01 November 2025

Saat Panglima Besar Jendral Sudirman Berpulang. Nafas Terakhir Sang Penjaga Republik 🤲 “Titip anak-anak... Tolong aku dibimbing tahlil…” Ucapan terakhir Jenderal Besar Soedirman Di penghujung Januari 1950, udara Magelang terasa sejuk, namun menyimpan duka yang pekat. Di sebuah wisma tentara di Badakan, tubuh renta yang dahulu menembus hutan dan lereng gunung dalam perang gerilya kini terbaring lemah. Dialah Panglima Besar Jenderal Soedirman — sang penegak kehormatan republik — yang tengah menapaki pertempuran terakhirnya, melawan penyakit yang perlahan meluruhkan paru-parunya. Beberapa tahun sebelumnya, dari medan tempur Madiun, Soedirman pulang dengan hati remuk. Ia menyaksikan sesama anak bangsa saling menumpahkan darah dalam tragedi pemberontakan 1948. Dengan langkah tertatih, ia memasuki rumahnya di Bintaran Wetan, Yogyakarta. Kepada istrinya, Siti Alfiah, ia berbisik lirih: matanya tak sanggup terpejam melihat rakyat sendiri saling menebas. Malam itu, ia memilih mandi dengan air dingin—menolak saran sang istri untuk memakai air hangat. Keputusan kecil yang membawa akibat besar. Esok harinya, tubuh sang jenderal tumbang. Dokter mendiagnosis tuberkulosis paru. Satu paru-parunya harus diistirahatkan lewat operasi, namun semangat juangnya tak pernah surut. Dari ranjang rumah sakit, ia masih sempat menulis sajak berjudul “25 Tahun Rumah Nan Bahagia”, ungkapan terima kasihnya kepada para perawat di Panti Rapih. Namun panggilan tanah air tak pernah padam di dadanya. Ketika agresi militer Belanda meletus pada 19 Desember 1948, Soedirman menolak beristirahat. Dengan tubuh separuh sehat, ia memimpin perang gerilya dari atas tandu selama delapan bulan. Hujan, lapar, dan dentum peluru tak mampu menundukkan tekadnya. Di hutan-hutan dan lereng-lereng gunung Jawa, ia menjelma simbol keteguhan bangsa: rapuh di tubuh, tapi tak pernah kalah di jiwa. Usai Belanda menyatakan gencatan senjata pada Oktober 1949, kondisi Soedirman kian menurun. Ia memilih beristirahat di lereng Magelang, memandang Gunung Sumbing yang seolah menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya. Namun firasatnya berkata lain. Pada 18 Januari 1950, ia memanggil para perwira tinggi, di antaranya Ahmad Yani dan Gatot Soebroto. Dengan suara tenang, ia menitipkan pesan—seakan tahu ajalnya kian dekat. Pagi 29 Januari 1950, wajahnya tampak teduh. Menjelang malam, usai menunaikan salat magrib, ia memanggil istrinya ke sisi ranjang. Dengan suara parau yang hampir hilang, ia berbisik pelan: “Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing tahlil.” Siti Alfiah menuntunnya melafazkan Laa ilaha illallah. Dalam pelukan perempuan yang setia mendampingi perjuangannya, Jenderal Besar Soedirman menghembuskan napas terakhir dengan nama Allah di bibir, dan Indonesia di dadanya. Di halaman rumah, bendera merah putih perlahan turun setengah tiang dengan sendirinya. Seolah alam turut berduka, memberi penghormatan terakhir bagi sang panglima suci yang tak pernah menyerah pada perang, sakit, atau nasib. “Jasamu abadi, Jenderal.” Sumber : Cak imron #Soedirman #PanglimaBesar #PahlawanNasional #PerangGerilya #IndonesiaMerdeka #SejarahBangsa.#faktasejarah

 

Saat Panglima Besar Jendral Sudirman Berpulang. Nafas Terakhir Sang Penjaga Republik 🤲

“Titip anak-anak... Tolong aku dibimbing tahlil…” Ucapan terakhir Jenderal Besar Soedirman



Di penghujung Januari 1950, udara Magelang terasa sejuk, namun menyimpan duka yang pekat. Di sebuah wisma tentara di Badakan, tubuh renta yang dahulu menembus hutan dan lereng gunung dalam perang gerilya kini terbaring lemah. Dialah Panglima Besar Jenderal Soedirman — sang penegak kehormatan republik — yang tengah menapaki pertempuran terakhirnya, melawan penyakit yang perlahan meluruhkan paru-parunya.

