperintah oleh Dinasti Sanjaya, tetapi juga Dinasti Syailendra yang menganut Buddha Mahayana. Pada masa inilah, kerajaan mencapai puncak kejayaan dengan lahirnya bangunan monumental seperti Candi Borobudur. Wilayah Kekuasaan dan Kejayaan Mataram Kuno Kerajaan ini menguasai wilayah yang luas, mencakup Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga sebagian Jawa Timur. Peninggalan berupa candi-candi Hindu dan Buddha, seperti Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Borobudur, menjadi bukti betapa majunya peradaban Mataram Kuno. Namun, kejayaan ini tidak berlangsung selamanya. Pada abad ke-11, perlahan Mataram Kuno mulai melemah akibat faktor internal maupun eksternal. * Penyebab Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno Keruntuhan Mataram Kuno tidak terjadi begitu saja. Ada beberapa faktor utama yang menjadi penyebab hancurnya kerajaan besar ini. 1. Konflik Kekuasaan Antar Dinasti Konflik internal turut melemahkan Mataram Kuno. Persaingan antara Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu Siwa dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha menciptakan ketegangan politik. Salah satu peristiwa besar adalah perselisihan antara Rakai Panangkaran dari Dinasti Sanjaya dengan keluarga Syailendra. Perebutan kekuasaan ini menimbulkan instabilitas pemerintahan, melemahkan kontrol kerajaan, serta membuka celah bagi serangan dari luar. 2. Letusan Gunung Merapi Salah satu faktor yang paling sering disebut adalah letusan Gunung Merapi pada tahun 1080 Masehi. Letusan dahsyat ini merusak pusat pemerintahan dan memaksa Mpu Sindok, untuk memindahkan ibu kota ke Jawa Timur. Tidak hanya itu, bencana ini juga melumpuhkan pertanian, merusak pemukiman, serta melemahkan stabilitas politik dan ekonomi kerajaan. Sejak saat itu, Mataram Kuno tidak lagi berpusat di Jawa Tengah, melainkan di timur. 3. Serangan Kerajaan Sriwijaya Faktor lain yang mempercepat runtuhnya Mataram Kuno adalah serangan dari Kerajaan Sriwijaya, kekuatan maritim besar yang menguasai jalur perdagangan Asia Tenggara. Konflik ini dipicu oleh Balaputradewa, keturunan Syailendra yang kalah bersaing dengan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Setelah menyingkir ke Sriwijaya, Balaputradewa menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang Mataram Kuno. Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Jawa Timur, serangan Sriwijaya semakin mudah dilakukan karena Medang lebih terbuka terhadap pengaruh militer dan perdagangan Sriwijaya. Akibat gabungan faktor bencana alam, konflik politik, dan tekanan militer dari luar, Mataram Kuno resmi runtuh pada akhir abad ke-11. Mpu Sindok sebagai pemimpin terakhir dari dinasti Sanjaya memutuskan untuk mendirikan pemerintahan baru di Jawa Timur. Kerajaan Medang kemudian diperintah oleh Dinasti Isyana, keturunan dari Mpu Sindok, menandai berakhirnya kekuasaan Dinasti Sanjaya di Jawa Tengah. * Abror Subhi Dari berbagai sumber

 Keruntuhan Kerajaan Mataram Kuno: Bencana Merapi, Konflik Politik, Serangan Sriwijaya

Kerajaan Mataram Kuno runtuh pada abad ke-11 setelah diguncang letusan Gunung Merapi, konflik perebutan kekuasaan antarwangsa, serta serangan Kerajaan Sriwijaya.



Mpu Sindok kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur dan mengubah nama kerajaan menjadi Medang.


 * Sejarah Singkat Berdirinya Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno adalah salah satu kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8 Masehi. Berdasarkan catatan sejarah, kerajaan ini diperkirakan berpusat di sekitar wilayah Yogyakarta dan Magelang.


Bukti awal keberadaannya ditemukan dalam Prasasti Canggal di Gunung Wukir, Kabupaten Magelang, yang menyebutkan penobatan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya pada tahun 717 Masehi.


Sanjaya kemudian dikenal sebagai raja pertama sekaligus pendiri Dinasti Sanjaya yang berhasil menyejahterakan rakyat dan memperluas kekuasaan hingga ke sebagian wilayah Jawa Timur.


Dalam perkembangannya, Mataram Kuno tidak hanya diperintah oleh Dinasti Sanjaya, tetapi juga Dinasti Syailendra yang menganut Buddha Mahayana.


Pada masa inilah, kerajaan mencapai puncak kejayaan dengan lahirnya bangunan monumental seperti Candi Borobudur.


Wilayah Kekuasaan dan Kejayaan Mataram Kuno

Kerajaan ini menguasai wilayah yang luas, mencakup Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga sebagian Jawa Timur. Peninggalan berupa candi-candi Hindu dan Buddha, seperti Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Borobudur, menjadi bukti betapa majunya peradaban Mataram Kuno.


Namun, kejayaan ini tidak berlangsung selamanya. Pada abad ke-11, perlahan Mataram Kuno mulai melemah akibat faktor internal maupun eksternal.


