Oleh : Hoesein Rushdy
Raden Mas Ngabehi Danoekromo : Bupati Pertama Magelang. Melihat posisi Magelang yang sangat strategis ditengah – tengah pulau Jawa, maka Raffles menjadikan Magelang sebagai pusat pemerintahan Karesidenan Kedu. Ia menunjuk seorang resident bernama John Crawfurd untuk membenahi administrasi pemerintahan local di Karesidenan ini. Dalam tugas interennya, Crawfurd membutuhkan seorang pribumi untuk membantunya berurusan dengan pemerintahan lokal lain dan kepada rakyat setempat. Maka diambilah seorang mantan asisten Patih Danurejo III dari Yogyakarta bernama Danoekromo sebagai Bupati Pertama Magelang. Pada tanggal 30 November 1813 resmi sudah Danoekromo yang bernama asli Alwi Bin Said Abdar Rahim Bach Caiban (Bahasa aslinya Basyaiban) menyandang gelar Raden Mas Ngabehi Danoekromo. Danoekromo adalah cucu dari Patih Danurejo I dan konon merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW dari Fatimah Az-Zahra. Bupati yang bernama kecil Alwi ini memulai karirnya dibidang politik sebagai seorang pegawai Kepatihan Yogyakarta. Ia menjadi asisten Patih Danurejo II selama kurang lebih 4 tahun antara 1799 sampai 1811. Ia juga sempat menjadi Demang di Bojong, Kedu sampai dengan terbunuhnya Danurejo II. Akbiat hal tersebut, ia dipanggil lagi ke Kepatihan Kraton Yogyakarta untuk mengabdi kepada Danurejo III sampai pada akhirnya ia diminta Crawfurd untuk menjadi Bupati pertama Magelang. Bagi Magelang, Mas Ngabehi Danoekromo sangat berjasa bagi cikal bakal perkembangan Magelang. Pada awal awal pemerintahannya, ia membangun infrastruktur utama pendirian sebuah pusat pemerintahan baru. Layaknya kabupaten – kabupaten lain di Jawa, keberadaan aloon – aloon, masjid dan rumah Bupati adalah satu paket komponen penting yang mutlak harus ada dalam sebuah pusat pemerintahan. Dalam penentuan lokasi pusat pemerintahan barunya ini, Danoeningrat tentunya tidak main – main. Konon untuk menentukan lokasi aloon – aloon, Mas Ngabehi Danoekromno harus berkonsultasi terlebih dahulu kepada gurunya. Menurut petunjuk sang guru, sebuah tanah lapang diantara Desa Gelangan dan Desa Meteseh adalah lokasi yang paling tepat sebagai pusat pemerintahan Bupati Magelang. Selain bertanah lapang, lokasi itu juga sudah ditumbuhi pohon beringin yang membuat tanah ini sangat representatif sebagai aloon – aloon Kabupaten. Setelah penentuan lokasi aloon – aloon, maka Mas Ngabehi Danoekromo mulai mendirikan rumah bupati (regentswoning) disebelah utara aloon – aloon dan sebuah Masjid Agung (Groote Moskee) dibarat aloon - aloon. Setelah kurang lebih tiga tahun menjabat sebagai Bupati Magelang, Raden Mas Ngabehi Danoekromo harus mengalami gejolak politik antara Inggris dan Belanda. Perjanjian London yang berisi penyerahan kembali semua bekas jajahan Belanda yang pernah direbut Inggris membuat Magelang kembali ke tangan Kerajaan Belanda. Penyerahan kekuasaan Inggris ini terjadi di Benteng Willem I Ambarawa pada 19 Agustus 1816. Dibawah pemerintahan Belanda ini, Raden Mas Ngabehi Danoekromo kembali diangkat menjadi Bupati Magelang dengan gelar Raden Tumenggung Aryo Danoeningrat (Danoeningrat I). Semasa pemerintahannya pula sebuah perang akbar melawan penjajah pecah. Perang Jawa (Java Oorlog) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro menjalar keseluruh pelosok Jawa tidak terkecuali Magelang pada bulan Juli 1925. Rakyat di sebelah timur Pisangan dan Barat Magelang serempak mendukung perjuangan sang Pangeran melawan Belanda. Di Distrik Probolinggo, sekitar 55.000 orang berkumpul dan menyerbu pusat kabupaten