Beberapa tahun sebelumnya, dari medan tempur Madiun, Soedirman pulang dengan hati remuk. Ia menyaksikan sesama anak bangsa saling menumpahkan darah dalam tragedi pemberontakan 1948. Dengan langkah tertatih, ia memasuki rumahnya di Bintaran Wetan, Yogyakarta. Kepada istrinya, Siti Alfiah, ia berbisik lirih: matanya tak sanggup terpejam melihat rakyat sendiri saling menebas.

Malam itu, ia memilih mandi dengan air dingin—menolak saran sang istri untuk memakai air hangat. Keputusan kecil yang membawa akibat besar. Esok harinya, tubuh sang jenderal tumbang. Dokter mendiagnosis tuberkulosis paru. Satu paru-parunya harus diistirahatkan lewat operasi, namun semangat juangnya tak pernah surut. Dari ranjang rumah sakit, ia masih sempat menulis sajak berjudul “25 Tahun Rumah Nan Bahagia”, ungkapan terima kasihnya kepada para perawat di Panti Rapih.

Namun panggilan tanah air tak pernah padam di dadanya.
Ketika agresi militer Belanda meletus pada 19 Desember 1948, Soedirman menolak beristirahat. Dengan tubuh separuh sehat, ia memimpin perang gerilya dari atas tandu selama delapan bulan. Hujan, lapar, dan dentum peluru tak mampu menundukkan tekadnya. Di hutan-hutan dan lereng-lereng gunung Jawa, ia menjelma simbol keteguhan bangsa: rapuh di tubuh, tapi tak pernah kalah di jiwa.

Usai Belanda menyatakan gencatan senjata pada Oktober 1949, kondisi Soedirman kian menurun. Ia memilih beristirahat di lereng Magelang, memandang Gunung Sumbing yang seolah menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya. Namun firasatnya berkata lain. Pada 18 Januari 1950, ia memanggil para perwira tinggi, di antaranya Ahmad Yani dan Gatot Soebroto. Dengan suara tenang, ia menitipkan pesan—seakan tahu ajalnya kian dekat.

Pagi 29 Januari 1950, wajahnya tampak teduh. Menjelang malam, usai menunaikan salat magrib, ia memanggil istrinya ke sisi ranjang.
Dengan suara parau yang hampir hilang, ia berbisik pelan:

“Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing tahlil.”

Siti Alfiah menuntunnya melafazkan Laa ilaha illallah. Dalam pelukan perempuan yang setia mendampingi perjuangannya, Jenderal Besar Soedirman menghembuskan napas terakhir dengan nama Allah di bibir, dan Indonesia di dadanya.

Di halaman rumah, bendera merah putih perlahan turun setengah tiang dengan sendirinya. Seolah alam turut berduka, memberi penghormatan terakhir bagi sang panglima suci yang tak pernah menyerah pada perang, sakit, atau nasib.

“Jasamu abadi, Jenderal.”

Sumber : Cak imron
#Soedirman #PanglimaBesar #PahlawanNasional #PerangGerilya #IndonesiaMerdeka #SejarahBangsa.#faktasejarah