* Penyebab Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno


Keruntuhan Mataram Kuno tidak terjadi begitu saja. Ada beberapa faktor utama yang menjadi penyebab hancurnya kerajaan besar ini.


1. Konflik Kekuasaan Antar Dinasti


Konflik internal turut melemahkan Mataram Kuno. Persaingan antara Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu Siwa dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha menciptakan ketegangan politik.


Salah satu peristiwa besar adalah perselisihan antara Rakai Panangkaran dari Dinasti Sanjaya dengan keluarga Syailendra. Perebutan kekuasaan ini menimbulkan instabilitas pemerintahan, melemahkan kontrol kerajaan, serta membuka celah bagi serangan dari luar.


2. Letusan Gunung Merapi


Salah satu faktor yang paling sering disebut adalah letusan Gunung Merapi pada tahun 1080 Masehi. Letusan dahsyat ini merusak pusat pemerintahan dan memaksa Mpu Sindok, untuk memindahkan ibu kota ke Jawa Timur.


Tidak hanya itu, bencana ini juga melumpuhkan pertanian, merusak pemukiman, serta melemahkan stabilitas politik dan ekonomi kerajaan. Sejak saat itu, Mataram Kuno tidak lagi berpusat di Jawa Tengah, melainkan di timur.


3. Serangan Kerajaan Sriwijaya


Faktor lain yang mempercepat runtuhnya Mataram Kuno adalah serangan dari Kerajaan Sriwijaya, kekuatan maritim besar yang menguasai jalur perdagangan Asia Tenggara.


Konflik ini dipicu oleh Balaputradewa, keturunan Syailendra yang kalah bersaing dengan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Setelah menyingkir ke Sriwijaya, Balaputradewa menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang Mataram Kuno.


Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Jawa Timur, serangan Sriwijaya semakin mudah dilakukan karena Medang lebih terbuka terhadap pengaruh militer dan perdagangan Sriwijaya.


Akibat gabungan faktor bencana alam, konflik politik, dan tekanan militer dari luar, Mataram Kuno resmi runtuh pada akhir abad ke-11. Mpu Sindok sebagai pemimpin terakhir dari dinasti Sanjaya memutuskan untuk mendirikan pemerintahan baru di Jawa Timur. Kerajaan Medang kemudian diperintah oleh Dinasti Isyana, keturunan dari Mpu Sindok, menandai berakhirnya kekuasaan Dinasti Sanjaya di Jawa Tengah.


* Abror Subhi

Dari berbagai sumber

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih bertahan di level Rp 16.000-an. Kondisi ini telah terjadi sejak awal tahun. Pada tahun lalu dolar juga sempat menyentuh level Rp 16.000. Akan tetapi kemudian terpangkas ke level Rp 15.000-an pada paruh kedua. Sebagai informasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga sempat menembus level yang sama pada saat krisis moneter 1998 hingga menimbulkan kepanikan pasar. Pada periode awal 1998, posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sempat menembus level Rp 16.800/US$ dari kisaran Rp 2.400/US$. Beriringan dengan terjadinya krisis politik. Krismon pun akhirnya membuat 32 tahun kekuasaan Presiden Soeharto tumbang, dan digantikan oleh B.J Habibie, seorang teknokrat yang sempat mendampinginya menjadi wakil presiden. Pergantian kekuasaan secara mendadak tak serta merta membuat pasar optimis. Sebab, Presiden B.J Habibie, dianggap tak bisa mengatasi masalah ekonomi. Dia bukan ekonom, hanya teknokrat pembuat pesawat yang dianggap kritikus Orde Baru sebagai kebijakan buang-buang uang. Apalagi, saat itu dia juga masih dianggap bagian dari rezim Orde Baru. Bahkan, Presiden Singapura Lee Kuan Yew juga menganggap naiknya Habibie jadi orang nomor satu bisa membuat rupiah makin tak berdaya. Namun, itu semua salah. Habibie faktanya berhasil menaklukan dolar lewat 3 cara ini: 1. Restrukturisasi perbankan Pada masa Orde Baru pendirian bank dipermudah oleh pemerintah berkat kebijakan Paket Oktober 1988. Sayang, kemudahan pendirian bank ini tak dibarengi oleh kemampuan perbankan yang baik. Alhasil, saat terjadi krisis, banyak bank-bank bertumbangan. Nasabah lantas melakukan penarikan dana besar-besaran. Permasalahan ini jadi fokus utama. Habibie melakukan restrukturisasi perbankan seraya berharap Bank Indonesia makin kuat. Salah satu caranya mencabut aturan tersebut dan mempraktikan langsung pada bank pemerintah. Empat bank milik pemerintah digabung menjadi satu bank bernama Bank Mandiri. Selain itu, dia juga memisahkan BI dari pemerintah lewat UU No.23 tahun 1999. Dalam otobiografinya, B.J. Habibie: Detik-detik yang Menentukan (2006), Habibie bilang kebijakan itu jadi langkah terbaik menguatkan rupiah. BI harus independen, objektif, dan bebas dari intervensi politik. 2. Kebijakan moneter ketat Kebijakan moneter Habibie mengatasi krisis melalui penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). SBI diterbitkan dengan bunga tinggi dengan tujuan agar bank-bank kembali dipercaya masyarakat. Jika ini terjadi, maka masyarakat akan kembali menabung, sehingga menurunkan peredaran uang di masyarakat. Pria berdarah Sulawesi itu mengklaim kalau cara ini sukses. Berkat SBI, suku bunga dari 60% turun menjadi belasan persen. Kepercayaan terhadap bank pun kembali meningkat. 3. Pengendalian harga bahan pokok Habibie menganggap kebutuhan bahan pokok jadi hal vital. Alhasil, dia mempertahankan harga listrik dan BBM subsidi agar tidak naik, sehingga harga bahan pokok tetap terjangkau di tengah krisis. Pada sisi lain, kebijakan ini juga menuai kontroversi sebab Habibie mengeluarkan pernyataan nyeleneh. Dalam salah satu pidatonya, dia pernah meminta rakyat berpuasa di kala krisis supaya lebih hemat. "Ketika terjadi masa krisis saat B.J. Habibie diangkat menjadi presiden, ia menganjurkan rakyat melakukan puasa Senin-Kamis," kata A. Makmur Makka saat menulis buku biografi Habibie, Inspirasi Habibie (2020). Pada akhirnya, ketiga cara tersebut sukses membuat kepercayaan pasar terhadap ekonomi Indonesia meningkat. Aliran dana investor kembali masuk, dan yang terpenting rupiah kembali menguat dan terkendali di level Rp6.550/US$ Selengkapnya di cnbcindonesia.com #makassarinfoku #sulselberita