Magelang kedudukan Danoeningrat I. Serangan terhadap pusat kabupaten ini dipimpin oleh dua orang putra Kepala Distrik Kradenan, Kedu Selatan, yaitu Mertawijaya dan Raden Tumenggung Sumadirja. Pusat Kabupaten yang pada waktu hanya dijaga oleh 50 orang serdadu Belanda tentu tidak mampu menghadapi serbuan ribuan orang. Akibatnya, rumah – rumah milik pejabat Belanda banyak yang habis terbakar. Sikap Danoeningrat I yang condong kepada pemerintah colonial Belanda membuat ia mengambil keputusan untuk mendeklarasikan perang terhadap Pangeran Diponegoro. Serangan balasan terhadap para pendukung Pangeran Diponegoro ini terjadi di pos Kalijengking, Dimoyo (sekarang menjadi Jumoyo). Pertempuran di Dimoyo ini langsung dipimpin oleh Danoeningrat I beserta 2000 pasukan aliansi Jawa – Belanda. Ia berhadapan dengan Secanegara dan Kertanegara dengan tambahan 363 pasukan Bulkiya dari Selarong. Pertempuran dahsyatpun terjadi selama beberapa hari di Dimoyo, bedung dan gamelan bertalu – talu membuat mental pasukan Danoeningrat I jatuh mental. Serempak pasukan Bulkiya maju menghununskan keris dan tombak kearah moncong – moncong senapan Belanda. Hanya tiga kali tembakan meriam saja yang berhasil mereka lesatkan kearah pasukan Bulkiya yang tak kenal takut ini. Sang pemimpin pasukan Belanda, Letnan Hilmer terluka parah pada 28 September 1826. Bersamanya beberapa pasukan Belanda mereggang nyawa ditangan pasukan Bulkiya. Nasib berbeda dialami sang Bupati Magelang, dua hari setelah pertempuran dahsyat itu pecah yaitu pada 30 September 1826, Sang Bupati Magelang, Raden Aryo Tumenggung Danoeningrat I tewas dipenggal. Kepalanya kemudian dibawa ke Selarong dan diterima oleh Sentot Alibasyah Prawirodirjo yang konon masih berkerabat dengan Danoeningrat I. Dibunuh dengan cara dipenggal tidak lain adalah perintah sang Pangeran sendiri yang dalam suratnya menyatakan bahwa siapa saja yang mendukung penjajah Belanda akan dipenggal kelapanya. Selain itu, konon Danoeningrat I juga dipercaya mempunyai kesaktian ilmu rawa rontek dimana jika tidak dipenggal atau dipisahkan antara tubuh dan kepalanya ia bisa bangkit kembali. Para keturunan Danoeningrat I kemudian memberi julukan kepada sang Bupati pertama Magelang ini dengan nama Eyang Sedo Perang. Danoeningrat I meninggalkan seorang anak bernama Hamdani Bin Alwi Bach Chaiban (Basyaiban) yang bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda di Pekalongan sebagai Wakil Kolektor Penghasilan Negeri. Kelak, Ia akan diangkat sebagai Bupati Kedua Magelang pengganti sang ayah. Pada tahun 1971, setelah diadakan acara wayangan dan ruwatan di Selarong, potongan kepala Bupati pertama Magelang ini berhasil ditemukan dan akhirnya disatukan kembali bersama badannya dan dipemakaman Keluarga di Payaman, Magelang. Demikianlah kisah perjalanan hidup sang Bupati Pertama Magelang, Danoeningrat I. Ia adalah orang yang berjasa dalam pendirian Nagari Magelang yang harus tewas dengan cara dipenggal pada masa Perang Jawa. Walaupun menurut keturunan Danoeningrat peran sang Bupati pertama Magelang itu mendukung Belanda pada perang Jawa masih bisa diperdebatkan, namun yang jelas diluar semua kontroversi yang menyelimuti kisah sang Bupati, Danoeningrat adalah sosok manusia yang pertama membangun Magelang. Semoga tulisan ini member manfaat bagi pembaca. Sumber http://mblusukmen.blogspot.com/2016/02/danoekromo-bupati-pertama-magelang-yang.html Lukisan Lukisan Potret Bupati Magelang Pertama, Danoekromo (Danoeningrat I) dan Istri Karya Raden Saleh. Sumber : Upload Novo Indarto 19 December 2013, FB Group KTM