Kisah Sang Panglima Gerilya, Jenderal Soedirman ___ Dari Anak Desa Jadi Guru Bangsa Di sebuah rumah kayu sederhana di Bantarbarang, Rembang, Purbalingga, pada 24 Januari 1916, lahir seorang bayi laki-laki bernama Soedirman. Ayah kandungnya, Karsid Kartowirodji, bekerja sebagai buruh pabrik gula, sementara ibunya, Siyem, adalah perempuan desa yang taat beribadah. Karena keterbatasan ekonomi, Soedirman kecil kemudian diangkat anak oleh Raden Cokrosunaryo, seorang guru sekolah rakyat. Dari ayah angkatnya inilah ia mengenal dunia pendidikan, kedisiplinan, dan nilai luhur keislaman yang kelak membentuk jiwanya. Masa kecilnya tidak mudah. Ia sering sakit-sakitan dan harus berjalan jauh untuk sekolah. Namun ia selalu menempuh pendidikan dengan tekun menempuh Hollandsch Inlandsche School (HIS) Cilacap, lalu melanjutkan ke HIK (Hollandsch Indlandsche Kweekschool) Muhammadiyah di Surakarta, sekolah guru bergengsi bagi pribumi kala itu. Di sinilah bibit kepemimpinannya mulai tumbuh. Ia aktif dalam Hizbul Wathan (organisasi kepanduan Muhammadiyah) dan dikenal sebagai pemuda yang tenang, religius, dan disegani kawan-kawan. Ia tak banyak bicara, tapi sekali berbicara, nadanya tegas dan bermakna. Setelah lulus, ia menjadi guru di Sekolah Muhammadiyah Cilacap, sekaligus pengurus cabang organisasi. Ia menikah dengan Almh. Alfiah, dan dikaruniai beberapa anak. Kehidupan mereka sederhana tapi di ruang tamu rumah kecilnya, sering berkumpul para tokoh pergerakan lokal untuk berdiskusi tentang kemerdekaan. ___ Masa Pendudukan Jepang, Dari Guru Jadi Tentara Ketika Jepang datang ke Indonesia pada 1942, situasi berubah drastis. Banyak guru kehilangan pekerjaan. Soedirman pun tetap berusaha mengajar, tapi hatinya gusar melihat rakyat ditindas. Saat Jepang membentuk PETA (Pembela Tanah Air) tahun 1943, ia mendaftar. Awalnya, banyak tokoh Muhammadiyah menentang karena PETA dianggap alat Jepang. Namun Soedirman melihatnya sebagai kesempatan belajar militer untuk masa depan bangsa. Ia diterima sebagai Shodancho (Komandan Kompi) di Banyumas. Dari sinilah bakat militernya muncul. Ia disiplin, keras pada diri sendiri, dan sangat melindungi anak buah. Bila prajuritnya dihukum, ia ikut menanggung hukuman. Bila makanan pasukan kurang, ia rela tidak makan. Salah satu kisah yang jarang diketahui terjadi di Desa Karanglewas, Banyumas. Saat Jepang memerintahkan pasukan PETA berlatih tanpa henti hingga banyak yang pingsan, Soedirman berani menegur perwira Jepang secara langsung. Ia berkata: “Kami berlatih bukan untuk Jepang. Kami berlatih untuk tanah air kami.” Tindakan itu membuatnya diawasi ketat, namun justru menanamkan wibawa luar biasa di mata pasukannya. ___ Setelah Proklamasi, Dari Banyumas ke Medan Tempur Begitu proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Soedirman segera menggalang pasukannya di Banyumas untuk bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Ia diangkat menjadi Komandan Resimen V Banyumas. Dalam masa transisi penuh kekacauan itu, banyak pasukan belum terorganisir. Namun Soedirman dengan ketegasan dan sikap keagamaannya berhasil membuat prajuritnya disiplin. Ia menolak segala bentuk penjarahan atau kekerasan terhadap rakyat. Prinsipnya jelas: “Tentara hanya alat negara, bukan penguasa rakyat.” Pada November 1945, situasi di Jawa Tengah memanas. Pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda mulai bergerak merebut wilayah strategis. Soedirman diminta memimpin pasukan gabungan TKR dan laskar untuk mempertahankan Ambarawa. ___ Pertempuran Ambarawa (20 November - 15 Desember 1945) Ini bukan sekadar pertempuran ini momen kelahiran doktrin militer Indonesia. Dengan taktik pengepungan dua arah, Soedirman bersama Letkol Isdiman dan Letkol Soeharto memimpin ribuan pasukan menyerang garnisun Sekutu. Pertempuran sengit terjadi di tengah hujan deras. Letkol Isdiman gugur di depan mata Soedirman, namun semangat pasukan tak padam. Pada 15 Desember 1945, pasukan Belanda dan Inggris dipukul mundur dari Ambarawa. Kemenangan ini menjadi simbol bahwa tentara republik mampu melawan kekuatan kolonial. Tanggal itu kemudian diperingati sebagai Hari Infanteri. Setelah perang usai, Presiden Soekarno mengangkat Soedirman menjadi Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia (Panglima Besar TNI) pada 18 Desember 1945. Ia bahkan belum