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih bertahan di level Rp 16.000-an. Kondisi ini telah terjadi sejak awal tahun. 

Pada tahun lalu dolar juga sempat menyentuh level Rp 16.000. Akan tetapi kemudian terpangkas ke level Rp 15.000-an pada paruh kedua. 



Sebagai informasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga sempat menembus level yang sama pada saat krisis moneter 1998 hingga menimbulkan kepanikan pasar. 


Pada periode awal 1998, posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sempat menembus level Rp 16.800/US$ dari kisaran Rp 2.400/US$. Beriringan dengan terjadinya krisis politik.


Krismon pun akhirnya membuat 32 tahun kekuasaan Presiden Soeharto tumbang, dan digantikan oleh B.J Habibie, seorang teknokrat yang sempat mendampinginya menjadi wakil presiden.


Pergantian kekuasaan secara mendadak tak serta merta membuat pasar optimis. Sebab, Presiden B.J Habibie, dianggap tak bisa mengatasi masalah ekonomi.


Dia bukan ekonom, hanya teknokrat pembuat pesawat yang dianggap kritikus Orde Baru sebagai kebijakan buang-buang uang.


Apalagi, saat itu dia juga masih dianggap bagian dari rezim Orde Baru. Bahkan, Presiden Singapura Lee Kuan Yew juga menganggap naiknya Habibie jadi orang nomor satu bisa membuat rupiah makin tak berdaya.


Namun, itu semua salah. Habibie faktanya berhasil menaklukan dolar lewat 3 cara ini:


1. Restrukturisasi perbankan


Pada masa Orde Baru pendirian bank dipermudah oleh pemerintah berkat kebijakan Paket Oktober 1988. Sayang, kemudahan pendirian bank ini tak dibarengi oleh kemampuan perbankan yang baik. Alhasil, saat terjadi krisis, banyak bank-bank bertumbangan. Nasabah lantas melakukan penarikan dana besar-besaran.


Permasalahan ini jadi fokus utama. Habibie melakukan restrukturisasi perbankan seraya berharap Bank Indonesia makin kuat. Salah satu caranya mencabut aturan tersebut dan mempraktikan langsung pada bank pemerintah. Empat bank milik pemerintah digabung menjadi satu bank bernama Bank Mandiri.


Selain itu, dia juga memisahkan BI dari pemerintah lewat UU No.23 tahun 1999. Dalam otobiografinya, B.J. Habibie: Detik-detik yang Menentukan (2006), Habibie bilang kebijakan itu jadi langkah terbaik menguatkan rupiah. BI harus independen, objektif, dan bebas dari intervensi politik.


2. Kebijakan moneter ketat


Kebijakan moneter Habibie mengatasi krisis melalui penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). SBI diterbitkan dengan bunga tinggi dengan tujuan agar bank-bank kembali dipercaya masyarakat. Jika ini terjadi, maka masyarakat akan kembali menabung, sehingga menurunkan peredaran uang di masyarakat.


Pria berdarah Sulawesi itu mengklaim kalau cara ini sukses. Berkat SBI, suku bunga dari 60% turun menjadi belasan persen. Kepercayaan terhadap bank pun kembali meningkat.


3. Pengendalian harga bahan pokok


Habibie menganggap kebutuhan bahan pokok jadi hal vital. Alhasil, dia mempertahankan harga listrik dan BBM subsidi agar tidak naik, sehingga harga bahan pokok tetap terjangkau di tengah krisis.


Pada sisi lain, kebijakan ini juga menuai kontroversi sebab Habibie mengeluarkan pernyataan nyeleneh. Dalam salah satu pidatonya, dia pernah meminta rakyat berpuasa di kala krisis supaya lebih hemat.


"Ketika terjadi masa krisis saat B.J. Habibie diangkat menjadi presiden, ia menganjurkan rakyat melakukan puasa Senin-Kamis," kata A. Makmur Makka saat menulis buku biografi Habibie, Inspirasi Habibie (2020).


Pada akhirnya, ketiga cara tersebut sukses membuat kepercayaan pasar terhadap ekonomi Indonesia meningkat. Aliran dana investor kembali masuk, dan yang terpenting rupiah kembali menguat dan terkendali di level Rp6.550/US$


Selengkapnya di cnbcindonesia.com


#makassarinfoku #sulselberita


Sumber : Makasar Info

Sungkar Sekali waktu saya dihubungi oleh seorang teman, yang mempunyai kenalan berfam Sungkar yang dia kenal sewaktu kuliah di Bandung dulu. Teman saya itu juga mempunyai kenalan dari Solo yang bermarga Sungkar juga yang menikah dengan seorang keturunan Arab bersuku Baasir asal Surabaya dan teman saya itu punya teman juga bin Sungkar dari Semarang. Dan temannya teman saya ini adiknya juga binti Sungkar yang menikah dengan keturunan Arab berbangsa Baredwan. Rupanya teman saya itu mempunyai banyak sahabat orang2 keturunan Arab. Padahal dia sendiri orang Indonesia asli, bukan keturunan Arab. Dia bertanya sekali lagi apakah saya masih berkerabat dengan salah satu dari mereka. Waduh saya susah jawabnya, barangkali dia kira semua keturunan Arab itu saling kenal mengenal. Keluarga kami berasal dari Solo. Para Sungkar yang teman saya sebutkan itu, juga ada yang berasal dari Solo. Sungkar dan marga2 Arab lainnya datang dari Yaman Selatan pada abad ke 18. Saya tidak tau apa motivasi mereka bepergian dan meninggalkan Yaman Selatan, padahal dari dongeng kakek2 kami, Yaman Selatan adalah negeri yang paling subur di seantero jazirah Arab. Kenapa pindah ke Indonesia? Jawabnya saya temukan ketika saya berkunjung ke kantor Pusat perusahaan yang saya pernah bekerja, yaitu STC, di Riyadh. Salah seorang Direktur disana menjelaskan bahwa orang2 Yaman Selatan berbeda dengan orang Arab Saudi, karena mereka mempunyai jiwa petualang dan perantau (mirip orang Padang). Kenapa pindahnya abad 18? Karena saat itu transportasi laut sudah mulai modern dan mengangkut manusia kemana saja. Mereka pindah sesuai dengan jalur laut orang Belanda dan Portugis. Dan demikianlah orang2 Yaman Selatan mendarat di Afrika, India, Thailand, Malaysia, Singapura, Aceh, Medan, Palembang, Banjarmasin, Balikpapan, Jakarta, Cirebon, Tegal, Semarang, Surabaya, Madura, Bali, Makassar dan Ambon. Biasanya mereka mengincar kota2 Pelabuhan atau pesisir. Kepindahan kearah pedalaman seperti Bogor, Bandung, Solo dan Malang adalah perkembangan kemudian. Itu bisa terjadi karena seabad kemudian mereka sudah mempunyai finansial yang cukup sehingga bisa membangun industri, seperti pabrik batik di Solo. Ada alasan lain, mereka mencari tempat2 yang dingin di pegunungan untuk ber-senang2 sambil mengawini penduduk setempat. Karena orang Yaman dilarang membawa wanita kalau merantau. Ada sekitar 1000 marga di Yaman Selatan yang berpindah ke Indonesia. Sungkar, Asseghaf dan Alatas adalah tiga yang terbesar. Marga Sungkar terpecah lagi menjadi 9 sub-marga, seperti Al-Urmy, Al-Ghurfy, Awood, Abud, dll. Nama panjang saya misalnya, Syakieb Ahmad Salim bin Mubarroq Sungkar Al-Ghurfy. Itu artinya Syakieb anaknya Ahmad, cucunya Salim, cicitnya Mubarraq dari suku Sungkar yang berasal dari desa Ghurfah di Yaman Selatan. Jadi orang yang berasal dari Yaman itu asal-usulnya bisa dilacak. Dan masih dikenal di Yaman Selatan. Walaupun buyut saya, Mubarroq, tidak pernah kembali pulang ke Yaman Selatan namun mereka masih berhubungan melalui surat menyurat. Contohnya 10 tahun lalu saya masih mendapat warisan dari penjualan tanah di Yaman Selatan. Saya sudah tidak tau lagi itu warisan dari siapa, karena kami tidak pernah bertemu. Dan mereka pun tidak pernah datang ke Indonesia. Dari semua pecahan marga Sungkar, sub-marga Al-Urmy yang paling berhasil. Ada keluarga Said Oemar Sungkar (SOS) dan Said Ahmad Sungkar (SAS). Mereka adalah konglomerat di tahun 50-an dan 60-an. Tahun 70-an musim berganti, Suharto lebih suka berdagang dengan orang Cina. Namun keturunan mereka masih tetap kaya, misalnya Helmy Sungkar yang menghabiskan uangnya untuk balapan mobil. Termasuk anaknya Rifat Sungkar. Pernah belasan tahun lalu saya ditelpon oleh Wardah Sungkar, seorang Notaris terkenal di Jakarta. Dia bilang begini, “Syakieb, ini saya nenek kamu nih, Wardah, kamu kan bekerja di perusahaan Telekomumikasi, coba kamu carikan pekerjaan untuk Rifat, keponakan kamu. Dia baru selesai sekolah di Australia”. Saya panggil Rifat, kemudian Rifat saya jadikan model iklan Blackberry. Kami mencoba menghubungkan antara kecepatan akses Blackberry dengan kecepatan balap mobil. Dari honor proyek Blackberry itu, Rifat menggunakannya untuk mengawini seorang cewek bule dari Perth. Sejak itu saya tidak pernah berkontak atau berhubungan lagi dengan Wardah dan Rifat. Dan Rifat belakangan sudah bercerai dengan perempuan itu, untuk mengawini perempuan lain. Kami bertetangga dengan Mark Sungkar, bapaknya Shereen Sungkar, artis yang suka muncul di TV Infotaintment itu. Ibu saya yang suka berkunjung ke rumah Mark, kadang2 bertukar makanan. Saya tidak berteman