berusia 32 tahun, jenderal termuda dalam sejarah Indonesia. ___ Masa Damai yang Tak Pernah Tenang Sebagai Panglima Besar, Soedirman dihadapkan pada persoalan berat: mempertahankan disiplin militer di tengah pergolakan politik. Banyak perwira masih berpikir seperti laskar bergerak tanpa perintah. Soedirman mencoba menanamkan prinsip baru: “Tentara harus tunduk pada pemerintah sipil. Tapi pemerintah juga harus setia pada cita-cita kemerdekaan.” Ia sempat berselisih dengan Soekarno dalam beberapa kebijakan. Misalnya, saat Perjanjian Renville (1948) yang dianggap terlalu menguntungkan Belanda, Soedirman dengan tegas menolak. Namun meski berbeda pendapat, ia tetap setia pada Presiden. Ia berkata kepada anak buahnya: “Presiden adalah pemimpin tertinggi. Kita boleh tidak setuju, tapi kita tak boleh mengkhianati republik.” ___ Agresi Militer II, Panglima yang Bergerilya di Tandu Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II, menyerang Yogyakarta. Soekarno dan Hatta ditawan, sementara pasukan Belanda menguasai kota. Soedirman yang tengah dirawat di RS Panti Rapih karena TBC berat, menolak perintah dokter untuk tinggal. Dengan tubuh kurus dan napas pendek, ia berkata pelan kepada istrinya: “Kalau aku tinggal, aku akan malu sebagai prajurit.” Ia dibopong keluar rumah sakit, lalu diarak di atas tandu bambu menembus hutan-hutan Menoreh. Bersama sekitar 100 pengawal dan staf kecil, ia bergerak dari Yogyakarta - Wonosari - Karanganyar - Pacitan - Gunung Lawu hingga akhirnya mencapai Ponorogo. Selama 7 bulan, mereka hidup berpindah-pindah di hutan, tidur di gubuk bambu, makan singkong mentah, dan terus melancarkan serangan kilat terhadap pos-pos Belanda. Meski sakit, Soedirman selalu meminta laporan pertempuran setiap malam, dan memimpin doa bersama. Ada satu kisah yang jarang diketahui. Suatu malam di daerah Sokaraja, seorang prajuritnya terluka parah. Soedirman meminta semua pasukan berhenti, menyalakan lampu minyak, dan memandikan luka prajurit itu sendiri sambil berdoa. Ia berkata, “Selama aku masih bisa bernapas, tak boleh ada anak bangsa mati sia-sia.” Itu bukan pidato di depan podium tapi di tengah hutan, di bawah gerimis, di depan seorang anak muda yang meregang nyawa. ___ Kembali ke Yogyakarta, Simbol Kejuangan Setelah Perundingan Roem Roijen (Mei 1949), Belanda setuju menarik diri dari Yogyakarta. Pada Juli 1949, Soedirman kembali ke ibu kota republik. Namun ia menolak naik mobil. Ia tetap minta dipikul dengan tandu hingga gerbang Yogyakarta, sebagai simbol bahwa kemerdekaan dicapai bukan dengan kenyamanan, tapi pengorbanan. Di hadapan Soekarno, ia menolak penghargaan atau upacara besar. Ia hanya berkata: “Saya hanya menjalankan kewajiban, Bung.” Kesehatannya makin memburuk. Ia mengundurkan diri dari jabatan aktif militer pada akhir tahun itu, dan dirawat di Magelang. ___ Akhir Hidup Sang Panglima Tanggal 29 Januari 1950, di rumah kecil di Magelang, Jenderal Soedirman menghembuskan napas terakhir. Ia wafat dalam pelukan istrinya, Alfiah, dan para pengiring yang setia. Umurnya baru 34 tahun. Jenazahnya dibawa ke Yogyakarta dengan iringan ribuan rakyat yang berjalan kaki, sebagian menangis di sepanjang jalan. Presiden Soekarno sendiri menundukkan kepala dan berkata lirih, “Bangsa ini kehilangan seorang putra yang paling setia.” ___ Warisan Abadi Jenderal Soedirman bukan hanya sosok militer. Ia ulama, guru, dan panutan moral bangsa. Ia menulis dalam surat terakhirnya kepada anak buah: “Perang belum berakhir sebelum rakyat benar-benar sejahtera.” Ia menolak segala bentuk kekuasaan pribadi. Ia menolak rumah dinas, gaji besar, bahkan fasilitas medis karena baginya, perjuangan bukan untuk kemewahan. Kini, namanya diabadikan di jalan-jalan besar, patung, dan monumen di seluruh Indonesia. Tapi warisan sejatinya bukan itu. Warisan Soedirman adalah semangat untuk berjuang dengan hati bersih, bahkan ketika tubuh tak lagi mampu berdiri. ___ Sumber: Nugroho Notosusanto, Biografi Jenderal Soedirman (1980) Rosihan Anwar, Soedirman: Seorang Panglima dan Ulama (1993) Arsip Museum Jenderal Soedirman, Purbalingga Wawancara dr. Suwondo, pengiring gerilya (1950) Catatan Letkol Slamet Riyadi dan Ahmad Yani tentang ekspedisi gerilya 1948 @Dunia.Sjr #JenderalSoedirman #PahlawanNasional #SejarahIndonesia #PanglimaBesar #DuniaSejarah #IndonesiaMerdeka