dengan Mark karena beda angkatan, dia lebih senior. Saya datang ke rumah Mark kalau lebaran saja, mengantar ibu saya. Saya bertemu Mark kalau ada acara pesta atau launching, kadang2 dia inget saya, kadang2 dia lupa. Minggu lalu saya berjumpa Mark di sebuah pesta kawinan di Taman Mini. Saya salaman, tapi saya tidak mau me-ngenal2kan diri, karena kali ini saya rasa dia sudah lupa lagi. Jadi begitulah, kalau ada orang tanya apakah kenal si ini atau si itu, yang bermarga Sungkar. Jawabnya kenal, tetapi tidak berhubungan. Karena tidak silaturahmi. Orang keturunan Yaman di Indonesia mirip orang Batak, banyak tapi sudah tidak saling kenal karena beda generasi dan lokasi. Jangan2 ada 10 juta orang asal Yaman di Indonesia ini. Apakah kami bersaudara, ya – kalau diurut asal-usulnya. Contohnya, Kakek saya punya 12 anak, dari masing2 anak rata2 melahirkan 5 anak lagi. Jadi kakek saya punya 60 cucu dan saya punya 60 sepupu. Sekarang para sepupu itu rata2 punya 3 anak. Jadi saya sudah punya sekitar 180 keponakan dari adik2 dan para sepupu, yang sudah saya tidak kenal lagi namanya satu persatu …. Ini juga ada cerita lucu. Begitu selesai TPB (tingkat 1) ITB, kami dijuruskan ke Elektro. Disana saya bertemu dengan teman sekelas, namanya Said Sungkar. Dia asal Solo. Setelah berteman di Elektro sekian bulan, dia mengajak saya berkunjung ke rumah pamannya di bilangan jalan Gatot Subroto, Bandung. Nama pamannya Anies Sungkar. Setelah ngobrol, Anies bertanya saya anak siapa. Saya bilang saya anak Ahmad, cucunya Salim. Orang Solo selalu memberi julukan dibelakang nama, untuk membedakan. Karena begitu banyak orang bernama Salim, Ahmad, Said, dll. Saya bilang kakek saya Salim Areng (kakek saya satu2nya orang yang berjualan areng di Solo – disamping dagang batik juga tentunya). Tinggalnya di jalan Yosodipuran II (rumah itu masih ada, tidak berubah sampai sekarang). Kemudian Anies masuk ke kamarnya mengambil sebuah foto ukuran besar. Itu sebuah foto lama anak2 SD di Solo lulusan tahun 46. Disitu Anies menunjukkan ayah saya berdiri disamping Ahmad Bagir (ayah Haidar Bagir, penerbit Mizan) dan Ella (ibu teman saya, Said Sungkar). Ternyata ayah saya dan ibunya Said teman sekelas waktu di SD. Hubungan saya dengan orang Solo agak jauh karena kakek saya memboyong seluruh keluarga ke Jakarta tahun 1952. Kakek cuma meninggalkan Sofia anak tertua di Solo karena dia sudah menikah. Rumah di Yosodipuran dijual. Sofia punya rumah baru di Sangkrah, hidup bersama suaminya. Kepindahan kakek saya ke Jakarta karena dua alasan. Alasan pertama, pada saat perang kemerdekaan kakek menugaskan anak2nya (Muhammad, Abdurrahman, dan Abdullah) menjadi tentara kemerdekaan. Setelah merdeka alih-alih diapresiasi, orang2 keturunan Arab malahan mendapat diskriminasi dari orang2 Komunis, karena dicap sebagai Islam dan Pedagang, musuhnya PKI 1948. Sehingga kakek sudah merasa tidak nyaman hidup di Solo. Alasan kedua, kakek ingin mencari hidup baru di Jakarta yang sedang tumbuh dan lebih egaliter. Serta menyekolahkan anak2nya di sekolah modern (ayah saya kemudian kuliah di UI). Setelah saya membawa foto yang diberikan Anies ke Jakarta untuk diperlihatkan ayah. Ayah saya menangis. Dia baru tau generasi dibawahnya saling berteman (Haidar di Bandung, Said dari Solo, saya dari Jakarta – saling kenal mengenal). Begitulah cerita keluarga kami yang Sungkar itu. Lama kelamaan wajah Arab dan bahasanya menghilang karena perkawinan dengan orang Indonesia asli. Buyut saya menikah dengan orang Jawa. Jadi darah Arab kakek saya tinggal 50%. Kakek saya kemudian menikah dengan wanita Palembang keturunan Cina, sehingga darah Arab ayah saya tinggal 25%. Ayah saya kawin dengan orang Sunda, sehingga saya tinggal 12,5%. Saya menikah dengan perempuan Betawi, sehingga anak saya cuma punya 6,25%. Jadi yang masih tertinggal cuma marga Sungkar-nya saja, sebagai kenang2an. Bahasa juga demikian, kemampuan berbahasa Arab tidak diturunkan ke bawah. Ayah saya juga agak aneh. Dia sebetulnya sangat berbakat dengan bahasa, sehingga dia menguasai banyak bahasa asing. Kalau ayah saya bercakap-cakap dengan kakek, dia menggunakan bahasa Arab (dengan gramatika yang tidak sempurna). Tetapi kalau berbicara dengan kakaknya, ayah saya menggunakan bahasa Belanda. Lucunya kalau dia ngobrol dengan adiknya, dia menggunakan bahasa Jawa yang halus. Saya masih ingat ayah saya pernah marah kepada adiknya, karena paman saya menggunakan bahasa Jawa yang kasar. Sementara ayah saya kalau berbicara dengan saya, dia akan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karenanya kalau saya menulis, tata bahasanya sangat baik (keren yach). Dan itu sebabnya saya tidak bisa berbahasa Jawa walaupun saya mengerti kalau mendengar orang ngomong Jawa. Apalagi bahasa Arab, saya sama sekali tidak paham. Ketika itu saya sering dipanggil ke kantor Pusat perusahaan saya STC, di Arab Saudi sana, orang Arab itu bertanya kepada saya, apakah saya bisa berbahasa Arab? Saya jawab tidak. “Bangsa Arab itu ditentukan oleh bahasanya, bukan agamanya atau marganya. Orang Lebanon itu beragama Kristen tetapi berbahasa Arab, karenanya disebut orang Arab. Sementara orang Iran yang berhidung panjang dan beragama Islam, tidak disebut orang Arab, karena menggunakan bahasa Iran”, demikian gumam orang STC. Saya cuma mengangkat bahu, “Indonesia is my country”, jawab saya singkat.

Sungkar



Sekali waktu saya dihubungi oleh seorang teman, yang mempunyai kenalan berfam Sungkar yang dia kenal sewaktu kuliah di Bandung dulu. Teman saya itu juga mempunyai kenalan dari Solo yang bermarga Sungkar juga yang menikah dengan seorang keturunan Arab bersuku Baasir asal Surabaya dan teman saya itu punya teman juga bin Sungkar dari Semarang. Dan temannya teman saya ini adiknya juga binti Sungkar yang menikah dengan keturunan Arab berbangsa Baredwan. 


Rupanya teman saya itu mempunyai banyak sahabat orang2 keturunan Arab. Padahal dia sendiri orang Indonesia asli, bukan keturunan Arab. Dia bertanya sekali lagi apakah saya masih berkerabat dengan salah satu dari mereka. Waduh saya susah jawabnya, barangkali dia kira semua keturunan Arab itu saling kenal mengenal.


Keluarga kami berasal dari Solo. Para Sungkar yang teman saya sebutkan itu, juga ada yang berasal dari Solo. Sungkar dan marga2 Arab lainnya datang dari Yaman Selatan pada abad ke 18. Saya tidak tau apa motivasi mereka bepergian dan meninggalkan Yaman Selatan, padahal dari dongeng kakek2 kami, Yaman Selatan adalah negeri yang paling subur di seantero jazirah Arab.

 

Kenapa pindah ke Indonesia? Jawabnya saya temukan ketika saya berkunjung ke kantor Pusat perusahaan yang saya pernah bekerja, yaitu STC, di Riyadh. Salah seorang Direktur disana menjelaskan bahwa orang2 Yaman Selatan berbeda dengan orang Arab Saudi, karena mereka mempunyai jiwa petualang dan perantau (mirip orang Padang).


Kenapa pindahnya abad 18? Karena saat itu transportasi laut sudah mulai modern dan mengangkut manusia kemana saja. Mereka pindah sesuai dengan jalur laut orang Belanda dan Portugis. Dan demikianlah orang2 Yaman Selatan mendarat di Afrika, India, Thailand, Malaysia, Singapura, Aceh, Medan, Palembang, Banjarmasin, Balikpapan, Jakarta, Cirebon, Tegal, Semarang, Surabaya, Madura, Bali, Makassar dan Ambon.