 

Kisah Sang Panglima Gerilya, Jenderal Soedirman

___



Dari Anak Desa Jadi Guru Bangsa

Di sebuah rumah kayu sederhana di Bantarbarang, Rembang, Purbalingga, pada 24 Januari 1916, lahir seorang bayi laki-laki bernama Soedirman.

Ayah kandungnya, Karsid Kartowirodji, bekerja sebagai buruh pabrik gula, sementara ibunya, Siyem, adalah perempuan desa yang taat beribadah.

Karena keterbatasan ekonomi, Soedirman kecil kemudian diangkat anak oleh Raden Cokrosunaryo, seorang guru sekolah rakyat. Dari ayah angkatnya inilah ia mengenal dunia pendidikan, kedisiplinan, dan nilai luhur keislaman yang kelak membentuk jiwanya.

Masa kecilnya tidak mudah. Ia sering sakit-sakitan dan harus berjalan jauh untuk sekolah. Namun ia selalu menempuh pendidikan dengan tekun menempuh Hollandsch Inlandsche School (HIS) Cilacap, lalu melanjutkan ke HIK (Hollandsch Indlandsche Kweekschool) Muhammadiyah di Surakarta, sekolah guru bergengsi bagi pribumi kala itu.

Di sinilah bibit kepemimpinannya mulai tumbuh. Ia aktif dalam Hizbul Wathan (organisasi kepanduan Muhammadiyah) dan dikenal sebagai pemuda yang tenang, religius, dan disegani kawan-kawan. Ia tak banyak bicara, tapi sekali berbicara, nadanya tegas dan bermakna.

Setelah lulus, ia menjadi guru di Sekolah Muhammadiyah Cilacap, sekaligus pengurus cabang organisasi. Ia menikah dengan Almh. Alfiah, dan dikaruniai beberapa anak. Kehidupan mereka sederhana tapi di ruang tamu rumah kecilnya, sering berkumpul para tokoh pergerakan lokal untuk berdiskusi tentang kemerdekaan.

___

Masa Pendudukan Jepang, Dari Guru Jadi Tentara

Ketika Jepang datang ke Indonesia pada 1942, situasi berubah drastis. Banyak guru kehilangan pekerjaan. Soedirman pun tetap berusaha mengajar, tapi hatinya gusar melihat rakyat ditindas.

Saat Jepang membentuk PETA (Pembela Tanah Air) tahun 1943, ia mendaftar. Awalnya, banyak tokoh Muhammadiyah menentang karena PETA dianggap alat Jepang. Namun Soedirman melihatnya sebagai kesempatan belajar militer untuk masa depan bangsa.

Ia diterima sebagai Shodancho (Komandan Kompi) di Banyumas. Dari sinilah bakat militernya muncul.
Ia disiplin, keras pada diri sendiri, dan sangat melindungi anak buah. Bila prajuritnya dihukum, ia ikut menanggung hukuman. Bila makanan pasukan kurang, ia rela tidak makan.

Salah satu kisah yang jarang diketahui terjadi di Desa Karanglewas, Banyumas. Saat Jepang memerintahkan pasukan PETA berlatih tanpa henti hingga banyak yang pingsan, Soedirman berani menegur perwira Jepang secara langsung.

Ia berkata: “Kami berlatih bukan untuk Jepang. Kami berlatih untuk tanah air kami.”

Tindakan itu membuatnya diawasi ketat, namun justru menanamkan wibawa luar biasa di mata pasukannya.

___

Setelah Proklamasi, Dari Banyumas ke Medan Tempur

Begitu proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Soedirman segera menggalang pasukannya di Banyumas untuk bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Ia diangkat menjadi Komandan Resimen V Banyumas.

Dalam masa transisi penuh kekacauan itu, banyak pasukan belum terorganisir. Namun Soedirman dengan ketegasan dan sikap keagamaannya berhasil membuat prajuritnya disiplin. Ia menolak segala bentuk penjarahan atau kekerasan terhadap rakyat.

Prinsipnya jelas: “Tentara hanya alat negara, bukan penguasa rakyat.”

Pada November 1945, situasi di Jawa Tengah memanas. Pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda mulai bergerak merebut wilayah strategis. Soedirman diminta memimpin pasukan gabungan TKR dan laskar untuk mempertahankan Ambarawa.

___

Pertempuran Ambarawa (20 November - 15 Desember 1945)

Ini bukan sekadar pertempuran ini momen kelahiran doktrin militer Indonesia. Dengan taktik pengepungan dua arah, Soedirman bersama Letkol Isdiman dan Letkol Soeharto memimpin ribuan pasukan menyerang garnisun Sekutu.

Pertempuran sengit terjadi di tengah hujan deras. Letkol Isdiman gugur di depan mata Soedirman, namun semangat pasukan tak padam.

Pada 15 Desember 1945, pasukan Belanda dan Inggris dipukul mundur dari Ambarawa. Kemenangan ini menjadi simbol bahwa tentara republik mampu melawan kekuatan kolonial. Tanggal itu kemudian diperingati sebagai Hari Infanteri.

Setelah perang usai, Presiden Soekarno mengangkat Soedirman menjadi Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia (Panglima Besar TNI) pada 18 Desember 1945.

Ia bahkan belum berusia 32 tahun, jenderal termuda dalam sejarah Indonesia.

___

Masa Damai yang Tak Pernah Tenang

Sebagai Panglima Besar, Soedirman dihadapkan pada persoalan berat: mempertahankan disiplin militer di tengah pergolakan politik.

Banyak perwira masih berpikir seperti laskar bergerak tanpa perintah. Soedirman mencoba menanamkan prinsip baru: “Tentara harus tunduk pada pemerintah sipil. Tapi pemerintah juga harus setia pada cita-cita kemerdekaan.”

Ia sempat berselisih dengan Soekarno dalam beberapa kebijakan. Misalnya, saat Perjanjian Renville (1948) yang dianggap terlalu menguntungkan Belanda, Soedirman dengan tegas menolak.

Namun meski berbeda pendapat, ia tetap setia pada Presiden. Ia berkata kepada anak buahnya: “Presiden adalah pemimpin tertinggi. Kita boleh tidak setuju, tapi kita tak boleh mengkhianati republik.”

___

Agresi Militer II, Panglima yang Bergerilya di Tandu

Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II, menyerang Yogyakarta. Soekarno dan Hatta ditawan, sementara pasukan Belanda menguasai kota.

Soedirman yang tengah dirawat di RS Panti Rapih karena TBC berat, menolak perintah dokter untuk tinggal.