Biasanya mereka mengincar kota2 Pelabuhan atau pesisir. Kepindahan kearah pedalaman seperti Bogor, Bandung, Solo dan Malang adalah perkembangan kemudian. Itu bisa terjadi karena seabad kemudian mereka sudah mempunyai finansial yang cukup sehingga bisa membangun industri, seperti pabrik batik di Solo. 


Ada alasan lain, mereka mencari tempat2 yang dingin di pegunungan untuk ber-senang2 sambil mengawini penduduk setempat. Karena orang Yaman dilarang membawa wanita kalau merantau.


Ada sekitar 1000 marga di Yaman Selatan yang berpindah ke Indonesia. Sungkar, Asseghaf dan Alatas adalah tiga yang terbesar. Marga Sungkar terpecah lagi menjadi 9 sub-marga, seperti Al-Urmy, Al-Ghurfy, Awood, Abud, dll. Nama panjang saya misalnya, Syakieb Ahmad Salim bin Mubarroq Sungkar Al-Ghurfy. Itu artinya Syakieb anaknya Ahmad, cucunya Salim, cicitnya Mubarraq dari suku Sungkar yang berasal dari desa Ghurfah di Yaman Selatan.


Jadi orang yang berasal dari Yaman itu asal-usulnya bisa dilacak. Dan masih dikenal di Yaman Selatan. Walaupun buyut saya, Mubarroq, tidak pernah kembali pulang ke Yaman Selatan namun mereka masih berhubungan melalui surat menyurat. Contohnya 10 tahun lalu saya masih mendapat warisan dari penjualan tanah di Yaman Selatan. Saya sudah tidak tau lagi itu warisan dari siapa, karena kami tidak pernah bertemu. Dan mereka pun tidak pernah datang ke Indonesia.


Dari semua pecahan marga Sungkar, sub-marga Al-Urmy yang paling berhasil. Ada keluarga Said Oemar Sungkar (SOS) dan Said Ahmad Sungkar (SAS). Mereka adalah konglomerat di tahun 50-an dan 60-an. 


Tahun 70-an musim berganti, Suharto lebih suka berdagang dengan orang Cina. Namun keturunan mereka masih tetap kaya, misalnya Helmy Sungkar yang menghabiskan uangnya untuk balapan mobil. Termasuk anaknya Rifat Sungkar.


Pernah belasan tahun lalu saya ditelpon oleh Wardah Sungkar, seorang Notaris terkenal di Jakarta. Dia bilang begini, “Syakieb, ini saya nenek kamu nih, Wardah, kamu kan bekerja di perusahaan Telekomumikasi, coba kamu carikan pekerjaan untuk Rifat, keponakan kamu. Dia baru selesai sekolah di Australia”. 


Saya panggil Rifat, kemudian Rifat saya jadikan model iklan Blackberry. Kami mencoba menghubungkan antara kecepatan akses Blackberry dengan kecepatan balap mobil. Dari honor proyek Blackberry itu, Rifat menggunakannya untuk mengawini seorang cewek bule dari Perth. Sejak itu saya tidak pernah berkontak atau berhubungan lagi dengan Wardah dan Rifat. Dan Rifat belakangan sudah bercerai dengan perempuan itu, untuk mengawini perempuan lain.


Kami bertetangga dengan Mark Sungkar, bapaknya Shereen Sungkar, artis yang suka muncul di TV Infotaintment itu. Ibu saya yang suka berkunjung ke rumah Mark, kadang2 bertukar makanan. Saya tidak berteman dengan Mark karena beda angkatan, dia lebih senior. Saya datang ke rumah Mark kalau lebaran saja, mengantar ibu saya. 


Saya bertemu Mark kalau ada acara pesta atau launching, kadang2 dia inget saya, kadang2 dia lupa. Minggu lalu saya berjumpa Mark di sebuah pesta kawinan di Taman Mini. Saya salaman, tapi saya tidak mau me-ngenal2kan diri, karena kali ini saya rasa dia sudah lupa lagi.


Jadi begitulah, kalau ada orang tanya apakah kenal si ini atau si itu, yang bermarga Sungkar. Jawabnya kenal, tetapi tidak berhubungan. Karena tidak silaturahmi. Orang keturunan Yaman di Indonesia mirip orang Batak, banyak tapi sudah tidak saling kenal karena beda generasi dan lokasi. 


Jangan2 ada 10 juta orang asal Yaman di Indonesia ini. Apakah kami bersaudara, ya – kalau diurut asal-usulnya.


Contohnya, Kakek saya punya 12 anak, dari masing2 anak rata2 melahirkan 5 anak lagi. Jadi kakek saya punya 60 cucu dan saya punya 60 sepupu. Sekarang para sepupu itu rata2 punya 3 anak. Jadi saya sudah punya sekitar 180 keponakan dari adik2 dan para sepupu, yang sudah saya tidak kenal lagi namanya satu persatu ….