Dengan tubuh kurus dan napas pendek, ia berkata pelan kepada istrinya: “Kalau aku tinggal, aku akan malu sebagai prajurit.”

Ia dibopong keluar rumah sakit, lalu diarak di atas tandu bambu menembus hutan-hutan Menoreh. Bersama sekitar 100 pengawal dan staf kecil, ia bergerak dari Yogyakarta - Wonosari - Karanganyar - Pacitan - Gunung Lawu hingga akhirnya mencapai Ponorogo.

Selama 7 bulan, mereka hidup berpindah-pindah di hutan, tidur di gubuk bambu, makan singkong mentah, dan terus melancarkan serangan kilat terhadap pos-pos Belanda.

Meski sakit, Soedirman selalu meminta laporan pertempuran setiap malam, dan memimpin doa bersama.

Ada satu kisah yang jarang diketahui.

Suatu malam di daerah Sokaraja, seorang prajuritnya terluka parah. Soedirman meminta semua pasukan berhenti, menyalakan lampu minyak, dan memandikan luka prajurit itu sendiri sambil berdoa. Ia berkata, “Selama aku masih bisa bernapas, tak boleh ada anak bangsa mati sia-sia.”

Itu bukan pidato di depan podium tapi di tengah hutan, di bawah gerimis, di depan seorang anak muda yang meregang nyawa.

___

Kembali ke Yogyakarta, Simbol Kejuangan

Setelah Perundingan Roem Roijen (Mei 1949), Belanda setuju menarik diri dari Yogyakarta. Pada Juli 1949, Soedirman kembali ke ibu kota republik.

Namun ia menolak naik mobil. Ia tetap minta dipikul dengan tandu hingga gerbang Yogyakarta, sebagai simbol bahwa kemerdekaan dicapai bukan dengan kenyamanan, tapi pengorbanan.

Di hadapan Soekarno, ia menolak penghargaan atau upacara besar. Ia hanya berkata: “Saya hanya menjalankan kewajiban, Bung.”

Kesehatannya makin memburuk. Ia mengundurkan diri dari jabatan aktif militer pada akhir tahun itu, dan dirawat di Magelang.

___

Akhir Hidup Sang Panglima

Tanggal 29 Januari 1950, di rumah kecil di Magelang, Jenderal Soedirman menghembuskan napas terakhir.

Ia wafat dalam pelukan istrinya, Alfiah, dan para pengiring yang setia. Umurnya baru 34 tahun. Jenazahnya dibawa ke Yogyakarta dengan iringan ribuan rakyat yang berjalan kaki, sebagian menangis di sepanjang jalan.

Presiden Soekarno sendiri menundukkan kepala dan berkata lirih, “Bangsa ini kehilangan seorang putra yang paling setia.”

___

Warisan Abadi

Jenderal Soedirman bukan hanya sosok militer. Ia ulama, guru, dan panutan moral bangsa. Ia menulis dalam surat terakhirnya kepada anak buah: “Perang belum berakhir sebelum rakyat benar-benar sejahtera.”

Ia menolak segala bentuk kekuasaan pribadi. Ia menolak rumah dinas, gaji besar, bahkan fasilitas medis karena baginya, perjuangan bukan untuk kemewahan.

Kini, namanya diabadikan di jalan-jalan besar, patung, dan monumen di seluruh Indonesia. Tapi warisan sejatinya bukan itu.

Warisan Soedirman adalah semangat untuk berjuang dengan hati bersih, bahkan ketika tubuh tak lagi mampu berdiri.

___

Sumber:
Nugroho Notosusanto, Biografi Jenderal Soedirman (1980)
Rosihan Anwar, Soedirman: Seorang Panglima dan Ulama (1993)
Arsip Museum Jenderal Soedirman, Purbalingga
Wawancara dr. Suwondo, pengiring gerilya (1950)
Catatan Letkol Slamet Riyadi dan Ahmad Yani tentang ekspedisi gerilya 1948
@Dunia.Sjr
#JenderalSoedirman #PahlawanNasional #SejarahIndonesia #PanglimaBesar #DuniaSejarah #IndonesiaMerdeka