Ini juga ada cerita lucu. Begitu selesai TPB (tingkat 1) ITB, kami dijuruskan ke Elektro. Disana saya bertemu dengan teman sekelas, namanya Said Sungkar. Dia asal Solo. Setelah berteman di Elektro sekian bulan, dia mengajak saya berkunjung ke rumah pamannya di bilangan jalan Gatot Subroto, Bandung. 


Nama pamannya Anies Sungkar. Setelah ngobrol, Anies bertanya saya anak siapa. Saya bilang saya anak Ahmad, cucunya Salim. Orang Solo selalu memberi julukan dibelakang nama, untuk membedakan. Karena begitu banyak orang bernama Salim, Ahmad, Said, dll. Saya bilang kakek saya Salim Areng (kakek saya satu2nya orang yang berjualan areng di Solo – disamping dagang batik juga tentunya). Tinggalnya di jalan Yosodipuran II (rumah itu masih ada, tidak berubah sampai sekarang).


Kemudian Anies masuk ke kamarnya mengambil sebuah foto ukuran besar. Itu sebuah foto lama anak2 SD di Solo lulusan tahun 46. Disitu Anies menunjukkan ayah saya berdiri disamping Ahmad Bagir (ayah Haidar Bagir, penerbit Mizan) dan Ella (ibu teman saya, Said Sungkar). Ternyata ayah saya dan ibunya Said teman sekelas waktu di SD.


Hubungan saya dengan orang Solo agak jauh karena kakek saya memboyong seluruh keluarga ke Jakarta tahun 1952. Kakek cuma meninggalkan Sofia anak tertua di Solo karena dia sudah menikah. Rumah di Yosodipuran dijual. Sofia punya rumah baru di Sangkrah, hidup bersama suaminya.


Kepindahan kakek saya ke Jakarta karena dua alasan. Alasan pertama, pada saat perang kemerdekaan kakek menugaskan anak2nya (Muhammad, Abdurrahman, dan Abdullah) menjadi tentara kemerdekaan. Setelah merdeka alih-alih diapresiasi, orang2 keturunan Arab malahan mendapat diskriminasi dari orang2 Komunis, karena dicap sebagai Islam dan Pedagang, musuhnya PKI 1948. Sehingga kakek sudah merasa tidak nyaman hidup di Solo.


Alasan kedua, kakek ingin mencari hidup baru di Jakarta yang sedang tumbuh dan lebih egaliter. Serta menyekolahkan anak2nya di sekolah modern (ayah saya kemudian kuliah di UI).


Setelah saya membawa foto yang diberikan Anies ke Jakarta untuk diperlihatkan ayah. Ayah saya menangis. Dia baru tau generasi dibawahnya saling berteman (Haidar di Bandung, Said dari Solo, saya dari Jakarta – saling kenal mengenal).


Begitulah cerita keluarga kami yang Sungkar itu. Lama kelamaan wajah Arab dan bahasanya menghilang karena perkawinan dengan orang Indonesia asli. Buyut saya menikah dengan orang Jawa. Jadi darah Arab kakek saya tinggal 50%. Kakek saya kemudian menikah dengan wanita Palembang keturunan Cina, sehingga darah Arab ayah saya tinggal 25%. Ayah saya kawin dengan orang Sunda, sehingga saya tinggal 12,5%. Saya menikah dengan perempuan Betawi, sehingga anak saya cuma punya 6,25%. Jadi yang masih tertinggal cuma marga Sungkar-nya saja, sebagai kenang2an.


Bahasa juga demikian, kemampuan berbahasa Arab tidak diturunkan ke bawah. Ayah saya juga agak aneh. Dia sebetulnya sangat berbakat dengan bahasa, sehingga dia menguasai banyak bahasa asing. Kalau ayah saya bercakap-cakap dengan kakek, dia menggunakan bahasa Arab (dengan gramatika yang tidak sempurna). Tetapi kalau berbicara dengan kakaknya, ayah saya menggunakan bahasa Belanda. 


Lucunya kalau dia ngobrol dengan adiknya, dia menggunakan bahasa Jawa yang halus. Saya masih ingat ayah saya pernah marah kepada adiknya, karena paman saya menggunakan bahasa Jawa yang kasar. Sementara ayah saya kalau berbicara dengan saya, dia akan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karenanya kalau saya menulis, tata bahasanya sangat baik (keren yach). Dan itu sebabnya saya tidak bisa berbahasa Jawa walaupun saya mengerti kalau mendengar orang ngomong Jawa. Apalagi bahasa Arab, saya sama sekali tidak paham.


Ketika itu saya sering dipanggil ke kantor Pusat perusahaan saya STC, di Arab Saudi sana, orang Arab itu bertanya kepada saya, apakah saya bisa berbahasa Arab? Saya jawab tidak. “Bangsa Arab itu ditentukan oleh bahasanya, bukan agamanya atau marganya. Orang Lebanon itu beragama Kristen tetapi berbahasa Arab, karenanya disebut orang Arab. Sementara orang Iran yang berhidung panjang dan beragama Islam, tidak disebut orang Arab, karena menggunakan bahasa Iran”, demikian gumam orang STC. Saya cuma mengangkat bahu, “Indonesia is my country”, jawab saya singkat. 


Sumber : Syakieb Sungkar